Jakarta: Mahar dalam pernikahan bermakna sebagai mas kawin yaitu sesuatu yang diserahkan suami kepada istrinya dalam akad nikah.
Secara garis besar pengertian mahar adalah barang yang diserahkan dalam pernikahan, baik disebutkan dalam akad atau diwajibkan setelahnya, dengan keridhaan kedua mempelai.
Lalu bagaimana jika mahar dalam perkawinan diwujudkan dalam bentuk bacaan Al-Qur'an. Bagaimana hukumnya?
Melansir NU Online, mas kawin atau mahar pernikahan merupakan harta yang wajib diberikan suami kepada istri karena akad nikah. Salah satu tujuannya adalah menunjukkan kesungguhan untuk menikahi tambatan hati dan memenuhi hak-hak perempuan.
Adapun besarannya, menurut syariat, tidak dibatasi. Begitu pun jenis dan bentuknya. Demikian seperti yang disebutkan Mushthafa Al-Khin dalam kitabnya:
Artinya, “Tidak ada batasan dalam minimal dan maksimalnya mahar. Intinya, segala sesuatu yang sah disebut harta dan dapat ditukar dengan harta, boleh menjadi mahar, besar ataupun kecil, dibayar tunai ataupun dihutang, bisa juga berupa manfaat seperti sajadah, uang tunai senilai 1000 lira (mata uang Mesir), manfaat tinggal di suatu rumah, atau jasa mengajar baca walau hanya satu huruf.” (Musthafa Al-Khin, Al-Fiqhul Manhaji, juz IV, halaman 77).
Alhasil, syariat tidak menentukan jenis dan bentuk mahar. Dengan kata lain mahar bisa apapun yang masuk kategori harta yakni sesuatu yang punya nilai, ada harganya, ada manfaatnya, dan dapat diperjualbelikan, bisa dijadikan mahar pernikahan.
Termasuk yang dapat dijadikan mahar adalah manfaat atau jasa tertentu, seperti manfaat mengajari Al-Qur'an, mengajari ilmu fiqih, ilmu adab, dan lain-lain.
Mengajari Al-Qur'an sebagai mahar juga sudah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Dalam suatu riwayat dikatakan, saat Khaulah binti Hakim atau Ummu Syarik datang menghibahkan dirinya kepada Rasulullah SAW, ada seorang sahabat berkata, "Jika engkau tidak memerlukan perempuan itu, maka nikahkanlah kepadaku."
Beliau menjawab, "Carilah maharnya walau hanya berupa cincin besi."
Namun rupanya tak ada yang dapat dijadikan mahar oleh laki-laki itu kecuali sarungnya. Ia lantas berkata, "Bagaimana jika maharnya sarungku ini saja?"
Dijawab oleh Rasulullah, “Apa yang akan kamu lakukan jika sarung itu masih kamu pakai? Berarti tidak ada bagian mahar untuknya?” Beliau melanjutkan, “Apakah kamu memiliki hafalan Al-Quran?"
Si laki-laki menjawab, "Aku memiliki hafalan surat ini dan surat ini." Rasulullah saw bersabda, “Nikahilah perempuan itu dengan hafalan Al-Qur'an yang ada padamu.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Manfaat mengajari hafalan Al-Qur'an sebagai mahar
Maksud hadits tersebut adalah, nikahilah perempuan itu dengan mahar mengajarinya dengan hafalan Al-Qur'an. Dan ini ditetapkan kebolehannya sebagai mahar oleh ulama Maliki, Syafi’i, dan Ahmad. Sebab mengajari Al-Qur'an adalah manfaat tertentu yang diperbolehkan, sebagaimana yang disebutkan oleh Syekh Abdurrahman bin Muhmmmad Qasim.
Mengutip pendapat Ibnu Al-Qayyim, Syekh Abdurrahman bin Muhmmmad Qasim juga menjelaskan maksud hadits tersebut.
Jika seorang perempuan rela maharnya berupa ilmu suaminya atau berupa hapalan Al-Qur'an suaminya, baik seluruh ataupun sebagiannya, maka hal itu diperbolehkan. Sebab, maharnya didapatkan dari memanfaatkan Al-Qur'an dan ilmu tersebut.
Jakarta: Mahar dalam
pernikahan bermakna sebagai mas kawin yaitu sesuatu yang diserahkan suami kepada istrinya dalam akad nikah.
Secara garis besar pengertian mahar adalah barang yang diserahkan dalam pernikahan, baik disebutkan dalam akad atau diwajibkan setelahnya, dengan keridhaan kedua mempelai.
Lalu bagaimana jika mahar dalam perkawinan diwujudkan dalam bentuk bacaan
Al-Qur'an. Bagaimana hukumnya?
Melansir
NU Online, mas kawin atau mahar pernikahan merupakan harta yang wajib diberikan suami kepada istri karena akad nikah. Salah satu tujuannya adalah menunjukkan kesungguhan untuk menikahi tambatan hati dan memenuhi hak-hak perempuan.
Adapun besarannya, menurut syariat, tidak dibatasi. Begitu pun jenis dan bentuknya. Demikian seperti yang disebutkan Mushthafa Al-Khin dalam kitabnya:
Artinya, “Tidak ada batasan dalam minimal dan maksimalnya mahar. Intinya, segala sesuatu yang sah disebut harta dan dapat ditukar dengan harta, boleh menjadi mahar, besar ataupun kecil, dibayar tunai ataupun dihutang, bisa juga berupa manfaat seperti sajadah, uang tunai senilai 1000 lira (mata uang Mesir), manfaat tinggal di suatu rumah, atau jasa mengajar baca walau hanya satu huruf.” (Musthafa Al-Khin, Al-Fiqhul Manhaji, juz IV, halaman 77).
Alhasil, syariat tidak menentukan jenis dan bentuk mahar. Dengan kata lain mahar bisa apapun yang masuk kategori harta yakni sesuatu yang punya nilai, ada harganya, ada manfaatnya, dan dapat diperjualbelikan, bisa dijadikan mahar pernikahan.
Termasuk yang dapat dijadikan mahar adalah manfaat atau jasa tertentu, seperti manfaat mengajari Al-Qur'an, mengajari ilmu fiqih, ilmu adab, dan lain-lain.
Mengajari Al-Qur'an sebagai mahar juga sudah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Dalam suatu riwayat dikatakan, saat Khaulah binti Hakim atau Ummu Syarik datang menghibahkan dirinya kepada Rasulullah SAW, ada seorang sahabat berkata, "Jika engkau tidak memerlukan perempuan itu, maka nikahkanlah kepadaku."
Beliau menjawab, "Carilah maharnya walau hanya berupa cincin besi."
Namun rupanya tak ada yang dapat dijadikan mahar oleh laki-laki itu kecuali sarungnya. Ia lantas berkata, "Bagaimana jika maharnya sarungku ini saja?"
Dijawab oleh Rasulullah, “Apa yang akan kamu lakukan jika sarung itu masih kamu pakai? Berarti tidak ada bagian mahar untuknya?” Beliau melanjutkan, “Apakah kamu memiliki hafalan Al-Quran?"
Si laki-laki menjawab, "Aku memiliki hafalan surat ini dan surat ini." Rasulullah saw bersabda, “Nikahilah perempuan itu dengan hafalan Al-Qur'an yang ada padamu.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Manfaat mengajari hafalan Al-Qur'an sebagai mahar
Maksud hadits tersebut adalah, nikahilah perempuan itu dengan mahar mengajarinya dengan hafalan Al-Qur'an. Dan ini ditetapkan kebolehannya sebagai mahar oleh ulama Maliki, Syafi’i, dan Ahmad. Sebab mengajari Al-Qur'an adalah manfaat tertentu yang diperbolehkan, sebagaimana yang disebutkan oleh Syekh Abdurrahman bin Muhmmmad Qasim.
Mengutip pendapat Ibnu Al-Qayyim, Syekh Abdurrahman bin Muhmmmad Qasim juga menjelaskan maksud hadits tersebut.
Jika seorang perempuan rela maharnya berupa ilmu suaminya atau berupa hapalan Al-Qur'an suaminya, baik seluruh ataupun sebagiannya, maka hal itu diperbolehkan. Sebab, maharnya didapatkan dari memanfaatkan Al-Qur'an dan ilmu tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(PRI)