Jakarta: Ancaman kekerasan terhadap perempuan di ranah personal terus menjadi pekerjaan rumah yang serius dan membayangi perempuan di Tanah Air. Hal ini membutuhkan penanganan serius dan aksi nyata dari berbagai pihak, terutama pemerintah.
Sepanjang 2023, pengaduan terbanyak dilaporkan ke Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dan diperkuat dengan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPPA) adalah kasus kategori fisik. Yakni, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
“Berdasarkan data yang terhimpun dari Simfoni PPA dan Sapa 129 selama Januari-November 2023 menurut tempat kejadian, kasus yang paling banyak dialami adalah KDRT sebesar 73 persen dengan jenis kekerasan fisik,” ujar Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Ratna Susianawati saat ditemui Media Indonesia, Sabtu, 9 Desember 2023.
Pada kategori kekerasan terhadap anak, Ratna menjelaskan jenis kekerasan yang terjadi masih didominasi kekerasan seksual sebanyak 60 persen. Terkait kenaikan data, Ratna mengatakan hal ini harus dilihat dari dua sudut pandang.
“Kita harus melihatnya dalam dua sudut pandang, pelaporan meningkat ini bisa dimaksudkan sebagai sesuatu yang positif, ketika banyak pelaporan artinya masyarakat sudah mulai berani untuk lapor, justru kita tidak melihat kalau kasusnya banyak kemudian dilaporkan, tren kekerasan meningkat. Justru kami melihat ada upaya positif dan kesadaran dari untuk melaporkan kasus,” ujar dia.
Melalui data tersebut, Ratna mengatakan korban KDRT tak mengenal usia pernikahan, hingga berbagai usia dewasa hingga lansia masuk menjadi korban KDRT. Namun, penyebab utama terjadinya KDRT adalah faktor keterbatasan ekonomi.
“Usianya bervariasi, ada orang yang sudah lama membina rumah tangga tetapi juga banyak kasus-kasus KDRT yang rumah tangga baru. Berbagai jenis usia bisa menjadi korban KDRT karena persoalan ekonomi menjadi faktor utama, selain itu ketidaksiapan pasangan untuk menikah juga masih menjadi tantangan,” ujar dia.
Menurut Ratna, salah satu tantangan terbesar dalam pencegahan dan penanganan KDRT adalah masih tingginya stigma dan budaya yang menganggap masalah kekerasan dalam ranah rumah tangga adalah hal privat, sehingga menyulitkan korban untuk keluar dari lingkaran kekerasan dan kembali kepada korban.
“Masih banyak masyarakat, pihak penegak hukum dan keluarga korban yang menganggap KDRT adalah masalah privasi, sehingga tak perlu dilaporkan dan ditindak hukum. Ada berbagai pihak yang menganggap ini merupakan aib keluarga artinya korban yang sebaiknya ditutupi. Sejatinya KDRT semakin terkuak karena masyarakat sudah mulai sadar bahwa ada jaminan hukum yang diberikan,” ujar dia.
Selain itu, penanganan KDRT harus dilakukan secara hati-hati, khususnya yang sudah berhubungan dengan tindak pidana pembunuhan. Ratna menyampaikan yang paling penting adalah bagaimana korban mau berbicara, sehingga bisa mendapatkan bantuan dan pertolongan mengatasi trauma, sekaligus pelaku bisa diberikan efek jera.
“Melalui fungsi layanan yang kami miliki tentunya harus berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat di mana kasus terjadi, ada pembagian kewenangan tapi kami selalu memastikan kasus ditangani melalui assessment, sehingga kepentingan terbaik bagi korban itu yang diutamakan,” jelas dia.
Ratna menyarankan masyarakat segera bertindak dan percaya dengan korban jika ada pelaporan. Reaksi cepat itu disebutkan menjadi sangat penting untuk mempercepat penanganan kasus agar tidak menimbulkan hilangnya nyawa.
“Ketika kita sudah bisa menduga dan menerima pelaporan-pelaporan terkait kasus kekerasan, harus segera direspons dengan cepat. Kami juga akan terus mendorong berbagai pihak terutama kepolisian agar bisa bergerak cepat dalam memenuhi hak-hak korban,” ujar dia.
(Devi Harahap/MI)
Jakarta: Ancaman
kekerasan terhadap perempuan di ranah personal terus menjadi pekerjaan rumah yang serius dan membayangi perempuan di Tanah Air. Hal ini membutuhkan penanganan serius dan aksi nyata dari berbagai pihak, terutama pemerintah.
Sepanjang 2023, pengaduan terbanyak dilaporkan ke Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (
KemenPPPA) dan diperkuat dengan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPPA) adalah kasus kategori fisik. Yakni, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
“Berdasarkan data yang terhimpun dari Simfoni PPA dan Sapa 129 selama Januari-November 2023 menurut tempat kejadian, kasus yang paling banyak dialami adalah KDRT sebesar 73 persen dengan jenis kekerasan fisik,” ujar Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Ratna Susianawati saat ditemui
Media Indonesia, Sabtu, 9 Desember 2023.
Pada kategori
kekerasan terhadap anak, Ratna menjelaskan jenis kekerasan yang terjadi masih didominasi kekerasan seksual sebanyak 60 persen. Terkait kenaikan data, Ratna mengatakan hal ini harus dilihat dari dua sudut pandang.
“Kita harus melihatnya dalam dua sudut pandang, pelaporan meningkat ini bisa dimaksudkan sebagai sesuatu yang positif, ketika banyak pelaporan artinya masyarakat sudah mulai berani untuk lapor, justru kita tidak melihat kalau kasusnya banyak kemudian dilaporkan, tren kekerasan meningkat. Justru kami melihat ada upaya positif dan kesadaran dari untuk melaporkan kasus,” ujar dia.
Melalui data tersebut, Ratna mengatakan korban KDRT tak mengenal usia pernikahan, hingga berbagai usia dewasa hingga lansia masuk menjadi korban KDRT. Namun, penyebab utama terjadinya KDRT adalah faktor keterbatasan ekonomi.
“Usianya bervariasi, ada orang yang sudah lama membina rumah tangga tetapi juga banyak kasus-kasus KDRT yang rumah tangga baru. Berbagai jenis usia bisa menjadi korban KDRT karena persoalan ekonomi menjadi faktor utama, selain itu ketidaksiapan pasangan untuk menikah juga masih menjadi tantangan,” ujar dia.
Menurut Ratna, salah satu tantangan terbesar dalam pencegahan dan penanganan KDRT adalah masih tingginya stigma dan budaya yang menganggap masalah kekerasan dalam ranah rumah tangga adalah hal privat, sehingga menyulitkan korban untuk keluar dari lingkaran kekerasan dan kembali kepada korban.
“Masih banyak masyarakat, pihak penegak hukum dan keluarga korban yang menganggap KDRT adalah masalah privasi, sehingga tak perlu dilaporkan dan ditindak hukum. Ada berbagai pihak yang menganggap ini merupakan aib keluarga artinya korban yang sebaiknya ditutupi. Sejatinya KDRT semakin terkuak karena masyarakat sudah mulai sadar bahwa ada jaminan hukum yang diberikan,” ujar dia.
Selain itu, penanganan KDRT harus dilakukan secara hati-hati, khususnya yang sudah berhubungan dengan tindak pidana pembunuhan. Ratna menyampaikan yang paling penting adalah bagaimana korban mau berbicara, sehingga bisa mendapatkan bantuan dan pertolongan mengatasi trauma, sekaligus pelaku bisa diberikan efek jera.
“Melalui fungsi layanan yang kami miliki tentunya harus berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat di mana kasus terjadi, ada pembagian kewenangan tapi kami selalu memastikan kasus ditangani melalui assessment, sehingga kepentingan terbaik bagi korban itu yang diutamakan,” jelas dia.
Ratna menyarankan masyarakat segera bertindak dan percaya dengan korban jika ada pelaporan. Reaksi cepat itu disebutkan menjadi sangat penting untuk mempercepat penanganan kasus agar tidak menimbulkan hilangnya nyawa.
“Ketika kita sudah bisa menduga dan menerima pelaporan-pelaporan terkait kasus kekerasan, harus segera direspons dengan cepat. Kami juga akan terus mendorong berbagai pihak terutama kepolisian agar bisa bergerak cepat dalam memenuhi hak-hak korban,” ujar dia.
(
Devi Harahap/MI)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)