Jakarta: Kinerja pemerintah daerah (pemda) dalam menangani pandemi covid-19 dinilai tak maksimal. Hal itu disebabkan beberapa faktor, salah satunya birokrasi.
"Level penanganan itu harus berhadapan pada situasi birokrasi yang sangat rumit," kata akademisi Departemen Politik Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Bayu Dardias Kurniadi dalam diskusi virtual Smart FM, Sabtu, 24 Juli 2021.
Contoh birokrasi yang rumit, yaitu keterbatasan gubernur dalam penanganan covid-19. Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sektor kesehatan merupakan tanggung jawab penuh kabupaten/kota.
Gubernur tak bisa memerintahkan atau memberikan instruksi khusus kepada kabupaten/kota. Meskipun, dalam UU Pemerintahan Daerah tersebut pemerintah provinsi (pemprov) dianggap sebagai perwakilan pusat di daerah.
"Jadi memang tidak ada regulasi yang secara ketat memastikan pemprov yang merupakan perwakilan pusat untuk bisa menggedor (memerintahkan kabupaten/kota) ya," kata dia.
Dia cukup menyayangkan payung hukum justru menjadi kendala penanganan pandemi. Sehingga, para gubernur tak bisa berbuat banyak ketika terjadi permasalahan.
"Dalam konsep otonomi kita sayangnya tidak mengenal situasi darurat sekarang ini," kata dia.
Baca: Pemprov Jatim Gelontorkan Ratusan Miliar Rupiah untuk Karantina TKI
Namun, gubernur tak boleh berputus asa dengan kondisi tersebut. Ada sejumlah upaya yang bisa dilakukan meningkatkan kesadaran kabupaten/kota terkait penanganan pandemi.
Salah satunya, rutin mengingatkan pemerintahan kabupaten atau kota. Termasuk mempercepat penggunaan anggaran penanganan covid-19.
Dia menyampaikan penggunaan anggaran di sejumlah daerah cukup lamban. Hal ini dinilai berdampak buruk terhadap penanganan.
"Jadi memang butuh dupak (blak-blakan) gubernur untuk bisa memastikan anggaran itu bisa tetap jalan," ujar dia.
Jakarta: Kinerja pemerintah daerah (pemda) dalam menangani
pandemi covid-19 dinilai tak maksimal. Hal itu disebabkan beberapa faktor, salah satunya birokrasi.
"Level penanganan itu harus berhadapan pada situasi birokrasi yang sangat rumit," kata akademisi Departemen Politik Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Bayu Dardias Kurniadi dalam diskusi virtual Smart FM, Sabtu, 24 Juli 2021.
Contoh birokrasi yang rumit, yaitu keterbatasan gubernur dalam penanganan
covid-19. Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sektor kesehatan merupakan tanggung jawab penuh kabupaten/kota.
Gubernur tak bisa memerintahkan atau memberikan instruksi khusus kepada kabupaten/kota. Meskipun, dalam UU Pemerintahan Daerah tersebut pemerintah provinsi (pemprov) dianggap sebagai perwakilan pusat di daerah.
"Jadi memang tidak ada regulasi yang secara ketat memastikan pemprov yang merupakan perwakilan pusat untuk bisa menggedor (memerintahkan kabupaten/kota) ya," kata dia.
Dia cukup menyayangkan payung hukum justru menjadi kendala penanganan pandemi. Sehingga, para gubernur tak bisa berbuat banyak ketika terjadi permasalahan.
"Dalam konsep otonomi kita sayangnya tidak mengenal situasi darurat sekarang ini," kata dia.
Baca:
Pemprov Jatim Gelontorkan Ratusan Miliar Rupiah untuk Karantina TKI
Namun, gubernur tak boleh berputus asa dengan kondisi tersebut. Ada sejumlah upaya yang bisa dilakukan meningkatkan kesadaran kabupaten/kota terkait penanganan pandemi.
Salah satunya, rutin mengingatkan pemerintahan kabupaten atau kota. Termasuk mempercepat penggunaan anggaran penanganan covid-19.
Dia menyampaikan penggunaan anggaran di sejumlah daerah cukup lamban. Hal ini dinilai berdampak buruk terhadap penanganan.
"Jadi memang butuh dupak (blak-blakan) gubernur untuk bisa memastikan anggaran itu bisa tetap jalan," ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(JMS)