medcom.id, Tangerang Selatan: Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) terus melakukan inovasi. Setelah sebelumnya berhasil menciptakan mesin navigasi penerbangan, kali ini BPPT tengah mengembangkan alat navigasi di bidang pelayaran yang dilakukan di kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek), Tangerang Selatan.
Alat tersebut bernama Automatic Identification System (AIS). Alat ini merupakan sebuah sistem pelacakan otomatis yang digunakan pada kapal untuk mengidentifikasi kapal melalui perangkat elektronik pertukaran data dengan kapal lain di dekatnya, BTS AIS, dan satelit.
Perekayasa Pusat Teknologi Elektronika BPPT, Wayan Wira Yogantara, mengatakan bahwa AIS menyediakan data monitoring traffic laut untuk pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Dengan begitu pemerintah bisa cepat mendeteksi jika ada kondisi darurat di laut dan segera memberikan bantuan.
Sayangnya, Indonesia saat ini masih menggunakan AIS impor. Melihat ADS-B sudah bisa diproduksi sendiri dan mendapat sertifikat dari Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Wayan mengatakan, pihaknya termotivasi untuk membuat AIS sendiri.
Wayan menjelaskan cara kerja AIS, yaitu dengan menerima sinyal dari transponder yang terpasang di setiap kapal. Pada umumnya, transponder dimiliki kapal berukuran 300 gross ton (GT) ke atas.
"Di bawah itu (300 GT) belum ada aturannya, tapi banyak kebutuhan," ujar Wayan kepada Metrotvnews.com, saat ditemui di kawasan Puspiptek Serpong, Banten, Tangerang Selatan.
Sementara itu, kapal di Indonesia paling banyak yang berukuran di bawah 300 GT, umumnya kapal nelayan. Wayan berharap, ke depannya penelitian ini bisa dimanfaatkan kapal nelayan untuk memantau penangkapan ikan dan mengantisipasi cuaca buruk.
"Kalau mereka (nelayan) ada kondisi darurat di laut, kan pihak otoritas bisa tahu di mana lokasi kejadiannya. Misalnya nanti kejadian, tinggal pencet satu tombol, pesannya disebarkan ke semua arah dan ditangkap oleh kapal terdekat atau pihak otoritas," jelasnya.
Terkait proses penelitian dan pengembangannya, Wayan mengatakan akhir tahun ini ditargetkan bisa diuji coba. "Sekarang ini masih dalam tahap pengembangan," ujarnya.
Rencananya, uji coba dilakukan selama satu tahun di lapangan. Tujuannya, untuk mencari tahu bagaimana ketahanan alat tersebut ketika berada di laut dengan kondisi yang ekstrem.
"Kalau sudah di lapangan, apalagi di laut, peralatan elektronik sangat rentan cuaca, kena air garam. Kalau sudah berkarat, sangat mengganggu. Tantangannya lebih tinggi di laut, terutama faktor cuaca," ucapnya.
Dalam proses penelitian dan pengembangannya, dilakukan perbandingan dengan AIS impor untuk melihat adakah kesalahan yang terjadi. Dengan adanya uji coba ini diharapkan AIS buatan lokal akan dilirik oleh Ditjen Perhubungan Laut untuk dibuatkan sertifikasi.
"Target kami, 2019 bisa dikomersialkan. Kalau sudah bisa dikomersialkan, berarti tugas BPPT sudah selesai. Kami akan membuat produk lain lagi," katanya.
medcom.id, Tangerang Selatan: Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) terus melakukan inovasi. Setelah sebelumnya berhasil menciptakan mesin navigasi penerbangan, kali ini BPPT tengah mengembangkan alat navigasi di bidang pelayaran yang dilakukan di kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek), Tangerang Selatan.
Alat tersebut bernama Automatic Identification System (AIS). Alat ini merupakan sebuah sistem pelacakan otomatis yang digunakan pada kapal untuk mengidentifikasi kapal melalui perangkat elektronik pertukaran data dengan kapal lain di dekatnya, BTS AIS, dan satelit.
Perekayasa Pusat Teknologi Elektronika BPPT, Wayan Wira Yogantara, mengatakan bahwa AIS menyediakan data monitoring traffic laut untuk pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Dengan begitu pemerintah bisa cepat mendeteksi jika ada kondisi darurat di laut dan segera memberikan bantuan.
Sayangnya, Indonesia saat ini masih menggunakan AIS impor. Melihat ADS-B sudah bisa diproduksi sendiri dan mendapat sertifikat dari Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Wayan mengatakan, pihaknya termotivasi untuk membuat AIS sendiri.
Wayan menjelaskan cara kerja AIS, yaitu dengan menerima sinyal dari transponder yang terpasang di setiap kapal. Pada umumnya, transponder dimiliki kapal berukuran 300 gross ton (GT) ke atas.
"Di bawah itu (300 GT) belum ada aturannya, tapi banyak kebutuhan," ujar Wayan kepada Metrotvnews.com, saat ditemui di kawasan Puspiptek Serpong, Banten, Tangerang Selatan.
Sementara itu, kapal di Indonesia paling banyak yang berukuran di bawah 300 GT, umumnya kapal nelayan. Wayan berharap, ke depannya penelitian ini bisa dimanfaatkan kapal nelayan untuk memantau penangkapan ikan dan mengantisipasi cuaca buruk.
"Kalau mereka (nelayan) ada kondisi darurat di laut, kan pihak otoritas bisa tahu di mana lokasi kejadiannya. Misalnya nanti kejadian, tinggal pencet satu tombol, pesannya disebarkan ke semua arah dan ditangkap oleh kapal terdekat atau pihak otoritas," jelasnya.
Terkait proses penelitian dan pengembangannya, Wayan mengatakan akhir tahun ini ditargetkan bisa diuji coba. "Sekarang ini masih dalam tahap pengembangan," ujarnya.
Rencananya, uji coba dilakukan selama satu tahun di lapangan. Tujuannya, untuk mencari tahu bagaimana ketahanan alat tersebut ketika berada di laut dengan kondisi yang ekstrem.
"Kalau sudah di lapangan, apalagi di laut, peralatan elektronik sangat rentan cuaca, kena air garam. Kalau sudah berkarat, sangat mengganggu. Tantangannya lebih tinggi di laut, terutama faktor cuaca," ucapnya.
Dalam proses penelitian dan pengembangannya, dilakukan perbandingan dengan AIS impor untuk melihat adakah kesalahan yang terjadi. Dengan adanya uji coba ini diharapkan AIS buatan lokal akan dilirik oleh Ditjen Perhubungan Laut untuk dibuatkan sertifikasi.
"Target kami, 2019 bisa dikomersialkan. Kalau sudah bisa dikomersialkan, berarti tugas BPPT sudah selesai. Kami akan membuat produk lain lagi," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ROS)