Jakarta: Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Atal S Depari meminta pemerintah mengeluarkan regulasi untuk menjaga eksistensi media konvensional. Media konvesional dinilai mengalami disrupsi adanya platform digital, seperti Google, Facebook, dan lainnya.
"Perlu dirumuskan aturan main yang lebih transparan, adil, dan menjamin kesetaraan antara platform digital dan penerbit media," ujar Atal dalam puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2021 secara virtual, Selasa, 9 Februari 2021.
Atal menyebut kehadiran platform digial seakan mengancam keberlangsungan hidup media konvesional. Pundi-pundi rupiah yang dapat diperoleh media konvesional melalui iklan menurun. Iklan lebih memilih platform digital.
Dia menilai platform digital dan media konvensional seharusnya dapat berjalan bersama di bawah payung hukum yang jelas. Sehingga ekosistem media dapat kembali tumbuh.
"Negara harus hadir mengatur hal ini secara proporsional dan partisipatif, sehingga muncul ilklim bisnis yang setara dan adil," kata dia.
Sementara itu, untuk menjaga dan melindungi media lokal, Dewan Pers tengah membahas draf publisher right act atau regulasi hak cipta karya jurnalistik. Hal itu mengikuti sejumlah negara Eropa, Amerika Serikat (AS), dan Australia yang sudah memberlakukan regulasi serupa.
Baca: Tugas Kemanusiaan Pers Tak Berhenti karena Pandemi
CEO Media Group Mirdal Akib mendukung hadirnya regulasi tersebut di Indonesia. Akan tetapi, untuk melindungi media lokal yang mengalami disrupsi, perlu pembahasan yang lebih luas lagi.
"Kita mendorong afirmatif regulasi yang di dalamnya termasuk hak cipta karya jurnalistik itu sendiri. Pembahasannya harus komprehensif," kata Mirdal.
Menurut dia, berbicara karya jurnalistik tidak terlepas dari media atau perusahaan yang menaunginya. Karya jurnalistik hadir melalui proses panjang, seperti membuat rencana, mengedit, hingga menghasilkan karya tersebut.
Karya jurnalisitik itu menjadi milik media nasional yang sudah terdaftar dan mematuhi kode etik jurnalisitik. Media juga tunduk terhadap peraturan perundang-undangan, seperti membayar pajak dan lain-lain.
"Sekarang orang membaca karya jurnalistik itu bukan di platform media, tetapi di mesin pencari atau media sosial yang tidak membayar pajak dan tidak tunduk terhadap peraturan di Indonesia," kata dia.
Jakarta: Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Atal S Depari meminta pemerintah mengeluarkan regulasi untuk menjaga eksistensi media konvensional. Media konvesional dinilai mengalami disrupsi adanya platform digital, seperti
Google,
Facebook, dan lainnya.
"Perlu dirumuskan aturan main yang lebih transparan, adil, dan menjamin kesetaraan antara platform digital dan penerbit media," ujar Atal dalam puncak peringatan
Hari Pers Nasional (HPN) 2021 secara virtual, Selasa, 9 Februari 2021.
Atal menyebut kehadiran platform digial seakan mengancam keberlangsungan hidup media konvesional. Pundi-pundi rupiah yang dapat diperoleh media konvesional melalui iklan menurun. Iklan lebih memilih platform digital.
Dia menilai platform digital dan media konvensional seharusnya dapat berjalan bersama di bawah payung hukum yang jelas. Sehingga ekosistem media dapat kembali tumbuh.
"Negara harus hadir mengatur hal ini secara proporsional dan partisipatif, sehingga muncul ilklim bisnis yang setara dan adil," kata dia.
Sementara itu, untuk menjaga dan melindungi media lokal, Dewan Pers tengah membahas draf
publisher right act atau regulasi hak cipta karya jurnalistik. Hal itu mengikuti sejumlah negara Eropa, Amerika Serikat (AS), dan Australia yang sudah memberlakukan regulasi serupa.
Baca:
Tugas Kemanusiaan Pers Tak Berhenti karena Pandemi
CEO Media Group Mirdal Akib mendukung hadirnya regulasi tersebut di Indonesia. Akan tetapi, untuk melindungi media lokal yang mengalami disrupsi, perlu pembahasan yang lebih luas lagi.
"Kita mendorong afirmatif regulasi yang di dalamnya termasuk hak cipta karya jurnalistik itu sendiri. Pembahasannya harus komprehensif," kata Mirdal.
Menurut dia, berbicara karya jurnalistik tidak terlepas dari media atau perusahaan yang menaunginya. Karya jurnalistik hadir melalui proses panjang, seperti membuat rencana, mengedit, hingga menghasilkan karya tersebut.
Karya jurnalisitik itu menjadi milik media nasional yang sudah terdaftar dan mematuhi kode etik jurnalisitik. Media juga tunduk terhadap peraturan perundang-undangan, seperti membayar pajak dan lain-lain.
"Sekarang orang membaca karya jurnalistik itu bukan di platform media, tetapi di mesin pencari atau media sosial yang tidak membayar pajak dan tidak tunduk terhadap peraturan di Indonesia," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(JMS)