medcom.id, Jakarta: Presiden Joko Widodo mengapresiasi keberhasilan TNI dan Polri dalam melumpuhkan kelompok teroris Santoso. Pimpinan Mujahidin Indonesia Timur itu tewas dalam operasi Tinombala, di wilayah Tambarana, Poso, Sulawesi Tengah, kemarin.
"Presiden memberi apresiasi kepada Polri dan TNI," ujar Juru Bicara Presiden Johan Budi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (19/7/2016).
Namun demikian, Presiden tetap meminta TNI dan Polri untuk tetap menjalankan operasi serupa guna menumpas jaringan garis keras di Indonesia. "Agar langkah dan upaya mengejar sisa-sisa gerombolan harus tetap dikejar," jelas mantan Plt pimpinan KPK ini.
Presiden, kata Johan juga, mengingatkan untuk tetap waspada terhadap potensi dan ancaman terorisme. "Jangan sekali-kali kendur dan melemah sebaliknya kewaspadaan perlu ditingkatkan dan diperluas," tandasnya.
Santoso diburu sejak 2007. Pimpinan Mujahidin Indonesia Timur itu diduga terlibat aksi terorisme di beberapa tempat di Indonesia. Bahkan, Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat memasukkan namanya dalam daftar teroris global.
Catatan Kepolisian, Santoso sempat mengikuti pelatihan militer di pegunungan Jalin Jantho, Aceh, pada 2010. Januari 2011, ia membentuk pelatihan militer di pegunungan di Poso, Sulawesi Tengah.
TNI dan Polri membentuk Operasi Camar Maleo untuk menangkap Santoso yang dimulai pada Januari 2015. Selama Operasi Camar Maleo I hingga IV prajurit menangkap 24 terduga teroris.
Mantan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti kemudian menargetkan bisa menangkap Santoso tahun lalu atau di awal tahun ini. Namun, hingga Operasi Camar Maleo tutup buku pada 9 Januari 2016, tim gabungan belum mampu menangkap Santoso.
Dari sekian kali baku tembak tentara dan polisi dengan kelompok ini, tidak ada nama Santoso dalam daftar korban. Lalu, TNI dan Polri bersatu padu mengejar Santoso dengan menggelar Operasi Tinombala. Operasi Tinombala dimulai 10 Januari dan sedianya berakhir 9 Maret, kemudian diperpanjang hingga kini.
medcom.id, Jakarta: Presiden Joko Widodo mengapresiasi keberhasilan TNI dan Polri dalam melumpuhkan kelompok teroris Santoso. Pimpinan Mujahidin Indonesia Timur itu tewas dalam operasi Tinombala, di wilayah Tambarana, Poso, Sulawesi Tengah, kemarin.
"Presiden memberi apresiasi kepada Polri dan TNI," ujar Juru Bicara Presiden Johan Budi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (19/7/2016).
Namun demikian, Presiden tetap meminta TNI dan Polri untuk tetap menjalankan operasi serupa guna menumpas jaringan garis keras di Indonesia. "Agar langkah dan upaya mengejar sisa-sisa gerombolan harus tetap dikejar," jelas mantan Plt pimpinan KPK ini.
Presiden, kata Johan juga, mengingatkan untuk tetap waspada terhadap potensi dan ancaman terorisme. "Jangan sekali-kali kendur dan melemah sebaliknya kewaspadaan perlu ditingkatkan dan diperluas," tandasnya.
Santoso diburu sejak 2007. Pimpinan Mujahidin Indonesia Timur itu diduga terlibat aksi terorisme di beberapa tempat di Indonesia. Bahkan, Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat memasukkan namanya dalam daftar teroris global.
Catatan Kepolisian, Santoso sempat mengikuti pelatihan militer di pegunungan Jalin Jantho, Aceh, pada 2010. Januari 2011, ia membentuk pelatihan militer di pegunungan di Poso, Sulawesi Tengah.
TNI dan Polri membentuk Operasi Camar Maleo untuk menangkap Santoso yang dimulai pada Januari 2015. Selama Operasi Camar Maleo I hingga IV prajurit menangkap 24 terduga teroris.
Mantan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti kemudian menargetkan bisa menangkap Santoso tahun lalu atau di awal tahun ini. Namun, hingga Operasi Camar Maleo tutup buku pada 9 Januari 2016, tim gabungan belum mampu menangkap Santoso.
Dari sekian kali baku tembak tentara dan polisi dengan kelompok ini, tidak ada nama Santoso dalam daftar korban. Lalu, TNI dan Polri bersatu padu mengejar Santoso dengan menggelar Operasi Tinombala. Operasi Tinombala dimulai 10 Januari dan sedianya berakhir 9 Maret, kemudian diperpanjang hingga kini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)