medcom.id, Jakarta: Yayat Cahdiyat, residivis kasus teroris yang melakukan teror di Bandung, Jawa Barat, tak pernah ikut deradikalisasi di dalam lapas. Setiap program tersebut diselenggarakan, Yayat tak pernah tergerak untuk mengikutinya.
"Mereka tidak memahami, mereka sangka orang-orang itu ikut deradikalisasi, padahal tidak," kata Direktur Deradikalisasi BNPT, Irfan Idris, dalam Metro Realitas, Senin 6 Maret 2017.
Irfan menyebut, mereka yang mengikuti deradikalisasi cenderung berhasil keluar dari pemahaman radikal. Tapi beberapa di antaranya memang tidak.
Sebutlah Afif alias Sunakim, peneror bom di kawasan Thamrin awal 2016 silam. Afif memang mengikuti deradikalisasi di lapas dan bebas murni. Namun, keikutsertaan Afif dalam program deradikalisasi membawa misi khusus.
"Mereka yang menerima program itu hanya karena mau menerima pembebasan agar lancar administrasi. Tapi secara substantif, ideologis, dan gagasan totaly tidak mengikuti dan melanjutkan apa yang menjadi cita-cita mereka," kata Irfan.
Balas Dendam
Dalam aksi Yayat Cahdiyat di Bandung, ada yang menarik perhatian Soleman Ponto, mantan Kepala Badan Intelijen Strategis. Menurutnya, Yayat Cahdiyat hanya ingin menunjukkan kepada Densus 88 bahwa eksistensinya masih ada.
Hal itu diwujudkan dalam tuntutan Yayat yang langsung ditujukan pada Densus 88 untuk melepaskan rekan-rekannya yang ditahan. Bukan menuntut negara.
"Ini dipenjarakan oleh Densus, artinya keberadaan mereka hanya untuk membalas, menyuarakan kepada Densus, 'saya masih ada."
Soleman melihat, baginya seorang teroris adalah manusia yang perlu diperlakukan secara manusiawi. Bagaimanapun, menurut Dia, Yayat masih punya hati, punya saudara, punya bapak ibunya sehingga harus diperlakukan dengan manusiawi pula.
"Ini artinya apa? Mereka (Yayat cs) membaca dalam penanganan kita tidak mendapat keadilan sehingga balas dendam," katanya.
Belajar dari Penjara
Keinginan Yayat untuk balas dendam sudah timbul sejak masih dalam tahanan. Yayat bahkan berguru kepada napi teroris lain yang tingkatnya lebih tinggi untuk mendapatkan lebih banyak ilmu dalam melakukan teror.
"Yayat pernah membesuk saya di Lapas Klas II B Cianjur Jawa Barat. Dia sangat agresif, ingin sekali melakukan aksi terorisme," ujar mantan Panglima Komando Jihad Maluku, Jumu Tuani.
Jumu menceritakan, semasa dalam tahanan bersama Yayat seringkali dia diminta untuk menerangkan bagaimana membuat bahan peledak yang high explosive bahkan racun antraks, sebab dalam kelompok Yayat, pengetahuan itu tidak didapatkan.
"Namun semuanya saya tolak karena saya tahu akidah mereka sangat bertentangan dengan Alquran dan Assunah," jelas Jumu.
medcom.id, Jakarta: Yayat Cahdiyat, residivis kasus teroris yang melakukan teror di Bandung, Jawa Barat, tak pernah ikut deradikalisasi di dalam lapas. Setiap program tersebut diselenggarakan, Yayat tak pernah tergerak untuk mengikutinya.
"Mereka tidak memahami, mereka sangka orang-orang itu ikut deradikalisasi, padahal tidak," kata Direktur Deradikalisasi BNPT, Irfan Idris, dalam
Metro Realitas, Senin 6 Maret 2017.
Irfan menyebut, mereka yang mengikuti deradikalisasi cenderung berhasil keluar dari pemahaman radikal. Tapi beberapa di antaranya memang tidak.
Sebutlah Afif alias Sunakim, peneror bom di kawasan Thamrin awal 2016 silam. Afif memang mengikuti deradikalisasi di lapas dan bebas murni. Namun, keikutsertaan Afif dalam program deradikalisasi membawa misi khusus.
"Mereka yang menerima program itu hanya karena mau menerima pembebasan agar lancar administrasi. Tapi secara substantif, ideologis, dan gagasan
totaly tidak mengikuti dan melanjutkan apa yang menjadi cita-cita mereka," kata Irfan.
Balas Dendam
Dalam aksi Yayat Cahdiyat di Bandung, ada yang menarik perhatian Soleman Ponto, mantan Kepala Badan Intelijen Strategis. Menurutnya, Yayat Cahdiyat hanya ingin menunjukkan kepada Densus 88 bahwa eksistensinya masih ada.
Hal itu diwujudkan dalam
tuntutan Yayat yang langsung ditujukan pada Densus 88 untuk melepaskan rekan-rekannya yang ditahan. Bukan menuntut negara.
"Ini dipenjarakan oleh Densus, artinya keberadaan mereka hanya untuk membalas, menyuarakan kepada Densus, 'saya masih ada."
Soleman melihat, baginya seorang teroris adalah manusia yang perlu diperlakukan secara manusiawi. Bagaimanapun, menurut Dia, Yayat masih punya hati, punya saudara, punya bapak ibunya sehingga harus diperlakukan dengan manusiawi pula.
"Ini artinya apa? Mereka (Yayat cs) membaca dalam penanganan kita tidak mendapat keadilan sehingga balas dendam," katanya.
Belajar dari Penjara
Keinginan Yayat untuk balas dendam sudah timbul sejak masih dalam tahanan. Yayat bahkan
berguru kepada napi teroris lain yang tingkatnya lebih tinggi untuk mendapatkan lebih banyak ilmu dalam melakukan teror.
"Yayat pernah membesuk saya di Lapas Klas II B Cianjur Jawa Barat. Dia sangat agresif, ingin sekali melakukan aksi terorisme," ujar mantan Panglima Komando Jihad Maluku, Jumu Tuani.
Jumu menceritakan, semasa dalam tahanan bersama Yayat seringkali dia diminta untuk menerangkan bagaimana membuat bahan peledak yang high explosive bahkan racun antraks, sebab dalam kelompok Yayat, pengetahuan itu tidak didapatkan.
"Namun semuanya saya tolak karena saya tahu akidah mereka sangat bertentangan dengan Alquran dan Assunah," jelas Jumu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(MEL)