Jakarta: Gegap gempita perhelatan partai final Piala Presiden 2018 yang digelar di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) tak hanya menyisakan kerusakan. Sejumlah pekerjaan rumah harus segera diselesaikan.
Pasalnya, euforia kemenangan Persija atas Bali United pada laga final Sabtu, 17 Februari 2018, tercoreng oleh ulah perusakan sejumlah oknum suporter. Soal perilaku suporter bola ini memang bukan cerita baru di Tanah Air.
Sudah banyak banyak terjadi. Seperti, Persija pernah dihukum bertanding tanpa suporter lantaran ulah beberapa oknum Jakmania, pendukung setia Persija. Kejadian serupa juga terjadi saat laga Timnas kontra Islandia. Beberapa suporter bandel menginjak kursi stadion dan duduk di sandarannya. Padahal sudah ada ajakan 'Ayo Jaga GBK'.
Anggota DPR dari Daerah Pemilihan Jakarta III Ahmad Sahroni mengatakan dibutuhkan upaya yang lebih maju menyikapi kejadian semacam ini. Rusaknya beberapa fasilitas di SUGBK Sabtu kemarin, kata dia, tak bisa hanya direspons dengan penyesalan atau anjuran.
"Dibutuhkan modalitas dari pihak SUGBK untuk mendidik para suporter," kata dia dalam keterangan tertulis, Selasa, 20 Februari 2018.
Menurutnya, ada dua modalitas yang harus dikedepankan. Pertama, modalitas makro. Dunia pendidikan menjadi kunci di sini.
"Suporter harus dididik tentang pentingnya menjaga sarana publik. SUGBK itu kan milik kita bersama, kita harus juga menjaganya," kata dia.
Ahmad Sahroni (kiri). Foto: MI/Arya Manggala
Kedua adalah modalitas mikro yang terdiri dari dua hal. Pertama, penonton harus membayar. Dengan membayar, kata Sahroni, penyelenggara dituntut menyediakan fasilitas yang setimpal dengan harga yang dibayar.
"Demikian juga penonton, setelah mendapatkan berbagai fasilitas yang dipenuhi oleh penyelenggara, berupa keamanan, kenyamanan, kepuasan, harus mematuhi apa yang menjadi aturan di tempat tersebut," ujar politisi Partai NasDem itu.
Menurutnya, sesuatu yang didapat secara gratis biasanya tidak akan mendapatkan penghargaan. "Dengan membayar, itu berarti dia menghargai apa yang akan didapat atau ditontonnya. Kalau perlu agak mahal harga tiketnya," ujarnya.
Efek jera
Namun, itu saja belum cukup. Sahroni yang juga fans Persija ini melanjutkan, dibutuhkan satuan tugas yang secara terukur bisa memantau para penonton.
Dia merujuk penyelenggaran Liga Inggris yang dinilainya cukup tertib. Selain karena ada aturan, di sana selalu ada petugas yang memantau gerak-gerik penonton. Siapa yang berbuat onar akan mereka ciduk.
Konsekuensi dari hal ini adalah adanya hukuman yang jelas dan sebisa mungkin membuat jera pelaku pelanggaran. "Bisa denda yang memberatkan atau kurungan atau lainnya. Itu bisa dirumuskan," tambahnya.
Ditanya soal konsekuensi biaya yang membengkak, Sahroni melihat hal itu setimpal dan bisa menjadi bagian dari pendidikan bagi warga.
"Mengapa tidak? Tak ada satuan tugas juga tetap keluar uang untuk biaya perbaikan. Lebih baik keluarnya biaya untuk sesuatu hal yang ada unsur pendidikannya kan?" ujarnya.
Jakarta: Gegap gempita perhelatan partai final Piala Presiden 2018 yang digelar di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) tak hanya menyisakan kerusakan. Sejumlah pekerjaan rumah harus segera diselesaikan.
Pasalnya, euforia kemenangan Persija atas Bali United pada laga final Sabtu, 17 Februari 2018, tercoreng oleh ulah perusakan sejumlah oknum suporter. Soal perilaku suporter bola ini memang bukan cerita baru di Tanah Air.
Sudah banyak banyak terjadi. Seperti, Persija pernah dihukum bertanding tanpa suporter lantaran ulah beberapa oknum Jakmania, pendukung setia Persija. Kejadian serupa juga terjadi saat laga Timnas kontra Islandia. Beberapa suporter bandel menginjak kursi stadion dan duduk di sandarannya. Padahal sudah ada ajakan 'Ayo Jaga GBK'.
Anggota DPR dari Daerah Pemilihan Jakarta III Ahmad Sahroni mengatakan dibutuhkan upaya yang lebih maju menyikapi kejadian semacam ini. Rusaknya beberapa fasilitas di SUGBK Sabtu kemarin, kata dia, tak bisa hanya direspons dengan penyesalan atau anjuran.
"Dibutuhkan modalitas dari pihak SUGBK untuk mendidik para suporter," kata dia dalam keterangan tertulis, Selasa, 20 Februari 2018.
Menurutnya, ada dua modalitas yang harus dikedepankan. Pertama, modalitas makro. Dunia pendidikan menjadi kunci di sini.
"Suporter harus dididik tentang pentingnya menjaga sarana publik. SUGBK itu kan milik kita bersama, kita harus juga menjaganya," kata dia.
Ahmad Sahroni (kiri). Foto: MI/Arya Manggala
Kedua adalah modalitas mikro yang terdiri dari dua hal. Pertama, penonton harus membayar. Dengan membayar, kata Sahroni, penyelenggara dituntut menyediakan fasilitas yang setimpal dengan harga yang dibayar.
"Demikian juga penonton, setelah mendapatkan berbagai fasilitas yang dipenuhi oleh penyelenggara, berupa keamanan, kenyamanan, kepuasan, harus mematuhi apa yang menjadi aturan di tempat tersebut," ujar politisi Partai NasDem itu.
Menurutnya, sesuatu yang didapat secara gratis biasanya tidak akan mendapatkan penghargaan. "Dengan membayar, itu berarti dia menghargai apa yang akan didapat atau ditontonnya. Kalau perlu agak mahal harga tiketnya," ujarnya.
Efek jera
Namun, itu saja belum cukup. Sahroni yang juga fans Persija ini melanjutkan, dibutuhkan satuan tugas yang secara terukur bisa memantau para penonton.
Dia merujuk penyelenggaran Liga Inggris yang dinilainya cukup tertib. Selain karena ada aturan, di sana selalu ada petugas yang memantau gerak-gerik penonton. Siapa yang berbuat onar akan mereka ciduk.
Konsekuensi dari hal ini adalah adanya hukuman yang jelas dan sebisa mungkin membuat jera pelaku pelanggaran. "Bisa denda yang memberatkan atau kurungan atau lainnya. Itu bisa dirumuskan," tambahnya.
Ditanya soal konsekuensi biaya yang membengkak, Sahroni melihat hal itu setimpal dan bisa menjadi bagian dari pendidikan bagi warga.
"Mengapa tidak? Tak ada satuan tugas juga tetap keluar uang untuk biaya perbaikan. Lebih baik keluarnya biaya untuk sesuatu hal yang ada unsur pendidikannya kan?" ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)