ILUSTRASI: Tumpeng raksasa peringatan Tahun Baru Islam di Pekulo, Banyuwangi, Jawa Timur, Rabu (20/9) ANTARA/Budi C. Setya
ILUSTRASI: Tumpeng raksasa peringatan Tahun Baru Islam di Pekulo, Banyuwangi, Jawa Timur, Rabu (20/9) ANTARA/Budi C. Setya

FOKUS

Hijrah Adalah Rekonsiliasi

Sobih AW Adnan • 20 September 2017 21:54
medcom.id, Jakarta: Abdullah bin Uraiqit, tak lagi menyoal tentang keyakinan. Yang ada dibenaknya, Muhammad harus diselamatkan.
 
Hari ketiga sejak Rasulullah meninggalkan Mekkah, dimulailah tugas penganut politeisme itu. Ia, dipercaya menuntun dua unta milik Abu Bakar dan menjalankan amanah sebagai penunjuk jalan.
 
Tak ada yang fasih menghafal rute Mekkah-Madinah, selain Abdullah.

Pada 24 September 622, Nabi dan rombongan tiba di Madinah. Peristiwa ini, mengawali masa keemasan Islam. Tujuh belas tahun setelahnya, khalifah Umar bin Khattab menetapkannya sebagai 1 Muharam, penanggalan pertama kalender Hijriah.
 
Lompatan peradaban
 
Profesor islamolog Philip Khuri Hitti dalam History of The Arabs: From the Earliest Times to the Present (2002)  menyebut, peristiwa hijrah mengakhiri periode Mekkah dan mengawali masa kejayaan Madinah.
 
Perpindahan itu, menjadi titik balik bagi Nabi demi menghindari tindak kekerasan dan percobaan pembunuhan yang direncanakan wangsa Quraisy.
 
"Tapi, bukan sepenuhnya sebuah pelarian. Melainkan rencana perpindahan yang sudah dipertimbangkan secara saksama sejak dua tahun sebelumnya," tulis Hitti.
 
Di Madinah, sebut Hitti, Muhammad berhasil memerankan dengan baik tiga karakter sekaligus. Sebagai Nabi, politisi, dan juga negarawan.
 
Bukti paling kuat ditunjukkan dengan keberhasilannya dalam melerai pertikaian abadi suku 'Aus dan Khazraj. Peristiwa yang kemudian melahirkan Al Sahifah al Madinah (Piagam Madinah), sebuah dokumen yang berisi pernyataan kesatuan komunitas yang terdiri dari kaum Muslim, Yahudi, serta komunitas-komunitas pagan lainnya.
 
Dalam akta yang memuat hampir 50 pasal itu, ayat pertama berbunyi:

Sesungguhnya mereka (Muslim, Yahudi, dan suku-suku di Madinah) satu umat. Lain dari (komunitas) manusia yang lain.


Piagam Madinah, menjadi gong atas sebabak lompatan peradaban. Konstitusi yang jauh meninggalkan kebiasaan lama, yakni membanggakan penguasaan harta benda, hubungan darah, kesamaan ras, juga kesatuan iman.
 
Madinah, sudah modern di masanya.
 
Perdamaian dan pemaafan
 
Keberhasilan Piagam Madinah sebagai dasar dan landasan hidup masyarakat multikultural, tampaknya menginspirasi banyak pihak.
 
Bahkan, Zuhairi Misrawi dalam Madinah: Kota Suci, Piagam Madinah, dan teladan Muhammad SAW (2009) mengatakan, melalui nilai-nilai kebersamaan itu, Nabi juga berhasil mengenalkan konsep partisipasi warga dalam pengambilan kebijakan publik, memperjuangkan supremasi konsensus, dan mampu menyingkirkan pakem feodalisme jahiliyah dengan acuan kualitas dan integritas perseoranagan berdasarkan tauhid.
 
"Saya kira, para founding fathers Indonesia juga terinspirasi Piagam Madinah ketika merumuskan dan memutuskan Pancasila sebagai common denominator atau kalimatun sawa bagi masyarakat Nusantara yang majemuk," tulis Zuhairi.
 
Keberhasilan lainnya, Nabi mampu mengajarkan semangat rekonsiliasi di Madinah.
 
Imam Besar Masjid Istiqlal Nazaruddin Umar mengatakan, hal itu tampak dari kemampuan Nabi dalam mengharmonisasi hubungan imigran dan pribumi.
 
Penduduk asli Madinah, yang karib disebut golongan Anshor, mau berbagi hak dan kewajiban bersama para pendatang, atau Muhajirin.
 
"Hijrah adalah rekonsiliasi. Di Madinah, semua menatap masa depan, bukan memperkarakan masa lalu," kata Nasaruddin kepada Metrotvnews.com, di Masjid Nursiah Dawud Paloh, Jakarta, Rabu, 20 September 2017.
 
Hijrah Adalah Rekonsiliasi
Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar/ANTARA FOTO/Wahyu Putro
 
Amanat ini, kata Nasaruddin, amat pas dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia. Terlebih, 1 Muharram bertepatan dengan pengujung September, bulan yang latah disertai dengan perdebatan tanpa ujung tentang peristiwa kelam di masa silam.
 
"Peristiwa 1965 adalah masa lalu. Jangan mengorek luka lama. Lebih baik bergandengan menatap masa depan," kata dia.
 
Baca: [FOKUS] Hantu PKI Hari Ini
 
Nabi selalu mengajarkan pemaafan. Ketika tiba masanya Madinah kuat dan bersepakat kembali merebut Mekkah, Muhammad melarang kaumnya membalas dendam.
 
Nabi, menyebut penaklukan kota itu sebagai yaum al marhamah (hari kasih sayang), bukan yaum al malhamah (hari pembantaian).
 
Semuanya, mengedepankan kemanusiaan.
 
"Nabi mengajarkan, atas nama kemanusiaan semuanya harus dihormati. Termasuk, entah itu bagi mereka yang dicap komunis, sosialis, marxis, atau label miring warisan peristiwa September 1965 lainnya," kata dia.
 
Kekeliruan masa lalu cukup menjadi permenungan. Hijrah adalah maju ke depan. Hijrah, adalah menutup celah pihak-pihak yang cuma ambil untung dari kekeruhan.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan