Laboratorium pengolahan logam tanah jarang, Gedung BATAN Yogyakarta, Babarsari, Sleman, DI Yogyakarta. ANTARA FOTO
Laboratorium pengolahan logam tanah jarang, Gedung BATAN Yogyakarta, Babarsari, Sleman, DI Yogyakarta. ANTARA FOTO

FOKUS

Jebakan Middle Income dan Kesadaran Energi

Coki Lubis • 18 Januari 2017 19:32
medcom.id, Jakarta: "Untuk menjadi bangsa besar Indonesia harus menguasai nuklir dan antariksa..." ucap Presiden Sukarno pada 1958, atau empat tahun setelah si Bung Besar membentuk Panitia Negara untuk Penyelidikan Radioaktivitet.
 
Selang beberapa tahun, tepatnya Desember 1965, reaktor nuklir pertama di Indonesia, Training Research Isotope Production by General Atomic (Triga) yang berlokasi di Bandung, diresmikan Sukarno. Reaktor nuklir berdaya 250 KW ini kemudian digunakan untuk keperluan pelatihan, riset, dan produksi radio isotop.
 
"Indonesia sudah memasuki era atom, dengan penguasaan teknologi atom maka Indonesia sudah siap memasuki era modern," ucap Sukarno saat peresmian Triga.

Memasuki era Orde Baru, Presiden Suharto ternyata juga memiliki keinginan yang sama. Membangun reaktor nuklir untuk kebutuhan energi dalam negeri.
 
Pada 1972  dibentuklah Komisi Persiapan Pembangunan PLTN (KP2PLTN) oleh Batan dan Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (Departemen PUTL). Studi demi studi dilakukan.
 
Layu sebelum berkembang, rencana pembangunan PLTN harus terhenti karena krisis ekonomi dan politik pada 1998. Tapi, saat itu perencanaan untuk hadirnya sebuah PLTN sudah semakin matang.
 
Memasuki era reformasi, pascakrisis multidimensi, berbagai upaya terus dilakukan untuk merealisasikan reaktor nuklir untuk pemenuhan energi nasional, khususnya kebutuhan listrik. Namun, berbagai hambatan juga ditemui. Termasuk dari dalam pemerintahan sendiri.
 
Kebijakan Energi Nasional 2010-2050 yang dikeluarkan Kementerian ESDM maupun Rencana Umum Pembangunan Tenaga Listrik sampai 2025 belum menyebutkan adanya rencana pembangunan PLTN. Di luar pemerintahan, pro-kontra terjadi, baik di kalangan para pakar maupun di masyarakat awam, tentang perlu tidaknya PLTN dibangun di Indonesia.
 
Bukan hanya penolakan dari masyarakat yang dihadapi. Pada 2015, Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil juga menolak PLTN. Menurutnya, penggunaan energi nuklir untuk pembangkit listrik belum tepat. 
 
Hal ini diperkuat oleh pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengatakan masih banyak sumber energi alternatif lainnya yang lebih cocok untuk kondisi geologi dan sosiologi Indonesia selain nuklir. Termasuk kesiapan SDM-nya.
 
Jadi, setelah hampir enam dasawarsa sejak Sukarno pertama kali menyebut energi nuklir di Istana Negara, hingga kini belum banyak yang bisa dilakukan terkait pemanfaatan energi ini. Semuanya masih berkutat di seputar rencana dan persiapan. 
 
Deindustrialisasi
 
Alhasil, selama 15 tahun terakhir Indonesia mengalami proses deindustrialisasi. Kontribusi manufaktur (industri non-migas) merosot terus, dari 29,0% pada 2001 menjadi 20,7% pada 2016. Padahal seharusnya untuk sebuah negara dengan GDP di bawah USD7.000 idealnya dikisaran 30%-40%.
 
Kementerian Perindustrian mengakui, kebutuhan listrik adalah salah satu kendala tumbuhnya industri manufaktur.
 
“Apabila penyediaan dan kontribusi energi tersebut terlambat dilakukan, Indonesia akan terjebak dalam middle income trap di kurun waktu 2020-2030,” ucap Menteri Perindustrian Saleh Husin dalam sambutannya pada acara Seminar Nasional: Thorium Sebagai Sumber Daya Revolusi Industri pada 24 Mei 2016 lalu di Jakarta.
 
Untuk diketahui, negara-negara berkembang kerap dihantui oleh perangkap pendapatan kelas menengah (middle income trap) jika tak berhati-hati dalam menjaga stabilitas industri dan pertumbuhan ekonominya. Dengan kata lain, jebakan middle income trap ini perlu dihindari agar negara berkembang dapat naik kelas menjadi negara maju atau negara berpendapatan tinggi (high income country). 
 
Artinya, untuk terhindar dari jebakan tersebut, arah kebijakan Indonesia pada masa mendatang harus tepat. Antara lain, melakukan pemanfaatan sumber daya nasional strategis. Termasuk menggenjot pengembangan sumber energi alternatif dan terbarukan, pengembangan industri pengolahan sumber daya yang memiliki nilai tambah tinggi (higher-value added resource based industry), serta mendorong hilirisasi industri.
 
Ketersedian listrik untuk masyarakat dan Industri pun direncanakan, hingga munculnya Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Ditargetkan, pembangunan kapasitas listrik terpasang pada tahun 2025 adalah 136 GW dan pada tahun 2050 adalah 438 GW.
 
Wakil Ketua Komtap Lingkungan Hidup, Bidang Energi Terbarukan dan Lingkungan Hidup (EBTLH) Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), Bob Soelaiman Effendi, mengatakan faktor yang mempengaruhi merosot atau tumbuhnya menufakturing sangat banyak. "Tapi bila kita mengambil tiga alasan utama, maka saya yakin ketersedian listrik dengan harga terjangkau akan masuk didalamnya," ucapnya saat dihubungi metrotvnews.com, Rabu (18/1/2017).
 
Tarif listrik di Indonesia secara harga absolut lebih murah di banding Thailand, Malaysia dan Singapura. Namun, kata Bob, daya beli masyarakat (GDP per kapita) di tiga negara itu lebih baik dari Indonesia. "Artinya harga kita tergolong mahal bila dilihat dari GDP." 
 
Dampaknya, industri Indonesia tidak memiliki daya saing di global. "Terbukti dengan terus merosotnya indeks daya saing Indonesia," ujarnya.
 
Menurut Bob, perlu ada penataan ulang perencanaan energi nasional. Dalam perencanaannya, perlu mempertimbangkan teknologi pembangkitan yang dapat memberikan daya dalam skala Gigawatt dengan biaya murah.
 
"Hal itu hanya dapat diberikan oleh teknologi nuklir," ucapnya.
 
Baca juga:
Nuklir, Energi Baru Potensial yang Dikesampingkan
Indonesia Perlu Memperbanyak Peneliti

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADM)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan