Jakarta: Menteri Koodinator bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Permasyarakatan, Yusril Ihza Mahendr baru-baru ini mengatakan bahwa tidak ada pelanggaran HAM berat terjadi dalam beberapa dekade dan kasus tersebut terakhir terjadi ketika masa penjajahan.
"Enggak," ucap Yusril di Istana Negara, Jakarta, Senin, 21 Oktober 2024, menjawab pertanyaan wartawan ketika ditanyakan tentang apakah peristiwa 98 merupakan pelanggaran HAM berat.
Yusril kemudian membuat klarifikasi bahwa yang ditanyakan bukan terkait masalah genosida atau ethnic cleansing pada hari Selasa 22 Oktober, yang membuat seakan-akan kejahatan HAM hanya berkisar 2 bentuk kejahatan tersebut.
Pernyataan tersebut bertentangan dengan pendapat beberapa pihak, termasuk organisasi HAM Amnesty International, pernyataan mantan Presiden Joko Widodo, dan kemungkinan bertentangan dengan UU. Ini uraiannya.
Deskripsi Singkat Kerusuhan 1998
Gambar: Kerusuhan 1998. (Dok. Kantor Wakil Presiden RI, B.J. Habibie)
Tragedi Mei 1998 terjadi di tengah krisis ekonomi yang melanda negara dan akhirnya menyebabkan jatuhnya pemerintahan Presiden Soeharto.
Dalam kerusuhan tersebut, beberapa serangan diduga merupakan kampanye terorganisir terhadap perempuan etnis Tionghoa oleh kelompok-kelompok yang memicu kerusuhan.
Selama kerusuhan, banyak perempuan yang mengalami kekerasan seksual, terutama di Jakarta. Tim Relawan untuk Kemanusiaan mencatat 168 kasus kekerasan seksual, dengan 152 kasus terjadi di Jakarta, sementara sisanya terjadi di Surakarta, Medan, Palembang, dan Surabaya. Sebanyak 20 korban kekerasan seksual dilaporkan meninggal dunia hingga 14 Juli 1998.
Berdasarkan laporan akhir Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dari unsur pemerintah presiden RI saat itu B.J Habibie, Komnas HAM, dan ormas-ormas HAM lainnya pada 23 Oktober 1998, jumlah korban jiwa di Jakarta, setidaknya 1.217 jiwa (1.190 akibat terbakar atau dibakar dan 27 lainnya terbakar akibat senjata atau penyebab lainnya,
Dalam suasana ketakutan akibat kekerasan, antara 10.000 hingga 100.000 warga etnis Tionghoa, yang merupakan sekitar 3-5% dari populasi etnis Tionghoa di Indonesia, melarikan diri dari negara Indonesia.
Apa itu Pelanggaran HAM Berat?
Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000, Pelanggaran HAM berat merupakan "extra ordinary crimes," dan bentuk kejahatan tersebut berdasarkan Pasal 7 UU tersebut yakni:
1. Kejahatan genosida
2. Kejahatan terhadap kemanusiaan
Lebih lanjut dalam Pasal 9 bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa:
1. pembunuhan;
2. pemusnahan;
3. perbudakan;
4. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
5. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
6. penyiksaan;
7. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
8. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
9. penghilangan orang secara paksa; atau
10. kejahatan apartheid.
Mantan Presiden Jokowi Sebut Pelanggaran HAM berat
Mantan Presiden Joko Widodo menerima laporan dari Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat (PPHAM) di Istana Merdeka, Jakarta, pada Rabu, 11 Januari 2023.
Dalam keterangannya, Presiden Jokowi mengakui bahwa pelanggaran HAM yang berat telah terjadi pada berbagai peristiwa di Tanah Air. peristiwa-peristiwa tersebut berupa:
1. Peristiwa 1965-1966;
2. Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985;
3. Peristiwa Talangsari, Lampung 1989;
4. Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989;
5. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998;
6. Peristiwa Kerusuhan Mei 1998;
7. Peristiwa Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999;
8. Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999;
9. Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999;
10. Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002;
11. Peristiwa Wamena, Papua 2003; dan
12. Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.
Kecaman Amnesty International
Pada 21 Oktober, organisasi HAM Amnesty International mengecam pernyataan Yusril dan sebut Menko tersebut keliru tentang HAM.
“Pernyataan itu juga mengabaikan laporan-laporan resmi pencarian fakta tim gabungan bentukan pemerintah dan penyelidikan pro-justisia Komnas HAM atas sejumlah peristiwa pada masa lalu yang menyimpulkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan atau crimes against humanity. Jadi pelanggaran HAM yang berat menurut hukum nasional bukan hanya genosida dan pembersihan etnis," ucap Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.
Hal tersebut juga tidak sesuai dengan definisi hukum internasional, yakni Statuta Roma Pasal 7 tentang kejahatan terhadap kemanusiaan yang bentuk-bentuknya hampir mirip seperti dalam UU No. 26 Tahun 2000, beberapa diantaranya meliputi pemerkosaan dan pengusiran paksa.
Jadi berdasakan UU No. 26 Tahun 2000, pernyataan mantan presiden, dan Amnesty International, pernyataan Menko Yusril keliru tentang tragedi 1998 dan menimbulkan kekhawatiran dikarenakan posisi beliau sebagai Menko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Permasyarakatan.
Baca Juga:
Amnesty International Nilai Pernyataan Yusril Soal Tragedi 1998 Bukan Pelanggaran HAM Berat Keliru
Jelang Dilantik, Yusril Ihza: Saya Sudah Paham dengan Tugas Saya
Jakarta: Menteri Koodinator bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Permasyarakatan,
Yusril Ihza Mahendr baru-baru ini mengatakan bahwa tidak ada pelanggaran HAM berat terjadi dalam beberapa dekade dan kasus tersebut terakhir terjadi ketika masa penjajahan.
"Enggak," ucap Yusril di Istana Negara, Jakarta, Senin, 21 Oktober 2024, menjawab pertanyaan wartawan ketika ditanyakan tentang apakah peristiwa 98 merupakan pelanggaran HAM berat.
Yusril kemudian membuat klarifikasi bahwa yang ditanyakan bukan terkait masalah genosida atau ethnic cleansing pada hari Selasa 22 Oktober, yang membuat seakan-akan kejahatan HAM hanya berkisar 2 bentuk kejahatan tersebut.
Pernyataan tersebut bertentangan dengan pendapat beberapa pihak, termasuk organisasi HAM Amnesty International, pernyataan mantan Presiden Joko Widodo, dan kemungkinan bertentangan dengan UU. Ini uraiannya.
Deskripsi Singkat Kerusuhan 1998
Gambar: Kerusuhan 1998. (Dok. Kantor Wakil Presiden RI, B.J. Habibie)
Tragedi Mei 1998 terjadi di tengah krisis ekonomi yang melanda negara dan akhirnya menyebabkan jatuhnya pemerintahan Presiden Soeharto.
Dalam kerusuhan tersebut, beberapa serangan diduga merupakan kampanye terorganisir terhadap perempuan etnis Tionghoa oleh kelompok-kelompok yang memicu kerusuhan.
Selama kerusuhan, banyak perempuan yang mengalami kekerasan seksual, terutama di Jakarta. Tim Relawan untuk Kemanusiaan mencatat 168 kasus kekerasan seksual, dengan 152 kasus terjadi di Jakarta, sementara sisanya terjadi di Surakarta, Medan, Palembang, dan Surabaya. Sebanyak 20 korban kekerasan seksual dilaporkan meninggal dunia hingga 14 Juli 1998.
Berdasarkan laporan akhir Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dari unsur pemerintah presiden RI saat itu B.J Habibie, Komnas HAM, dan ormas-ormas HAM lainnya pada 23 Oktober 1998, jumlah korban jiwa di Jakarta, setidaknya 1.217 jiwa (1.190 akibat terbakar atau dibakar dan 27 lainnya terbakar akibat senjata atau penyebab lainnya,
Dalam suasana ketakutan akibat kekerasan, antara 10.000 hingga 100.000 warga etnis Tionghoa, yang merupakan sekitar 3-5% dari populasi etnis Tionghoa di Indonesia, melarikan diri dari negara Indonesia.
Apa itu Pelanggaran HAM Berat?
Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000, Pelanggaran HAM berat merupakan "
extra ordinary crimes," dan bentuk kejahatan tersebut berdasarkan Pasal 7 UU tersebut yakni:
1. Kejahatan genosida
2. Kejahatan terhadap kemanusiaan
Lebih lanjut dalam Pasal 9 bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa:
1. pembunuhan;
2. pemusnahan;
3. perbudakan;
4. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
5. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
6. penyiksaan;
7. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
8. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
9. penghilangan orang secara paksa; atau
10. kejahatan apartheid.
Mantan Presiden Jokowi Sebut Pelanggaran HAM berat
Mantan Presiden Joko Widodo menerima laporan dari Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat (PPHAM) di Istana Merdeka, Jakarta, pada Rabu, 11 Januari 2023.
Dalam keterangannya, Presiden Jokowi mengakui bahwa pelanggaran HAM yang berat telah terjadi pada berbagai peristiwa di Tanah Air. peristiwa-peristiwa tersebut berupa:
1. Peristiwa 1965-1966;
2. Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985;
3. Peristiwa Talangsari, Lampung 1989;
4. Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989;
5. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998;
6. Peristiwa Kerusuhan Mei 1998;
7. Peristiwa Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999;
8. Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999;
9. Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999;
10. Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002;
11. Peristiwa Wamena, Papua 2003; dan
12. Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.
Kecaman Amnesty International
Pada 21 Oktober, organisasi HAM
Amnesty International mengecam pernyataan Yusril dan sebut Menko tersebut keliru tentang HAM.
“Pernyataan itu juga mengabaikan laporan-laporan resmi pencarian fakta tim gabungan bentukan pemerintah dan penyelidikan pro-justisia Komnas HAM atas sejumlah peristiwa pada masa lalu yang menyimpulkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan atau crimes against humanity. Jadi pelanggaran HAM yang berat menurut hukum nasional bukan hanya genosida dan pembersihan etnis," ucap Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.
Hal tersebut juga tidak sesuai dengan definisi hukum internasional, yakni Statuta Roma Pasal 7 tentang kejahatan terhadap kemanusiaan yang bentuk-bentuknya hampir mirip seperti dalam UU No. 26 Tahun 2000, beberapa diantaranya meliputi pemerkosaan dan pengusiran paksa.
Jadi berdasakan UU No. 26 Tahun 2000, pernyataan mantan presiden, dan Amnesty International, pernyataan Menko Yusril keliru tentang tragedi 1998 dan menimbulkan kekhawatiran dikarenakan posisi beliau sebagai Menko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Permasyarakatan.
Baca Juga:
Amnesty International Nilai Pernyataan Yusril Soal Tragedi 1998 Bukan Pelanggaran HAM Berat Keliru
Jelang Dilantik, Yusril Ihza: Saya Sudah Paham dengan Tugas Saya Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(WAN)