Jakarta: Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Beka Ulung Hapsara mengungkapkan bahwa kerusuhan Papua dapat menghambat terpilihnya Indonesia menjadi Anggota Dewan HAM PBB periode 2020-2022. Meski demikian, Komnas HAM mendukung agar Indonesia terpilih.
"Komnas mendukung tapi dengan beberapa syarat. Pertama, penyelesaian masalah pelanggaran HAM," kata dia dalam diskusi diskusi Populi Center dan Smart FM Network, Sabtu, 31 Agustus 2019.
Beka menjelaskan bahwa pelanggaran HAM bisa diselesaikan dengan dua hal, yaitu secara yudisial dan non-yudisial. Cara pertama dengan cara diserahkan ke Kejaksaan Agung untuk selanjutnya bisa berakhir di Pengadilan HAM. Sementara penyelesaian secara non-yudisial berupa pembuatan kebijakan setingkat Undang-undang.
Diperlukan inisiatif negara untuk mengakui peristiwa pelanggaran HAM tersebut dan bertanggung jawab. Namun, langkah utama penyelesaian kasus adalah dengan pengungkapan kebenaran terlebih dahulu.
"Kerusuhan Papua adalah momentum untuk mengoreksi diri. (Negara baiknya) memberikan komitmen bahwa (kerusuhan) Papua mau diselesaikan secara bermartabat," ujar dia.
Syarat kedua adalah mampu menciptakan suasana kondusif bagi perlindungan dan penghormatan HAM. Saat ini banyak terjadi pelanggaran HAM di sektor lingkungan dan infrastruktur, seperti pembangunan tol dan tambang yang menggusur warga atau masyarakat adat. Selain itu, lubang tambang yang memakan korban jiwa di Kalimantan.
"Bukan persoalan nyawa hilang saja, tapi juga hak warga atas lingkungan bersih dan kenyamanan tinggal," tandas dia.
Syarat ketiga adalah berperan aktif di level internasional dalam hal penegakan HAM. Dalam hal ini, Indonesia sudah cukup berperan, yaitu dengan bergabungnya Marzuki Darusman dalam Tim Pencari Fakta PBB untuk Myanmar dalam kasus Rohingya.
Jakarta: Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Beka Ulung Hapsara mengungkapkan bahwa kerusuhan Papua dapat menghambat terpilihnya Indonesia menjadi Anggota Dewan HAM PBB periode 2020-2022. Meski demikian, Komnas HAM mendukung agar Indonesia terpilih.
"Komnas mendukung tapi dengan beberapa syarat. Pertama, penyelesaian masalah pelanggaran HAM," kata dia dalam diskusi diskusi Populi Center dan Smart FM Network, Sabtu, 31 Agustus 2019.
Beka menjelaskan bahwa pelanggaran HAM bisa diselesaikan dengan dua hal, yaitu secara yudisial dan non-yudisial. Cara pertama dengan cara diserahkan ke Kejaksaan Agung untuk selanjutnya bisa berakhir di Pengadilan HAM. Sementara penyelesaian secara non-yudisial berupa pembuatan kebijakan setingkat Undang-undang.
Diperlukan inisiatif negara untuk mengakui peristiwa pelanggaran HAM tersebut dan bertanggung jawab. Namun, langkah utama penyelesaian kasus adalah dengan pengungkapan kebenaran terlebih dahulu.
"Kerusuhan Papua adalah momentum untuk mengoreksi diri. (Negara baiknya) memberikan komitmen bahwa (kerusuhan) Papua mau diselesaikan secara bermartabat," ujar dia.
Syarat kedua adalah mampu menciptakan suasana kondusif bagi perlindungan dan penghormatan HAM. Saat ini banyak terjadi pelanggaran HAM di sektor lingkungan dan infrastruktur, seperti pembangunan tol dan tambang yang menggusur warga atau masyarakat adat. Selain itu, lubang tambang yang memakan korban jiwa di Kalimantan.
"Bukan persoalan nyawa hilang saja, tapi juga hak warga atas lingkungan bersih dan kenyamanan tinggal," tandas dia.
Syarat ketiga adalah berperan aktif di level internasional dalam hal penegakan HAM. Dalam hal ini, Indonesia sudah cukup berperan, yaitu dengan bergabungnya Marzuki Darusman dalam Tim Pencari Fakta PBB untuk Myanmar dalam kasus Rohingya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(EKO)