DPD ajukan gugatan ke MK (15/8/2014) -- MI/Panca Syurkani
DPD ajukan gugatan ke MK (15/8/2014) -- MI/Panca Syurkani

Hari Ini, MK Mulai Adili Gugatan UU MD3

Henri Salomo • 28 Agustus 2014 06:40
medcom.id, Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK)  mulai menggelar sidang perdana permohonan gugatan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPD, DPR dan DPRD (MD3) hari ini, Kamis (28/8/2014) pukul 15.00 WIB dan 16.00 WIB. Sidang perdana itu memiliki agenda pemeriksaan pendahuluan.
 
Gugatan UU MD3 dimohonkan oleh lima pihak, yaitu Koalisi untuk Perjuangan Keterwakilan Perempuan atas nama pemohon Rieke Dyah Pitaloka dan Khofifah Indar Prawansa, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), PDIP atas nama pemohon Megawati Soekarnoputri, Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana (Institute for criminal justice Reform/ICJR), serta Febi Yonesta dan JJ Rizal.
 
Koalisi untuk Perjuangan Keterwakilan Perempuan menggugat Pasal 97 ayat (2) tentang pimpinan komisi, Pasal 104 ayat (2) tentang Pimpinan Badan Legislasi, Pasal 109 ayat (2) tentang Pimpinan Badan Anggaran, Pasal 115 ayat (2) tentang Pimpinan BKSAP, Pasal 121 ayat (2) tentang Mahkamah Kehormatan Dewan, Pasal 152 ayat (2) tentang Pimpinan BURT, Pasal 158 ayat (2) tentang Pimpinan Panitia Khusus dalam UU MD3.

Aktivis Koalisi Perempuan meminta MK untuk mengembalikan keterwakilan perempuan minimal 30% di DPR. "Permintaan beberapa pasal yang mengatur alat kelengkapan dewan dikembalikan kepada yang lama (UU MD3 lama), harus ada keterwakilan perempuan," katanya Juru Bicara Koalisi Yuda Kusumaningsih, saat mendaftar pengujian UU MD3 di MK Jakarta.
 
Febi Yonesta, JJ Rizal dan Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana menggugat pasal 245. Pasal itu terkesan menjadi pasal yang melindungi anggota dewan ketika menghadapi proses hukum.
 
Pasal itu terdiri dari 3 ayat, yang berbunyi, "(1) Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan. (2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan, dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana; b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau c. disangka melakukan tindak pidana khusus."
 
PDIP menguji 7 pasal dalam UU itu, yakni pasal 84, pasal 97, pasal 104, pasal 109, pasal 115, pasal 121, dan pasal 152. Pasal-pasal itu terkait dengan mekanisme pemilihan pimpinan dewan, komisi, dan badan di DPR, serta mengenai hak imunitas anggota DPR saat menjalani proses hukum.
 
Kuasa hukum PDIP Andi Muhammad Asrun, saat mengajukan gugatan di MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Kamis (24/7/2014), mengungkapkan salah satu pasal yang dianggap merugikan PDIP adalah pasal 84 UU MD3.
 
Pasal itu menuliskan, "Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil yang dipilih dari dan oleh anggota DPR."
 
Sementara, lanjut Andi, dalam pasal 82 UU Nomor 27 tahun 2009 tentang MD3 (sebelum direvisi) tak hanya berkata demikian. Pasal itu menyebutkan pemenang pemilu sebagai ketua DPR.
 
Adanya pasal-pasal yang digugat ini dirasakan merugikan hak konstitusional PDIP selaku pemenang pemilu. Pasalnya, jabatan-jabatan di parlemen tidak lagi diberikan kepada partai politik sesuai dengan perolehan kursi secara proporsional. Akan tetapi, jabatan itu dipilih langsung oleh anggota DPR.
 
Adapun jabatan-jabatan itu adalah pimpinan komisi, Badan Legislasi, Badan Anggaran, Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP), Mahkamah Kehormatan Dewan, dan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT). Penetapan jabatan ini pun diatur dalam UU MD3.
 
Adapun DPD menguji 21 pasal, yakni pasal 71 huruf c, pasal 72, pasal 165, pasal 166 ayat (2), pasal 167 ayat (1), pasal 170 ayat (5), pasal 171 ayat (1), pasal 174 ayat (4), ayat (5), pasal 224 ayat (5), pasal 245 ayat (1), pasal 249 huruf b, pasal 250 ayat (1), pasal 252 ayat (4), pasal 276 ayat (1), pasal 277 ayat (1), pasal 281, pasal 305, dan pasal 307 ayat (2) huruf d.
 
Berdasarkan keterangan dari laman DPD, anggota DPD I Wayan Sudirta menjelaskan UU MD3 telah inkonstitusional secara formil dan materiil.
 
Inkonstitusional formil di antaranya, (1) UU MD3 melanggar tata cara dalam melaksanakan perintah pendelegasian pembentukan peraturan sebagaimana ditegaskan konstitusi. Seharusnya UU MPR, UU DPR, dan UU DPD diadakan secara tersendiri.
 
(2) Dalam paragraf 1 pembentukan UU Pasal 162 – 174 UU MD3 yaitu seluruh ketentuan paragraf ini harus masuk dalam UU Pembentukan Peraturan Perundangan, karena di dalam perintah pendelegasian Pasal 22A UUD 1945 menegaskan: Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.
 
(3) Proses pembentukan UU MD3 melanggar ketentuan pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang memberikan wewenang konstitusional DPD mengajukan dan ikut membahas RUU. Dalam hal ini DPD tidak diikutsertakan dalam proses pembentukan UU MD3.
 
Inkonstitusional materiil yaitu inkonstitusionalitas dalam fungsi legislasi, hubungan antarlembaga perwakilan, dalam penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN.
 
I Wayan Sudirta mencontohkan inkonstitusionalitas dalam fungsi legislasi di antaranya mengenai pemasungan konstitusional terhadap DPD karena RUU yang diajukan DPD, disaring oleh pimpinan DPR untuk disampaikan kepada Presiden.
 
Pokok-pokok inkonstitusionalitas dalam hubungan antarlembaga perwakilan yaitu mengenai pengaturan diskriminatif antar lembaga perwakilan, ketidaksejajaran kedudukan lembaga perwakilan, dan pengingkaran terhadap Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012.
 
I Wayan Sudirta mengatakan beberapa diskriminasi di antaranya anggota DPR harus mendapat persetujuan Mahkamah Kehormatan DPR untuk dapat dianggil dan diperiksa, sedangkan ketentuan tersebut tidak berlaku untuk anggota DPD dan MPR.
 
Diskriminasi lainnya yaitu peniadaan pengaturan anggota DPR diberhentikan antarwaktu apabila tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut, namun untuk anggota DPD ketentuan tersebut masih ada. ”UU ini sangat ganjil dan diskriminatif," kata Wayan.
 
Pokok-pokok Inkonstitusionalitas dalam penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN di antaranya terkait penghapusan bagian penyidikan untuk anggota MPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, Penghapusan tugas dan wewenang DPR untuk membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang disampaikan BPK, serta penghapusan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara.
 
Menurut I Wayan Sudirta UU MD3 ini bertentangan dengan UUD 1945 yang telah diberikan tafsir oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No.92/PUU-X/2012. DPR, lanjut dia, telah menghina putusan MK.
 
”Karena DPR yang membuat UU MK dan menyatakan keputusan MK final dan mengikat. Ketika keputusan berkaitan DPD dijatuhkan, putusan tidak diakomodasi, seharusnya tidak bisa diabaikan. Kalau terus menerus tidak diakomodasi, ini bermain-main dengan negara. Kejaksaan, kepolisian, KPK dirugikan, DPD dirugikan,“ jelas dia.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(LOV)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan