medcom.id, Jakarta: Kasus ijazah palsu dinilai jadi pukulan telak bagi dunia pendidikan. Masalah ini dianggap sebagai tanda ada yang tidak benar dalam pengurusan pendidikan di tangan kementerian terkait, seperti Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
"Saya enggak mau bilang kementerian kebobolan, tapi saya juga kebobolan, negara-bangsa kebobolan," kata Pengamat Pendidikan Profesor Arief Rahman kepada Metrotvnews.com, Kamis (28/5/2015) malam.
Menurut dia, kasus ini menunjukkan pemerintah melalui lembaga-lembaga yang bertanggung jawab tak menjalankan fungsi pengawasan mutu pendidikan dengan baik. Di lain pihak, perusahaan yang mencari tenaga terdidik juga kurang cermat dalam menyaring para pelamar.
"Jadi ini mungkin hikmahnya besar. Supaya semua cermat, kalau perlu cek ke lembaganya. Apa benar dia lulusan universitas tertentu. Cari universitasnya. Sektor pengawasannya harus lebih lagi," ungkap Guru besar di Universitas Negeri Jakarta tersebut.
Arief menambahkan, ada banyak kasus semacam ini di dunia pendidikan Indonesia. "Kasus ini sudah lama, plagiarisme, kepalsuan, naik kelas dengan dongkrak nilai, lulus fiktif, yang kayak gitu di pendidikan ada," imbuh dia.
Namun, dia meyakini, walau seseorang berusaha mendapatkan status pendidikan yang tinggi dengan cara-cara tersebut, hasilnya tak akan mengubah kompetensi aslinya. Kualitas intelektual mereka, kata dia, tak akan naik. "Pada akhirnya kan terbukti dalam kenyataan bahwa mereka enggak punya kompetensi yang memenuhi syarat," pungkas dia.
Praktik jual beli ijazah dan ijazah palsu menjadi perhatian publik setelah ada pengaduan masyarakat terhadap 18 perguruan tinggi. Polisi pun sedang gencar-gencarnya memburu pada pemain yang ada di dalamnya.
medcom.id, Jakarta: Kasus ijazah palsu dinilai jadi pukulan telak bagi dunia pendidikan. Masalah ini dianggap sebagai tanda ada yang tidak benar dalam pengurusan pendidikan di tangan kementerian terkait, seperti Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
"Saya
enggak mau bilang kementerian kebobolan, tapi saya juga kebobolan, negara-bangsa kebobolan," kata Pengamat Pendidikan Profesor Arief Rahman kepada
Metrotvnews.com, Kamis (28/5/2015) malam.
Menurut dia, kasus ini menunjukkan pemerintah melalui lembaga-lembaga yang bertanggung jawab tak menjalankan fungsi pengawasan mutu pendidikan dengan baik. Di lain pihak, perusahaan yang mencari tenaga terdidik juga kurang cermat dalam menyaring para pelamar.
"Jadi ini mungkin hikmahnya besar. Supaya semua cermat, kalau perlu cek ke lembaganya. Apa benar dia lulusan universitas tertentu. Cari universitasnya. Sektor pengawasannya harus lebih lagi," ungkap Guru besar di Universitas Negeri Jakarta tersebut.
Arief menambahkan, ada banyak kasus semacam ini di dunia pendidikan Indonesia. "Kasus ini sudah lama, plagiarisme, kepalsuan, naik kelas dengan dongkrak nilai, lulus fiktif, yang kayak gitu di pendidikan ada," imbuh dia.
Namun, dia meyakini, walau seseorang berusaha mendapatkan status pendidikan yang tinggi dengan cara-cara tersebut, hasilnya tak akan mengubah kompetensi aslinya. Kualitas intelektual mereka, kata dia, tak akan naik. "Pada akhirnya kan terbukti dalam kenyataan bahwa mereka enggak punya kompetensi yang memenuhi syarat," pungkas dia.
Praktik jual beli ijazah dan ijazah palsu menjadi perhatian publik setelah ada pengaduan masyarakat terhadap 18 perguruan tinggi. Polisi pun sedang gencar-gencarnya memburu pada pemain yang ada di dalamnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)