medcom.id, Jakarta: Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia Marius Widjajarta menuding Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) belum bangkit melindungi masyarakat. Hal itu dilihat dari maraknya peredaran obat dan vaksin palsu di Indonesia.
Ia menyampaikan, belum selesai masalah obat palsu, beredar masalah lain, vaksin palsu. Menurutnya, BPOM seperti bernostalgia dengan kasus yang terus berulang.
"Pengawasannya kurang. Alasannya karena tidak ada anggaran. Selama 30 tahun keluhannya itu terus. Jadi, obat palsu seperti sarapan pagi," kata Marius di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta Pusat, Selasa (28/6/2016).
Ilustrasi vaksin. Foto:Antara/Jojon
Dokter dari salah satu rumah sakit swasta itu menyampaikan, BPOM lemah dalam mengawasi distribusi obat dan vaksin. Manurut Marius, BPOM seharusnya membuat laporan produksi dan distribusi.
"Selama ini, laporan produksi dan distribusi banyak yang kosong. Misalnya bahan baku satu kilogram menjadi 100 kapsul, lalu dibuatnya di mana dan disebar ke mana itu harus ada laporannya," ujar Marius.
Ia menuturkan, Kementerian Kesehatan juga turut andil dalam kelalaian ini. Menurutnya, penyebaran vaksin palsu layaknya pembunuhan diam-diam.
"Sudah 13 tahun penyebaran vaksin palsu. Ini menyangkut keselamatan jiwa karena anak tidak memiliki imunitas," katanya.
Ia meminta pemerintah bisa mengawasi peredaran vaksin palsu dari hulu hingga hilir. Bagaimana pun, kata Marius, tidak akan ada vaksin palsu bila BPOM mengawasi pembuatan dan distribusi dengan ketat.
medcom.id, Jakarta: Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia Marius Widjajarta menuding Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) belum bangkit melindungi masyarakat. Hal itu dilihat dari maraknya peredaran obat dan vaksin palsu di Indonesia.
Ia menyampaikan, belum selesai masalah obat palsu, beredar masalah lain, vaksin palsu. Menurutnya, BPOM seperti bernostalgia dengan kasus yang terus berulang.
"Pengawasannya kurang. Alasannya karena tidak ada anggaran. Selama 30 tahun keluhannya itu terus. Jadi, obat palsu seperti sarapan pagi," kata Marius di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta Pusat, Selasa (28/6/2016).
Ilustrasi vaksin. Foto:Antara/Jojon
Dokter dari salah satu rumah sakit swasta itu menyampaikan, BPOM lemah dalam mengawasi distribusi obat dan vaksin. Manurut Marius, BPOM seharusnya membuat laporan produksi dan distribusi.
"Selama ini, laporan produksi dan distribusi banyak yang kosong. Misalnya bahan baku satu kilogram menjadi 100 kapsul, lalu dibuatnya di mana dan disebar ke mana itu harus ada laporannya," ujar Marius.
Ia menuturkan, Kementerian Kesehatan juga turut andil dalam kelalaian ini. Menurutnya, penyebaran vaksin palsu layaknya pembunuhan diam-diam.
"Sudah 13 tahun penyebaran vaksin palsu. Ini menyangkut keselamatan jiwa karena anak tidak memiliki imunitas," katanya.
Ia meminta pemerintah bisa mengawasi peredaran vaksin palsu dari hulu hingga hilir. Bagaimana pun, kata Marius, tidak akan ada vaksin palsu bila BPOM mengawasi pembuatan dan distribusi dengan ketat
. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FZN)