medcom.id, Jakarta: Sebuah nisan di Blok AA1 Tempat Pemakaman Umum (TPU) Karet Bivak, Jakarta Pusat, tertulis nama Ibu Sumarti. Ia lahir di Kutoarjo, Jawa Tengah, dan wafat di Yogyakarta.
Anehnya, tak ada yang tahu pasti kapan ia lahir dan wafat. Sebab, dua informasi itu tidak tercantum di atas nisan tersebut seperti layaknya makam-makam yang lain.
Sekilas, makam Sumarti tidak tampak berbeda dari yang lain. Di atasnya ada gundukan tanah bersampul rumput hijau rapih. Sebuah batu nisan terletak pada area atas.
Ternyata, data yang dimiliki oleh Kantor Pengelola TPU Karet Bivak, makam bukan lah milik Sumarti, seperti yang tertera pada nisan. Pemiliknya atas nama SK yang hingga kini masih hidup. Modus semacam ini disebut sebagai makam fiktif.
Pasal 37 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pemakaman menyebutkan pemesanan makam hanya diperuntukkan bagi jenazah atau kerangka. Pemesanan tidak diperbolehkan untuk persedian bagi orang yang belum meninggal atau masih hidup.
Anggota keluarga SK yang tak mau disebutkan namanya mengaku tak mengetahui larangan itu. Ia memesan lokasi tersebut karena berdekatan dengan makam sang ayah.
"Saya ingin dimakamkan dekat ayah saya. Jadi waktu itu saya minta tolong ke perawat makam untuk mencarikan lahan pemakaman yang sudah kedaluarsa. Oleh kantor (pengelola) ditunjuk lah petugas untuk mencarikan lahan tersebut," ujarnya.
Saat mengambilalih pada 2010, tak ada biaya tambahan yang dibayarkan selain retribusi resmi sebesar Rp 100 ribu untuk tiga tahun. Ia juga menerima surat resmi yang dikeluarkan oleh pihak pengelola. Sewa makam sempat diperpanjang pada 2013.
Enam tahun sudah makam tersebut dimiliki oleh keluarga SK, sebelum akhirnya diserahkan kembali ke pihak pengelola dan Pemprov DKI Jakarta. "Saya nggak tahu kalau memesan makam itu dilarang di Jakarta. Saya juga hanya meneruskan pemakaiannya karena sebelumnya sudah kedaluarsa. Karena dulu ada surat dari kantor (pengelola) yang bahkan ditandatangani oleh kepala pengelola. Saya pikir itu hal yang resmi," cetusnya.
Kepala Pengelola TPU Karet Bivak, Saiman, mengatakan praktik pemesanan semacam ini marak terjadi sebelum ada Perda Nomor 3 Tahun 2007. Kini ia menertibkan praktik itu.
Saiman menjelaskan, dari 47.692 makam di TPU seluas 16,9 hektare ini tak lagi ada lahan kosong. Ia menduga masih ada makam lain yang kondisinya sama dengan Ibu Sumarti.
"Yang ada itu adalah lahan kedaluarsa yang oleh ahli warisnya tidak diperpanjang lagi setelah tiga tahun. Nah lahan kedaluarsa ini lah yang berpotensi dipesan. Untuk mengeceknya, kami sedang lakukan klarifikasi ke keluarga ahli waris," jelas Saiman.
Hal senada disampaikan Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta Jafar Muchlisin. Ia menduga ada permainan dan pungutan liar pada penyediaan lahan pemakaman di Jakarta. Sebelum ada sistem online seperti saat ini, marak pemesanan makam yang dilakukan melalui masyarakat sekitar maupun perawat makam.
Jika oknum yang terlibat adalah tenaga profesional dari pekerja harian lepas, jelas Jafar, ia akan memecatnya. "Selain di sini (TPU Karet Bivak), kami menduga ada makam fiktif di TPU Kawi-Kawi dan Pasar Baru. Kami tengah mengecek dan menertibkan," kata Jafar.
Pemesanan makam seperti ini, kata Jafar, bisa jadi merupakan dampak dari kebutuhan makam yang naik pesat, tidak sebanding dengan ketersediaan lahan yang ada. "Kami sedang upayakan mencari lahan-lahan lagi untuk makam," jelas Jafar.
medcom.id, Jakarta: Sebuah nisan di Blok AA1 Tempat Pemakaman Umum (TPU) Karet Bivak, Jakarta Pusat, tertulis nama Ibu Sumarti. Ia lahir di Kutoarjo, Jawa Tengah, dan wafat di Yogyakarta.
Anehnya, tak ada yang tahu pasti kapan ia lahir dan wafat. Sebab, dua informasi itu tidak tercantum di atas nisan tersebut seperti layaknya makam-makam yang lain.
Sekilas, makam Sumarti tidak tampak berbeda dari yang lain. Di atasnya ada gundukan tanah bersampul rumput hijau rapih. Sebuah batu nisan terletak pada area atas.
Ternyata, data yang dimiliki oleh Kantor Pengelola TPU Karet Bivak, makam bukan lah milik Sumarti, seperti yang tertera pada nisan. Pemiliknya atas nama SK yang hingga kini masih hidup. Modus semacam ini disebut sebagai makam fiktif.
Pasal 37 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pemakaman menyebutkan pemesanan makam hanya diperuntukkan bagi jenazah atau kerangka. Pemesanan tidak diperbolehkan untuk persedian bagi orang yang belum meninggal atau masih hidup.
Anggota keluarga SK yang tak mau disebutkan namanya mengaku tak mengetahui larangan itu. Ia memesan lokasi tersebut karena berdekatan dengan makam sang ayah.
"Saya ingin dimakamkan dekat ayah saya. Jadi waktu itu saya minta tolong ke perawat makam untuk mencarikan lahan pemakaman yang sudah kedaluarsa. Oleh kantor (pengelola) ditunjuk lah petugas untuk mencarikan lahan tersebut," ujarnya.
Saat mengambilalih pada 2010, tak ada biaya tambahan yang dibayarkan selain retribusi resmi sebesar Rp 100 ribu untuk tiga tahun. Ia juga menerima surat resmi yang dikeluarkan oleh pihak pengelola. Sewa makam sempat diperpanjang pada 2013.
Enam tahun sudah makam tersebut dimiliki oleh keluarga SK, sebelum akhirnya diserahkan kembali ke pihak pengelola dan Pemprov DKI Jakarta. "Saya nggak tahu kalau memesan makam itu dilarang di Jakarta. Saya juga hanya meneruskan pemakaiannya karena sebelumnya sudah kedaluarsa. Karena dulu ada surat dari kantor (pengelola) yang bahkan ditandatangani oleh kepala pengelola. Saya pikir itu hal yang resmi," cetusnya.
Kepala Pengelola TPU Karet Bivak, Saiman, mengatakan praktik pemesanan semacam ini marak terjadi sebelum ada Perda Nomor 3 Tahun 2007. Kini ia menertibkan praktik itu.
Saiman menjelaskan, dari 47.692 makam di TPU seluas 16,9 hektare ini tak lagi ada lahan kosong. Ia menduga masih ada makam lain yang kondisinya sama dengan Ibu Sumarti.
"Yang ada itu adalah lahan kedaluarsa yang oleh ahli warisnya tidak diperpanjang lagi setelah tiga tahun. Nah lahan kedaluarsa ini lah yang berpotensi dipesan. Untuk mengeceknya, kami sedang lakukan klarifikasi ke keluarga ahli waris," jelas Saiman.
Hal senada disampaikan Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta Jafar Muchlisin. Ia menduga ada permainan dan pungutan liar pada penyediaan lahan pemakaman di Jakarta. Sebelum ada sistem online seperti saat ini, marak pemesanan makam yang dilakukan melalui masyarakat sekitar maupun perawat makam.
Jika oknum yang terlibat adalah tenaga profesional dari pekerja harian lepas, jelas Jafar, ia akan memecatnya. "Selain di sini (TPU Karet Bivak), kami menduga ada makam fiktif di TPU Kawi-Kawi dan Pasar Baru. Kami tengah mengecek dan menertibkan," kata Jafar.
Pemesanan makam seperti ini, kata Jafar, bisa jadi merupakan dampak dari kebutuhan makam yang naik pesat, tidak sebanding dengan ketersediaan lahan yang ada. "Kami sedang upayakan mencari lahan-lahan lagi untuk makam," jelas Jafar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DOR)