Ilustrasi lahan gambut. (Foto: Antara/Virna P Setyorini).
Ilustrasi lahan gambut. (Foto: Antara/Virna P Setyorini).

Peta Akurat Diperlukan untuk Pengelolaan Lahan Gambut

Dian Ihsan Siregar • 01 November 2017 01:14
medcom.id, Jakarta: Peta akurasi tinggi sangat diperlukan sebagai acuan bersama para pemangku kepentingan dalam melakukan restorasi dan konservasi lahan gambut.
 
Pembina Yayasan Dr Sjahrir, Kartini Sjahrir mengatakan, hal tersebut merupakan instrument penting dalam mendukung pengelolaan gambut.
 
"Karena itu, hari ini kita diskusikan bersama," kata Pembina Yayasan Dr Sjahrir, Kartini Sjahrir dalam keterangannya, Selasa 31 Oktober 2017.

Indonesia memiliki lahan gambut tropis yang luas. Lahan gambut tersebut dapat menyusut atau bahkan hilang. Karena itu, pemantauan lahan gambut secara periodik sangat diperlukan. 
 
Penyebab umum penyusutan lahan gambut di Indonesia adalah pemanfaatan lahan gambut yang dikelola secara intensif tanpa mempertimbangan kaidah konservasi tanah dan air. Padahal pengelolaan lahan gambut yang tepat merupakan salah satu upaya dalam memenuhi target penurunan emisi karbon.
 
Mengenai peta gambut di Indonesia, menurut catatan Kazuyo Hirose, dari Japan Space System, sejak tahun 1970-an sampai 2011, Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum, sejumlah lembaga dan perguruan tinggi telah membuat peta gambut skala lokal dan national. Namun laporan hasilnya menunjukkan perbedaan, dengan rentang selisih antara 13,5-26,5 juta hektar.
 
Namun, menurut World Resources Institut (WRI) Indonesia semua peta gambut yang tersedia di Indonesia  masih dalam skala kecil, sehingga belum bisa menjawab permasalahan pengelolaan gambut dan restorasi di tingkat tapak.
 
Deputi I bidang Perencanaan dan Kerjasama Badan Restorasi Gambut (BRG), Budi Satyawan Wardjama mengatakan, BRG yang dibentuk pemerintah tahun 2016 dalam rangka percepatan pemulihan kawasan dan pengembalian fungsi hidrologis gambut akibat kebakaran hutan. Awalnya bekerja menggunakan data peta yang ada yang belum terupdate dan kurang memadai.
 
"Ada 14 peta dan semua beda-beda, untungnya ada wali data peta tanah dan peta lahan gambut Balitbangtang Kementan. Tapi sayangnya data terakhir tahun 2011 danbelum terupdate," ungkap Budi Satyawan.
 
Lanjut Budi, dari peta indikatif yang ada dari KLHK (skala 1:250.000), BRG melakukan inventarisasi dan pemetaan ekosistem gambut, kemudian melakukan pemetaan skala besar dan melakukan identifikasi kondisi hidrotopografis, kerusakan gambut dan tutupan, serta sosio-ekonomis.
 
BRG menggunakan teknologi Light Detection Ranging (Lidar) yang dapat menghasilkan peta skala besar hingga 1:2.500, dan mendapatkan detail kondisi yang bisa ditampilkan dengan pemodelan tiga dimensi.
 
Deputi Bidang Informasi Geospasial Tematik di Badan Informasi Geospasial (BIG), Nurwadjedi menambahkan, BIG sudah menyelesaikan integrasi 63 peta di Kalimantan, dan target kerja BIG hingga akhir 2017 ini adalah integrasi data 82 peta di Pulau Sumatera, 81 Peta di Pulau Sulawesi, dan 79 peta tematik di Pulau Bali dan Nusa Tenggara. 
 
"Kalau sekarang masih 1: 50.000, kedepan kita juga sudah merancang peta skala 1:5000," jelas Nurwadjedi.
 
Untuk memetakan luasan dan ketebalan gambut, selama ini para ilmuwan menggunakan penginderaan jarak jauh, radar, dan pengukuran lapangan. Namun, belum ada metode yang disepakati bersama untuk mengukur ketebalan gambut.
 
Tidak adanya kesepakatan ini telah menghambat upaya untuk membuat peta yang paling bagus, tepat waktu, dan kredibel yang dapat melacak perubahan luasan dan ketebalan gambut, serta emisi karbon terkait.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DEN)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan