Jakarta: Kementerian Pariwisata mewaspadai adanya pergerakan warga negara asing (WNA) yang memiliki kelainan seksual komersial anak (paedofil) di tempat wisata. Sebab, berdasarkan data ECPAT (End Child Prostitution, Child Pornography and Traffiking of Children for Sexual Purposes) Indonesia, terdapat 107 WNA paedofil yang ditolak masuk Indonesia.
Asisten Deputi Tata Kelola Destinasi dan Pemberdayaan Masyararakat Kemenpar, Oneng Setya Harini mengatakan, pihaknya telah melakukan sosialisasi di 86 lokasi wisata mengenai pencegahan eksploitasi anak di kawasan pariwisata.
Pihaknya melakukan edukasi dan sosialisasi mengenai adanya potensi eksploitasi anak. Tak hanya itu, pihaknya juga menekankan pentingnya pencegahan HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome).
Baca: Komnas Anak Minta Pelaku Paedofil Diganjar Pasal Berlapis
"Ini pekerjaan kita bersama. Tidak hanya mengenai eksploitasi anak, kami juga melakukan sosialisasi mengenai bahaya narkoba dan pencegahan HIV AIDS. Kami sebar stiker yang dibagikan kepada pelaku usaha wisata," kata Oneng.
Dari data yang dimiliki ECPAT Indonesia, sejak tahun 2013 hingga 2017, ada sembilan wisatawan yang kasus paedofilnya dibawa hingga tahap pengadilan dan semua kasus tersebut terjadi di Bali.
Koordinator ACPAT Indonesia, Ahmad Sofyan mengatakan, mereka datang dari berbagai negara menggunakan penerbangan maskapai murah tujuan Bali.
Keberadaan para predator itu terdeteksi setelah imigrasi Indonesia bekerjasama dengan FBI (Federal Bureau of Investigation) dan AFP (Australian Federal Police).
Sofyan mengatakan, Indonesia masih menjadi sasaran para paedofil karena penegakan hukum masih rendah. "Berbeda dengan di luar, mereka diawasi dan di hukum 30 tahun. Dan, hukuman tersebut berlaku akumulatif," ujar Sofyan.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/Wb7Y1E2K" allowfullscreen></iframe>
Jakarta: Kementerian Pariwisata mewaspadai adanya pergerakan warga negara asing (WNA) yang memiliki kelainan seksual komersial anak (paedofil) di tempat wisata. Sebab, berdasarkan data ECPAT (End Child Prostitution, Child Pornography and Traffiking of Children for Sexual Purposes) Indonesia, terdapat 107 WNA paedofil yang ditolak masuk Indonesia.
Asisten Deputi Tata Kelola Destinasi dan Pemberdayaan Masyararakat Kemenpar, Oneng Setya Harini mengatakan, pihaknya telah melakukan sosialisasi di 86 lokasi wisata mengenai pencegahan eksploitasi anak di kawasan pariwisata.
Pihaknya melakukan edukasi dan sosialisasi mengenai adanya potensi eksploitasi anak. Tak hanya itu, pihaknya juga menekankan pentingnya pencegahan HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome).
Baca: Komnas Anak Minta Pelaku Paedofil Diganjar Pasal Berlapis
"Ini pekerjaan kita bersama. Tidak hanya mengenai eksploitasi anak, kami juga melakukan sosialisasi mengenai bahaya narkoba dan pencegahan HIV AIDS. Kami sebar stiker yang dibagikan kepada pelaku usaha wisata," kata Oneng.
Dari data yang dimiliki ECPAT Indonesia, sejak tahun 2013 hingga 2017, ada sembilan wisatawan yang kasus paedofilnya dibawa hingga tahap pengadilan dan semua kasus tersebut terjadi di Bali.
Koordinator ACPAT Indonesia, Ahmad Sofyan mengatakan, mereka datang dari berbagai negara menggunakan penerbangan maskapai murah tujuan Bali.
Keberadaan para predator itu terdeteksi setelah imigrasi Indonesia bekerjasama dengan FBI (Federal Bureau of Investigation) dan AFP (Australian Federal Police).
Sofyan mengatakan, Indonesia masih menjadi sasaran para paedofil karena penegakan hukum masih rendah. "Berbeda dengan di luar, mereka diawasi dan di hukum 30 tahun. Dan, hukuman tersebut berlaku akumulatif," ujar Sofyan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FZN)