Jakarta: Tak butuh waktu lama bagi para pendatang untuk merindu kembali pulang ke Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua. Kerusuhan sempat memisahkan warga pendatang dengan warga asli Wamena. Namun, kerinduan lekas datang karena rekatnya hubungan kekerabatan.
Satria, misalnya. Ibu dua anak yang sudah 19 tahun tinggal di Wamena ini merasakan keguyuban hidup di Wamena. Sejak dulu, kata Satria yang membuka usaha di Wamena, tidak pernah ada masalah dengan warga asli Papua.
"Kami saling kenal dan hidup rukun. Oleh karena itu saya ingin kembali. Bukan hanya ingin meneruskan usaha, tapi juga karena saya yakin mereka juga baik terhadap kami," ujar Satria, ibu dua anak yang sudah 19 tahun tinggal di Wamena, Jumat, 10 Oktober 2019.
Ia yakin kehidupannya di Wamena akan kembali rukun. Ia meyakini bisa menjalani kehidupan seperti sediakala sebelum kerusuhan melanda.
Satria saat ini tengah mengungsi di Masjid Al Aqsha, Jalan Polres Kota Sentani, Jayapura. Saat kerusuhan pecah di Wamena, ia dan sejumlah warga pendatang lain diselamatkan warga asli Papua. Satria diminta bersembunyi di gereja terdekat.
"Jadi sebenarnya, kami hidup sangat rukun. Para perusuh yang justru merusak dan membuat situasi Wamena menjadi genting. Jika sudah aman, kami ingin kembali," kata dia.
Direktur Eksekutif Freedom Institute, Rizal Mallarangeng, mengatakan interaksi kehidupan antara warga pendatang dan penduduk asli Papua sudah berjalan lama. Interaksi yang berjalan harmonis itu harus diciptakan kembali agar tidak ada perpecahan, terlebih masyarakat dari luar Wamena menginginkan untuk segera kembali.
“Keharmonisan hidup berdampingan antara siapa pun yang tinggal di Bumi Cendrawasih sudah terpupuk dari dulu hingga sekarang. Karenanya, adanya hoaks dan isu rasisme sangat disayangkan terjadi. Jadi, jika ada kerusuhan seperti kemarin, maka itu pasti diciptakan oleh pihak lain yang ingin memecah belah," kata Rizal.
Ia mengimbau seluruh pihak termasuk warga Papua untuk lebih selektif menerima informasi. Kabar bohong yang sengaja diciptakan dinilainya bisa memunculkan gesekan dan perpecahan.
Dia meyakini warga pendatang yang sudah lama menetap di Wamena akan kembali.
"Saya yakin, warga pendatang yang sudah lama tinggal di Wamena dan sudah menjadi warga lokal, akan kembali ke Wamena. Karena selama ini hubungan antara mereka dengan warga asli sudah sangat kondusif," terangnya.
Kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya, semakin kondusif pascakerusuhan pada 22 September lalu. Kondisi ini membuat sebagian besar warga pendatang yang masih tinggal di pos-pos pengungsian ingin segera kembali ke rumah asalnya di kota tersebut.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/0Kv923lk" frameborder="0" scrolling="no" allowfullscreen></iframe>
Jakarta: Tak butuh waktu lama bagi para pendatang untuk merindu kembali pulang ke
Wamena, Kabupaten Jayawijaya,
Papua. Kerusuhan sempat memisahkan warga pendatang dengan warga asli Wamena. Namun, kerinduan lekas datang karena rekatnya hubungan kekerabatan.
Satria, misalnya. Ibu dua anak yang sudah 19 tahun tinggal di
Wamena ini merasakan keguyuban hidup di Wamena. Sejak dulu, kata Satria yang membuka usaha di Wamena, tidak pernah ada masalah dengan warga asli
Papua.
"Kami saling kenal dan hidup rukun. Oleh karena itu saya ingin kembali. Bukan hanya ingin meneruskan usaha, tapi juga karena saya yakin mereka juga baik terhadap kami," ujar Satria, ibu dua anak yang sudah 19 tahun tinggal di Wamena, Jumat, 10 Oktober 2019.
Ia yakin kehidupannya di Wamena akan kembali rukun. Ia meyakini bisa menjalani kehidupan seperti sediakala sebelum kerusuhan melanda.
Satria saat ini tengah mengungsi di Masjid Al Aqsha, Jalan Polres Kota Sentani, Jayapura. Saat kerusuhan pecah di Wamena, ia dan sejumlah warga pendatang lain diselamatkan warga asli Papua. Satria diminta bersembunyi di gereja terdekat.
"Jadi sebenarnya, kami hidup sangat rukun. Para perusuh yang justru merusak dan membuat situasi Wamena menjadi genting. Jika sudah aman, kami ingin kembali," kata dia.
Direktur Eksekutif Freedom Institute, Rizal Mallarangeng, mengatakan interaksi kehidupan antara warga pendatang dan penduduk asli Papua sudah berjalan lama. Interaksi yang berjalan harmonis itu harus diciptakan kembali agar tidak ada perpecahan, terlebih masyarakat dari luar Wamena menginginkan untuk segera kembali.
“Keharmonisan hidup berdampingan antara siapa pun yang tinggal di Bumi Cendrawasih sudah terpupuk dari dulu hingga sekarang. Karenanya, adanya hoaks dan isu rasisme sangat disayangkan terjadi. Jadi, jika ada kerusuhan seperti kemarin, maka itu pasti diciptakan oleh pihak lain yang ingin memecah belah," kata Rizal.
Ia mengimbau seluruh pihak termasuk warga
Papua untuk lebih selektif menerima informasi. Kabar bohong yang sengaja diciptakan dinilainya bisa memunculkan gesekan dan perpecahan.
Dia meyakini warga pendatang yang sudah lama menetap di Wamena akan kembali.
"Saya yakin, warga pendatang yang sudah lama tinggal di Wamena dan sudah menjadi warga lokal, akan kembali ke Wamena. Karena selama ini hubungan antara mereka dengan warga asli sudah sangat kondusif," terangnya.
Kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya, semakin kondusif pascakerusuhan pada 22 September lalu. Kondisi ini membuat sebagian besar warga pendatang yang masih tinggal di pos-pos pengungsian ingin segera kembali ke rumah asalnya di kota tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)