Dari kiri Direktur Pemberitaan Media Indonesia (MI) Usman Kansong menyaksikan para narasumber Rohaniawan Franz Magnis Suseno, Pengamat Sosial Yudi Latif, dan Ketua Moderate Muslim Society Zuhairi Misrawi, di acara Forum Group Discussion (FGD) Media Group
Dari kiri Direktur Pemberitaan Media Indonesia (MI) Usman Kansong menyaksikan para narasumber Rohaniawan Franz Magnis Suseno, Pengamat Sosial Yudi Latif, dan Ketua Moderate Muslim Society Zuhairi Misrawi, di acara Forum Group Discussion (FGD) Media Group

Islam Setia Membangun Negara Kebangsaan

Sobih AW Adnan • 23 Desember 2016 18:06
Metrotnews.com, Jakarta: Kemajemukan Indonesia adalah rahmat. Menjadikan Pancasila sebagai perekat aneka ragam latar belakang dan identitas itu merupakan langkah terbaik yang pernah ditempuh para pendiri bangsa. Terlebih umat Islam yang kala itu sudah menjadi agama dengan jumlah penganut terbesar.
 
"Hal yang paling mencolok adalah kesetian mayoritas Islam untuk tidak menuntut suatu kedudukan khusus apa pun di dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945," kata Rohaniawan Romo Magnis Suseno, dalam acara Forum Group Discussion (FGD) di Gedung Media Group, Jakarta Barat, Kamis (22/12/2016).
 
Dalam diskusi dengan tema "Konsolidasi Demokrasi di Indonesia" itu Magnis mengatakan kebesaran hati umat Islam menjadikan Indonesia kuat dan utuh hingga hari ini. Jika dalam perjalanannya terdapat sedikit perbedaan pandangan, menurut Magnis, itu menjadi hal yang masih bisa dianggap wajar. 

"Pada dasarnya, saya melihat konsensus untuk saling menerima dalam perbedaan masih utuh," kata Magnis.
 
Magnis percaya, umat Islam di Indonesia masih menjadikan semangat keagamaan dan kebangkitan nasional dalam satu gerakan. Terlebih, melalui Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, komitmen kebangsaan dan kebinekaan menjadi seruan moral yang secara terus menerus disuguhkan bagi setiap jemaahnya.
 
"Persatuan masih kuat. Itu adalah substansi mainstream Islam. Sebab kenyataannya NU, Muhammadiyah, dan lain-lain betul-betul mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," kata dia.
 
Baca: Teladan Islam Kebangsaan NU-Muhammadiyah
 
Jika dewasa ini semangat kebinekaan Indonesia tengah diuji, kata Magnis, itu hanyalah bagian dari dinamika suatu bangsa. Tidak hanya sedang terjadi di Indonesia. Magnis mencontohkan di Jerman, isu kebencian terhadap pengungsi dan Islam mulai kentara. Padahal secara fakta, kehadiran keduanya tidak disertai dengan data yang mencolok. 
 
"Pada prinsipnya, orang Indonesia di manapun, agama apapun, tidak secara spontan menolak dari agama lain," ujar dia.
 
Peran negara
 
Intelektual muda NU, Zuhairi Misrawi mengamini pendapat Romo Magnis. Ia mengatakan bahwa semangat keberagaman Pancasila sebenarnya telah dicita-citakan tokoh Islam jauh sebelum proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan. Ia mengutip cerita yang pernah disampaikan KH Abdurrahman Wahid, bahwa pada 1935, esensi dari cita-cita berdirinya Indonesia dalam pandangan tokoh-tokoh Islam adalah Dar al-Salam (Negera damai), bukan Dar Al-Islam (Negara Islam).
 
"Itu terawat sampai sekarang. Misalnya dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) NU 2006 di Surabaya, ketika para kiai kembali menanyakan posisi Pancasila. Forum pun kembali menyepakati bahwa Pancasila dan NKRI telah final," kata Zuhairi.
 
Maka, kata pria yang karib disapa Gus Mis itu, jika kecenderungan radikalisme Indonesia belakangan hari semakin meningkat, yang pertama kali ditekankan adalah bahwa hal itu sejatinya bukan watak asli pribadi Muslim di Indonesia. Ada pengaruh yang datang dari luar dengan membandingkan segala persoalan domestik dengan konflik terbuka di Timur Tengah. "Ciri khas Islam Indonesia itu inklusif, terbuka, menerima perbedaan, serta selalu mengedepankan argument," kata dia.
 
Islam kebangsaan yang telah lama dianut mayoritas Muslim di Indonesia itu, lanjut Zuhairi, sangat disayangkan jika seolah-olah hanya menjadi tanggung jawab NU dan Muhammadiyah. Negara mesti hadir demi mewujudkan Indonesia damai dan tenteram dalam kemajemukan.
 
"NU dan Muhammadiyah tidak boleh sendirian," kata dia.
 
Selain Romo Magnis dan Zuhairi, diskusi ini juga dihadiri Kepala Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) Letjen (Purn) TNI Agus Widjojo, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Guru Besar Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat, Guru Besar Antropologi UGM Paschalis Maria Laksono, dan Direktur CSIS Philips J. Vermonte.
 
Ada juga Dosen FISIP UI Makmur Keliat, peneliti LIPI Ikrar Nusa Bhakti, pengamat politik Yudi Latif, budayawan Radhar Panca Dahana, politikus NasDem Willy Aditya, antropolog Universitas Malikussasleh, Lhokseumawe Teuku Kemal Fasya, pengamat ekonomi Telisa Aulia Falianty, dan Direktur Indonesia New Media Watch Agus Sudibyo.
 
Para peserta yang merupakan keterwakilan dari banyak kalangan itu secara serius membincang masa depan demokrasi di Indonesia.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan