Jakarta: Pekerjaan rumah tangga telah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia, jutaan pekerja rumah tangga (PRT) telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi rumah tangga dan perekonomian negara.
Terlepas dari pentingnya pekerjaan mereka, PRT seringkali menghadapi kondisi kerja yang sulit dan tidak dilindungi oleh hukum yang memadai. Oleh karena itu, Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) diajukan untuk mengatasi kesenjangan ini dengan memberikan kerangka hukum yang komprehensif untuk melindungi hak-hak PRT.
Sudah 20 tahun terakhir berbagai organisasi masyarakat sipil mengajukan dan memperjuangkan RUU PPRT ke DPR. Selama dua dekade berjalan, RUU PPRT ini sudah mengalami berbagai proses kajian, studi banding, berbagai proses dialog, revisi dan pembahasan, hingga posisi terakhir RUU PPRT ini telah menjadi RUU inisiatif DPR pada 21 Maret 2023. Namun, hingga kini belum ada tanda-tanda bahwa RUU itu akan dibahas dan disahkan.
Baca juga: Dukungan Terhadap RUU PPRT Terus di Kawal
Sejarah dan Perkembangan RUU PPRT
Gagasan untuk membuat undang-undang khusus yang melindungi PRT ini pertama kali muncul pada tahun 2004. Saat maraknya kasus penyiksaan dan kekerasan yang dialami para PRT. Namun, RUU tersebut mengalami penundaan selama bertahun-tahun karena berbagai faktor, termasuk kurangnya prioritas politik dan kesalahpahaman mengenai pentingnya perlindungan PRT.
Pada tahun 2023, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa RUU PPRT telah dimasukkan dalam daftar RUU prioritas untuk tahun tersebut dan sudah menjadi RUU inisiatif DPR pada 21 Maret 2023, Namun hingga kini RUU PPRT tersebut tak kunjung dibahas lagi.
Ada sejumlah alasan mendesak mengapa RUU PPRT perlu segera disahkan. Pertama, PRT sering menghadapi kondisi kerja yang tidak layak, termasuk jam kerja yang panjang, upah yang rendah, dan pelecehan fisik atau verbal.
Kedua, PRT umumnya tidak dilindungi oleh undang-undang ketenagakerjaan yang ada, sehingga mereka rentan terhadap eksploitasi dan pelanggaran hak. Ketiga, pengesahan RUU PPRT akan mengirim pesan yang jelas bahwa Indonesia berkomitmen untuk melindungi hak-hak semua warganya, termasuk PRT.
Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Jala PRT, sejak 2021 sampai dengan Februari 2024 terdapat total 3.308 kasus kekerasan yang dialami PRT. Para korban rata-rata mengalami multi kekerasan psikis, fisik, ekonomi dan perdagangan manusia.
Dukungan Lembaga Negara untuk RUU PPRT
RUU PPRT telah mendapat dukungan luas dari berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil, kelompok buruh, dan lembaga negara.
Pada tahun 2024, empat lembaga negara, termasuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Disabilitas (KND), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komnas Perempuan mendesak DPR untuk segera mengesahkan RUU PPRT. Dukungan ini menunjukkan bahwa pengesahan RUU PPRT merupakan prioritas nasional yang penting.
Baca juga: 20 Tahun Tertunda, RUU PPRT Menuju Paripurna!
Mutiara Ika Pratiwi dari Organisasi Perempuan Mahardhika menegaskan, ketidakjelasan pembahasan RUU tersebut berakibat pada bertambahnya kasus-kasus kekerasan terhadap PRT yang bekerja dalam situasi yang tidak manusiawi.
Oleh karena itu, ia berharap RUU itu dapat segera dibahas dan disahkan dalam waktu yang tersisa dari periode pemerintahan Presiden Jokowi saat ini yang akan berakhir pada Oktober 2024.
“Kita masih punya sampai Oktober 2024 untuk masa pemerintahan yang sebelumnya. Jadi sangat menuntut kepada DPR untuk segera membahas RUU PPRT ini karena tidak ada lagi alasan untuk menundanya,” kata Mutiara.
Pemerintah, DPR, dan seluruh masyarakat Indonesia harus bekerja sama untuk memastikan bahwa RUU PPRT disahkan sesegera mungkin, sehingga PRT dapat menikmati hak-hak yang layak mereka dapatkan.
Jika nantinya sudah disahkan, undang-undang ini akan memberikan kerangka hukum yang komprehensif untuk memastikan bahwa PRT diperlakukan dengan hormat, dilindungi dari eksploitasi, dan memiliki akses terhadap keadilan.
Jakarta: Pekerjaan rumah tangga telah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia, jutaan
pekerja rumah tangga (PRT) telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi rumah tangga dan perekonomian negara.
Terlepas dari pentingnya pekerjaan mereka, PRT seringkali menghadapi kondisi kerja yang sulit dan tidak dilindungi oleh hukum yang memadai. Oleh karena itu, Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) diajukan untuk mengatasi kesenjangan ini dengan memberikan kerangka hukum yang komprehensif untuk melindungi hak-hak PRT.
Sudah 20 tahun terakhir berbagai organisasi masyarakat sipil mengajukan dan memperjuangkan
RUU PPRT ke DPR. Selama dua dekade berjalan, RUU PPRT ini sudah mengalami berbagai proses kajian, studi banding, berbagai proses dialog, revisi dan pembahasan, hingga posisi terakhir RUU PPRT ini telah menjadi RUU inisiatif DPR pada 21 Maret 2023. Namun, hingga kini belum ada tanda-tanda bahwa RUU itu akan dibahas dan disahkan.
Sejarah dan Perkembangan RUU PPRT
Gagasan untuk membuat undang-undang khusus yang melindungi PRT ini pertama kali muncul pada tahun 2004. Saat maraknya kasus penyiksaan dan kekerasan yang dialami para PRT. Namun, RUU tersebut mengalami penundaan selama bertahun-tahun karena berbagai faktor, termasuk kurangnya prioritas politik dan kesalahpahaman mengenai pentingnya perlindungan PRT.
Pada tahun 2023, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa RUU PPRT telah dimasukkan dalam daftar RUU prioritas untuk tahun tersebut dan sudah menjadi RUU inisiatif DPR pada 21 Maret 2023, Namun hingga kini RUU PPRT tersebut tak kunjung dibahas lagi.
Ada sejumlah alasan mendesak mengapa RUU PPRT perlu segera disahkan. Pertama, PRT sering menghadapi kondisi kerja yang tidak layak, termasuk jam kerja yang panjang, upah yang rendah, dan pelecehan fisik atau verbal.
Kedua, PRT umumnya tidak dilindungi oleh undang-undang ketenagakerjaan yang ada, sehingga mereka rentan terhadap eksploitasi dan pelanggaran hak. Ketiga, pengesahan RUU PPRT akan mengirim pesan yang jelas bahwa Indonesia berkomitmen untuk melindungi hak-hak semua warganya, termasuk PRT.
Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Jala PRT, sejak 2021 sampai dengan Februari 2024 terdapat total 3.308 kasus kekerasan yang dialami PRT. Para korban rata-rata mengalami multi kekerasan psikis, fisik, ekonomi dan perdagangan manusia.
Dukungan Lembaga Negara untuk RUU PPRT
RUU PPRT telah mendapat dukungan luas dari berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil, kelompok buruh, dan lembaga negara.
Pada tahun 2024, empat lembaga negara, termasuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Disabilitas (KND), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komnas Perempuan mendesak DPR untuk segera mengesahkan RUU PPRT. Dukungan ini menunjukkan bahwa pengesahan RUU PPRT merupakan prioritas nasional yang penting.
Mutiara Ika Pratiwi dari Organisasi Perempuan Mahardhika menegaskan, ketidakjelasan pembahasan RUU tersebut berakibat pada bertambahnya kasus-kasus kekerasan terhadap PRT yang bekerja dalam situasi yang tidak manusiawi.
Oleh karena itu, ia berharap RUU itu dapat segera dibahas dan disahkan dalam waktu yang tersisa dari periode pemerintahan Presiden Jokowi saat ini yang akan berakhir pada Oktober 2024.
“Kita masih punya sampai Oktober 2024 untuk masa pemerintahan yang sebelumnya. Jadi sangat menuntut kepada DPR untuk segera membahas RUU PPRT ini karena tidak ada lagi alasan untuk menundanya,” kata Mutiara.
Pemerintah, DPR, dan seluruh masyarakat Indonesia harus bekerja sama untuk memastikan bahwa RUU PPRT disahkan sesegera mungkin, sehingga PRT dapat menikmati hak-hak yang layak mereka dapatkan.
Jika nantinya sudah disahkan, undang-undang ini akan memberikan kerangka hukum yang komprehensif untuk memastikan bahwa PRT diperlakukan dengan hormat, dilindungi dari eksploitasi, dan memiliki akses terhadap keadilan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SUR)