Jakarta: Pemberian Air Susu Ibu (ASI) kepada bayi yang baru lahir memerlukan dukungan semua pihak. Dukungan tersebut terutama perlu diberikan kepada kaum wanita yang bekerja.
Merujuk data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), 45 persen ibu berhenti menyusui karena harus kembali bekerja setelah cuti melahirkan. Dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), salah satu dukungan utama yang diperlukan ibu agar tetap dapat memberikan ASI pada bayinya adalah pemberian cuti melahirkan selama 18 minggu atau sekitar 4-5 bulan, dengan waktu ideal lebih dari 6 bulan.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan hak cuti kepada pekerja selama tiga bulan. Satu setengah bulan sebelum dan satu setengah bulan setelah melahirkan. Periode cuti ini tidak selaras dengan periode pemberian ASI Eksklusif selama enam bulan.
IDAI menyebut tingginya ibu yang harus berhenti memberikan ASI pada anak setelah melahirkan akibat multifaktor. "Hal itu terjadi karena kurangnya dukungan keluarga, dukungan tenaga medis, hingga karena harus kembali bekerja," ucap Ketua Satgas ASI IDAI Naomi Esthernita F Dewanto, Jakarta, dilansir pada Jumat, 29 September 2023.
Naomi mengatakan salah satu faktor terbesar yang membuat ibu terpaksa menghentikan pemberian ASI pada bayi adalah karena harus kembali bekerja setelah cuti melahirkan selesai. Menurut dia, perlu dukungan yang besar untuk ibu bisa menyusui anaknya secara maksimal, terbesar diharapkan dari tempat kerja.
Dengan keterbatasan dukungan menyusui di tempat kerja, kata Naomi, membuat banyak ibu berhenti menyusui lebih awal. Padahal, wanita membutuhkan waktu dan dukungan cukup dari lingkungannya agar bisa tetap menyusui dengan optimal.
"Cuti yang cuma 3 bulan itu bisa berakibat tingkat ibu menyusui rendah. Ibu yang kembali bekerja terlalu dini dapat memberikan efek negatif terhadap berlangsungnya masa menyusui. Hal ini tentu membuat ibu tidak bisa memberikan ASI eksklusif selama enam bulan," ujar dia.
Selain memberikan cuti yang lebih baik, Naomi mendorong perusahaan menyediakan ruang laktasi yang memadai. Dengan begitu, ibu bisa menyusui atau memompa ASI dengan nyaman dan aman.
Sementara itu, praktisi kesehatan komunitas dan kedokteran kerja dari Health Collaborative Center Ray W Basrowi mengatakan ada tantangan lain, yakni masih kurangnya bukti ilmiah yang mendukung dukungan fasilitas, kebijakan, dan promosi laktasi di tempat kerja adalah investasi dan bukan cost atau pembiayaan.
“Salah satu faktor penting di Indonesia dalam melindungi pemberian ASI eksklusif adalah terkait kebijakan-kebijakan perlindungan ASI Eksklusif di lingkungan kerja,” ujar Ray.
Meskipun peraturan dukungan untuk ibu menyusui masih membutuhkan penguatan, beberapa perusahaan telah melakukan inisiatif untuk mendukung pemberian ASI eksklusif. Contohnya, perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Produk Bernutrisi untuk Ibu dan Anak (APPNIA).
“APPNIA menyadari pentingnya manfaat ASI Eksklusif dan dan nutrisi pada 1000 hari pertama kehidupan, serta mendukung ibu, khususnya yang bekerja, agar dapat memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan pertama kehidupan bayinya," ujar Direktur Eksekutif APPNIA Poppy Kumala.
Anggota APPNIA terus memperkuat kebijakan dan melakukan berbagai program untuk memastikan hak-hak karyawan dan anak terpenuhi, agar orang tua baru dapat membersamai bayinya melalui pemberian cuti melahirkan berbayar selama 3 bulan sesuai aturan. Bahkan, ada yang memberikan sampai selama 6 bulan bagi karyawan perempuan, dan cuti bagi ayah.
Selain itu, penyediaan ruang laktasi yang memenuhi syarat di tempat kerja, dukungan nutrisi bagi ibu menyusui, hingga edukasi dan pendampingan tentang 1.000 Hari Pertama Kehidupan, serta beberapa perusahaan anggota APPNIA menyediakan layanan Employee Assistance Program (EAP) berupa layanan konsultasi virtual dengan psikolog untuk mendukung karyawan terkait masalah pribadi, psikososial,dan pekerjaan.
“Kami sadar bahwa gizi yang baik di awal kehidupan anak akan menciptakan anak Indonesia yang sehat, tangguh, cerdas, serta terbebas dari stunting. Oleh karena itu salah satu bentuk komitmen kami dalam menyukseskan ASI eksklusif adalah melalui penyediaan ruang laktasi yang memenuhi syarat pada kantor dan pabrik perusahaan anggota APPNIA,” tutur Poppy.
Dia berharap inisiatif dalam bentuk kebijakan dan program yang telah diterapkan dapat membantu para karyawan yang sedang hamil dan menyusui agar bisa memberikan ASI eksklusif dengan optimal.
Poppy menyampaikan perlu kolaborasi dan dukungan dari berbagai pemangku kepentingan, yaitu pemerintah, para ahli, sektor swasta, maupun masyarakat agar program ASI eksklusif bisa berjalan maksimal.
Jakarta: Pemberian
Air Susu Ibu (ASI) kepada bayi yang baru lahir memerlukan dukungan semua pihak. Dukungan tersebut terutama perlu diberikan kepada kaum wanita yang bekerja.
Merujuk data Ikatan Dokter Anak Indonesia (
IDAI), 45 persen ibu berhenti menyusui karena harus kembali bekerja setelah cuti melahirkan. Dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), salah satu dukungan utama yang diperlukan ibu agar tetap dapat memberikan ASI pada bayinya adalah pemberian cuti melahirkan selama 18 minggu atau sekitar 4-5 bulan, dengan waktu ideal lebih dari 6 bulan.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan hak cuti kepada pekerja selama tiga bulan. Satu setengah bulan sebelum dan satu setengah bulan setelah melahirkan. Periode cuti ini tidak selaras dengan periode pemberian ASI Eksklusif selama enam bulan.
IDAI menyebut tingginya ibu yang harus berhenti memberikan ASI pada anak setelah melahirkan akibat multifaktor. "Hal itu terjadi karena kurangnya dukungan keluarga, dukungan tenaga medis, hingga karena harus kembali bekerja," ucap Ketua Satgas ASI IDAI Naomi Esthernita F Dewanto, Jakarta, dilansir pada Jumat, 29 September 2023.
Naomi mengatakan salah satu faktor terbesar yang membuat ibu terpaksa menghentikan pemberian ASI pada bayi adalah karena harus kembali bekerja setelah cuti melahirkan selesai. Menurut dia, perlu dukungan yang besar untuk ibu bisa menyusui anaknya secara maksimal, terbesar diharapkan dari tempat kerja.
Dengan keterbatasan dukungan menyusui di tempat kerja, kata Naomi, membuat banyak ibu berhenti menyusui lebih awal. Padahal, wanita membutuhkan waktu dan dukungan cukup dari lingkungannya agar bisa tetap menyusui dengan optimal.
"Cuti yang cuma 3 bulan itu bisa berakibat tingkat ibu menyusui rendah. Ibu yang kembali bekerja terlalu dini dapat memberikan efek negatif terhadap berlangsungnya masa menyusui. Hal ini tentu membuat ibu tidak bisa memberikan ASI eksklusif selama enam bulan," ujar dia.
Selain memberikan cuti yang lebih baik, Naomi mendorong perusahaan menyediakan ruang laktasi yang memadai. Dengan begitu, ibu bisa menyusui atau memompa ASI dengan nyaman dan aman.
Sementara itu, praktisi kesehatan komunitas dan kedokteran kerja dari Health Collaborative Center Ray W Basrowi mengatakan ada tantangan lain, yakni masih kurangnya bukti ilmiah yang mendukung dukungan fasilitas, kebijakan, dan promosi laktasi di tempat kerja adalah investasi dan bukan cost atau pembiayaan.
“Salah satu faktor penting di Indonesia dalam melindungi pemberian ASI eksklusif adalah terkait kebijakan-kebijakan perlindungan ASI Eksklusif di lingkungan kerja,” ujar Ray.
Meskipun peraturan dukungan untuk ibu menyusui masih membutuhkan penguatan, beberapa perusahaan telah melakukan inisiatif untuk mendukung pemberian ASI eksklusif. Contohnya, perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Produk Bernutrisi untuk Ibu dan Anak (APPNIA).
“APPNIA menyadari pentingnya manfaat ASI Eksklusif dan dan nutrisi pada 1000 hari pertama kehidupan, serta mendukung ibu, khususnya yang bekerja, agar dapat memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan pertama kehidupan bayinya," ujar Direktur Eksekutif APPNIA Poppy Kumala.
Anggota APPNIA terus memperkuat kebijakan dan melakukan berbagai program untuk memastikan hak-hak karyawan dan anak terpenuhi, agar orang tua baru dapat membersamai bayinya melalui pemberian cuti melahirkan berbayar selama 3 bulan sesuai aturan. Bahkan, ada yang memberikan sampai selama 6 bulan bagi karyawan perempuan, dan cuti bagi ayah.
Selain itu, penyediaan ruang laktasi yang memenuhi syarat di tempat kerja, dukungan nutrisi bagi ibu menyusui, hingga edukasi dan pendampingan tentang 1.000 Hari Pertama Kehidupan, serta beberapa perusahaan anggota APPNIA menyediakan layanan Employee Assistance Program (EAP) berupa layanan konsultasi virtual dengan psikolog untuk mendukung karyawan terkait masalah pribadi, psikososial,dan pekerjaan.
“Kami sadar bahwa gizi yang baik di awal kehidupan anak akan menciptakan anak Indonesia yang sehat, tangguh, cerdas, serta terbebas dari
stunting. Oleh karena itu salah satu bentuk komitmen kami dalam menyukseskan ASI eksklusif adalah melalui penyediaan ruang laktasi yang memenuhi syarat pada kantor dan pabrik perusahaan anggota APPNIA,” tutur Poppy.
Dia berharap inisiatif dalam bentuk kebijakan dan program yang telah diterapkan dapat membantu para karyawan yang sedang hamil dan menyusui agar bisa memberikan ASI eksklusif dengan optimal.
Poppy menyampaikan perlu kolaborasi dan dukungan dari berbagai pemangku kepentingan, yaitu pemerintah, para ahli, sektor swasta, maupun masyarakat agar program ASI eksklusif bisa berjalan maksimal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)