Presiden Joko Widodo/ MI/PANCA SYURKANI
Presiden Joko Widodo/ MI/PANCA SYURKANI

FOKUS

Kritik Demokrasi Jokowi

Sobih AW Adnan • 28 Juli 2017 22:51
medcom.id, Jakarta: Charles-Louis de Secondat mesti pasrah dengan kebutaan yang menyerang matanya. Beruntung, ia baru saja merampungkan De L'esprit des Loix hingga setebal 31 jilid.
 
Setengah puas, peminat kajian hukum yang kemudian masyhur disapa Montesquieu itu mengeluh, "Jika saja penglihatanku tak terganggu, maka kualitas dan jumlah yang kutulis bisa lebih dari ini."
 
Belakangan, keluhan Montesquieu terhadap karya yang ia tulis selama 17 tahun itu tampak percuma. Toh, sejak diterbitkan pada 1748, buku yang dalam terjemahan Inggrisnya diberi judul The Spirit of the Laws itu kian populer sebagai rujukan ilmu ketatanegaraan. Bukan hanya di Eropa dan Amerika, termasuk juga di Indonesia.

Gagasan Montesquieu itu, membuatnya dijuluki Bapak Konstitusi. Dialah yang mengenalkan prinsip Trias Politica dalam bernegara. Menurutnya, pemisahan fungsi kekuasaan menjadi penting. Agar tak ada lagi pemusatan kekuasaan yang melahirkan kesewenang-wenangan.
 
Montesquieu yang buta, telah mampu meruntuhkan sistem-sistem pemerintahan kaku yang berdiri tegak di masanya.
 
Ruh demokrasi
 
Dalam bukunya, Montesquieu membagi kekuasaan negara menjadi tiga bentuk, yakni legislatif, ekskutif, dan yudikatif. Gagasan itu, sejatinya bukan juga hal yang baru. Sebab, John Locke sudah membicarakannya lebih dulu.
 
Kemenangan Montesquieu, lantaran membuatnya menjadi lebih lengkap. Apalagi, Locke juga tidak sempat mengenalkan istilah yudikatif, meski sedikit banyak memasukkan sebutan federatif.
 
Trias politica menjelma menjadi bangunan pemerintahan demokrasi. Montesquieu menjamin, sistem pemerintahan yang meletakkan kekuasaannya di tangan rakyat menjadi sebaik-baiknya pilihan.
 
Pun oleh Indonesia, demokrasi dengan pemisahan kekuasaan menjadi pelabuhan terakhir setelah berabad-abad diwarnai segala jenis bentuk pemerintahan monarki. Sejak 17 Agustus 1945, sistem kekuasaan terpusat yang segala kelemahannya dimanfaatkan kolonial Belanda dan Jepang itu, tak pernah dilirik lagi.
 
Meski tidak dipungkiri, demokrasi di Indonesia mengalami jatuh bangun. Di bawah kepemimpinan Soekarno, misalnya, demokrasi sah. Tapi, nuansanya masih memusat dengan terma 'terpimpin'.
 
Era Soeharto, demokrasi tak lantas dipadamkan. Ia tetap hidup. Cuma saja, kekurangan demokrasi terletak pada tafsir penguasa. Yakni, ditutupnya peluang kritik dan kontrol dari berbagai pilar demokrasi.
 
"Demokrasi bukan hanya kebebasan mengeluarkan suara dan sama sekali bukan pula kebebasan melemparkan dakwaan," kata Soeharto, sebagaimana dikutip G. Dwipayana & Nazarudin Sjamsuddin (Ed) dalam Jejak Langkah Pak Harto 27 Maret 1973-23 Maret 1978 (1991).
 
Yang paling penting diingat, sesempit apapun keadaannya, ruh demokrasi tetap berada di tangan rakyat. Sementara keleluasaan Orde Baru, disebabkan matinya fungsi pemisahan kekuasaan. Dan Reformasi 1998, menjadikan hal itu sebagai pelajaran.
 
Demokrasi terbuka
 
Setelah 1998, demokrasi Indonesia relatif terus membaik. Kekuasaan absolut dan memusat, nyaris tak mendapatkan tempat.
 
Hubungan ekskutif dan legislatif yang merupakan hasil pemisahan kekuasaan, cenderung dinamis. Meski di beberapa babak, ada pula selisih pengertian tentang praktik politik dalam alam demokrasi.
 
Yang paling baru, kritik yang dilemparkan Ketua Umum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono kepada Presiden Joko Widodo. Kala menerima kunjungan Prabowo Subianto, ia mengungkapkan kekhawartiran akan adanya kekuasaan tanpa kontrol. Dengan gaya khas, SBY menyebutnya abuse of power.
 
"Power must not go unchecked. Artinya, kami harus memastikan bahwa penggunaan kekuasaan oleh para pemegang kekuasaan tidak melampaui batas," kata SBY, di Puri Cikeas, Bogor, Kamis malam, 27 Juli 2017.
 
Titik bidik kritik SBY ini, di antaranya terkait penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), yang memang tengah memanas. Juga, diarahkan kepada sikap kekeh pemerintah yang menyertakan ambang batas pencalonan Presiden sebesar 20 persen kursi parlemen atau 25 persen suara nasional dalam UU Pemilu.
 
Kritik Demokrasi Jokowi
Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di Cikeas, Jawa Barat, Kamis (27/7)/MI/ARYA MANGGALA
 
Jika benar seperti itu, barangkali SBY lupa. Dalam demokrasi, selain rakyat, hukum berada di tempat yang tak kalah tinggi. Persoalan-persoalan itu sejatinya tidak bertumpu pada hal ihwal kekuasaan, namun bisa diproses melalui jalur hukum yang telah disediakan. Misalnya, melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
 
Buntut dari pernyataan SBY ini, tak salah pula jika mendapatkan respons sederhana dari Presiden Jokowi. Tak ada lagi kekuasaan absolut, kata dia.
 
"Kan ada pers, ada media, ada juga LSM, ada juga yang mengawasi di DPR. Pengawasannya kan dari mana-mana. Rakyat juga bisa mengawasi langsung," kata Jokowi di kawasan Greenland International Industrial Center (GIIC), Deltamas, Kecamatan Cikarang Pusat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Jumat, 28 Juli 2017.
 
Baca: Jokowi Sebut Kekhawatiran SBY Berlebihan
 
Komunikasi yang dinamis dan tidak selalu sependapat antara DPR dan pemerintah, barangkali itu pula yang ingin ditunjukkan Jokowi dari keberadaan demokrasi yang masih baik-baik saja.
 
Alhasil, inilah wajah demokrasi di Indonesia. Ketika saling melemparkan pandangan dan kritik, tentu berharap tetap bertujuan baik. Sementara bagi pemerintah, tak usah marah. Kritik, tanda memiliki. Bahkan kata Cindy Adams, tanda sayang.
 
"Kalau aku memarahimu, itu berarti aku mencintaimu," tulis Cindy Adams, dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2007).
 
Yang penting dihindari bersama, kata Montesquieu, tidak ada tirani yang lebih besar dari pada yang dilakukan di bawah perisai hukum dan atas nama keadilan.
 
Kekhawatiran Montesquieu bisa terjadi dari dua kekuatan. Pertama, dari seorang tiran yang berkuasa sewenang-wenang. Kedua, dari praktik demokrasi yang diselewengkan menjadi 'mobokrasi'. Demokrasi yang digerakkan oleh mob atau sekelompok massa yang sebenarnya tidak tahu apa-apa.
 
Kekuasaan tirani dan massa sejenis ini, bisa dijadikan bukti nyata hilangnya kedaulatan hukum, alias nomokrasi dalam praktik demokrasi.
 
Demokrasi di Indonesia hari ini, bukan merupakan hasil pertentangan antara penguasa tiran dan kekuasaan sekelompok massa.
 
Demokrasi, berjalan dengan baik selama tidak mengharamkan kritik. Tentu, selain turut dikawal, diawasi, dan diimbangi oleh kedaulatan hukum.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan