Jakarta: Komunikasi risiko menjadi cara penyampaikan informasi dan edukasi kepada masyarakat terkait penanganan dan pencegahan virus korona (covid-19). Pada prakteknya, hal itu tidak mudah dilaksanakan dan harus dilakukan hati-hati pada setiap kalimat yang diucapkan.
Pengajar KSM Psikiatri FKUI/RSCM Psikiatri Komunitas dr Hervita Diatri mengakui tidak mudah menyampaikan komunikasi risiko tersebut. Sebab dalam kasus ini, pihaknya harus menyampaikan informasi seutuhnya. Sementara masyarakat kerap menerima informasi tersebut sebagai upaya menakut-nakuti.
"Dalam komunikasi risiko, kami harus menyampaikan seberapa besar kasusnya untuk risiko jangka panjang atau jangka pendek jika kasus ini tidak segera diatasi," ujar Hervita, dalam channel YouTube BNPB Indonesia.
Dalam proses penyampaiannya, memang bahasanya serba negatif. Namun, kunci kesuksesan dalam penyampaian informasi ini ialah gestur tubuh.
"Jadi jangan sampai kalimat penting yang disampaikan, tapi matanya gembira. Ya, meskipun pakai masker ya tidak bisa melihat apakah tersenyum. Jadi hal ini bisa membuat bias," ujarnya.
Hervita menegaskan pihaknya tidak bermaksud untuk menakut-nakuti masyarakat, tetapi mencoba menyampaikan secara tegas agar masyarakat sadar betapa bahanya virus covid-19 ini.
"Kami menyampaikan secara jujur, tegas, terbuka, dan memberikan juga solusi," kata Hervita.
Dalam beberapa kasus, Hervita menilai akan sangat bagus jika Satgas Penanganan Covid-19 menggandeng para tokoh agama dan masyarakat untuk menyampaikan kepada masyarakat di berbagai daerah. Para tokoh tersebut bisa menyampaikan dengan gaya bahasa sehari-hari yang familiar dengan masyarakat setempat.
Untuk mencegah penularan covid-19, pemerintah melalui #satgascovid19 tak bosan-bosannya mengampanyekan #ingatpesanibu. Jangan lupa selalu menerapkan 3M, yakni #pakaimasker, #jagajarak dan #jagajarakhindarikerumunan, serta #cucitangan dan #cucitanganpakaisabun.
Jakarta: Komunikasi risiko menjadi cara penyampaikan informasi dan edukasi kepada masyarakat terkait penanganan dan pencegahan virus korona (covid-19). Pada prakteknya, hal itu tidak mudah dilaksanakan dan harus dilakukan hati-hati pada setiap kalimat yang diucapkan.
Pengajar KSM Psikiatri FKUI/RSCM Psikiatri Komunitas dr Hervita Diatri mengakui tidak mudah menyampaikan komunikasi risiko tersebut. Sebab dalam kasus ini, pihaknya harus menyampaikan informasi seutuhnya. Sementara masyarakat kerap menerima informasi tersebut sebagai upaya menakut-nakuti.
"Dalam komunikasi risiko, kami harus menyampaikan seberapa besar kasusnya untuk risiko jangka panjang atau jangka pendek jika kasus ini tidak segera diatasi," ujar Hervita, dalam channel YouTube BNPB Indonesia.
Dalam proses penyampaiannya, memang bahasanya serba negatif. Namun, kunci kesuksesan dalam penyampaian informasi ini ialah gestur tubuh.
"Jadi jangan sampai kalimat penting yang disampaikan, tapi matanya gembira. Ya, meskipun pakai masker ya tidak bisa melihat apakah tersenyum. Jadi hal ini bisa membuat bias," ujarnya.
Hervita menegaskan pihaknya tidak bermaksud untuk menakut-nakuti masyarakat, tetapi mencoba menyampaikan secara tegas agar masyarakat sadar betapa bahanya virus covid-19 ini.
"Kami menyampaikan secara jujur, tegas, terbuka, dan memberikan juga solusi," kata Hervita.
Dalam beberapa kasus, Hervita menilai akan sangat bagus jika Satgas Penanganan Covid-19 menggandeng para tokoh agama dan masyarakat untuk menyampaikan kepada masyarakat di berbagai daerah. Para tokoh tersebut bisa menyampaikan dengan gaya bahasa sehari-hari yang familiar dengan masyarakat setempat.
Untuk mencegah penularan covid-19, pemerintah melalui #satgascovid19 tak bosan-bosannya mengampanyekan #ingatpesanibu. Jangan lupa selalu menerapkan 3M, yakni #pakaimasker, #jagajarak dan #jagajarakhindarikerumunan, serta #cucitangan dan #cucitanganpakaisabun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ROS)