medcom.id, Jakarta: Bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan menjunjung bahasa persatuan; Indonesia.
Jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tiga poin rumusan Kongres Pemuda Kedua pada 28 Oktober 1928 ini sudah bikin gerah Pemerintah Hindia Belanda.
Betapa tidak, penyebutan bangsa yang digunakan, berani melenceng dari aturan dan pakem yang sudah diwajibkan. Belanda melarang siapapun menyebut tanah jajahannya itu, selain dengan nama Nederlandesch-lndie atau Holand Tropican.
Lantas, kapan dan siapa saja yang mengenalkan nama Indonesia untuk menyebut bentangan wilayah dari Sabang sampai Merauke hingga saat ini?
J.R Logan
Antropolog Skotlandia James Richardson Logan disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali mengenalkan nama Indonesia. Ia, mencantumkan sebutan wilayah yang cenderung asing itu dalam jurnal antropologi Singapura pada 1850.
Wahyu Wibowo, dalam Manajemen Bahasa: Pengorganisasian Karangan Pragmatik dalam Bahasa Indonesia (2001) menjelaskan, ketika muncul sebutan "indunesians" yang dikenalkan seniornya, yakni etnolog asal Inggris G.W Earl, Logan tak sepakat.
"Ia kekeh menyebutnya sebagai Indonesia. Diambil dari kata Indos-Nesos atau kepulauan India, nama yang biasa digunakan dalam bahasa perdagangan kuno di kepulauan itu," tulis Wahyu.
Logan lahir pada 10 April 1819 dan meninggal di Penang, Malaysia pada 20 Oktober 1869. Dia dikenal sebagai pengacara hebat, penyunting Penang Gazette. Logan dinobatkan sebagai warga kehormatan Penang setelah dianggap getol membela hak asasi warga lokal yang berasal dari berbagai etnis.
Adolf Bastian
Ahli ilmu bumi asal Jerman Adolf Bastian mempopulerkan nama Indonesia pada 1884 dalam buku Indonesien Order Die Inseln des Malayschen Archipels. Ia merasa, nama yang dikenalkan Logan itu lebih tepat dan pas dibanding sebutan lainnya. Hanya saja, lantaran gaung Bastian lebih besar dibanding Logan, nama Indonesia pun lebih lekat menempel pada ilmuwan kelahiran 26 Juni 1826 itu.
"Melalui tulisannya yang terkenal itu, banyak orang lantas menduga bahwa Bastian merupakan orang pertama yang mengenalkan nama Indonesia," tulis Alif Danya Munsyi dalam Bahasa Menunjukkan Bangsa (2005).
Eduard Douwes Dekker
Pada 1860, Dekker menerbitkan novel berjudul Max Havelaar. Roman ini dicatat sebagai karya sastra pertama di Hindia Belanda yang sedikit banyak mengarahkan penggunaan nama "Indonesia."
Meskipun begitu, banyak pula yang berpendapat bahwa dalam novel dengan judul asli Max Havelaar, of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij itu, Dekker sedang menekankan penyebutan Indonesia melalui istilahnya sendiri, yakni Insulinde.
"Meski sempat banyak digunakan, namun nama Indonesia lebih populer," tulis Komaruddin Hidayat, dalam Reinventing Indonesia: Menemukan Kembali Masa Depan Bangsa (2008).
Christiaan Snouck Hurgronje
Hurgonje dikenal sebagai sarjana budaya oriental dan bahasa yang pernah menjabat Penasehat Urusan Pribumi untuk pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Pada 23 Mei 1892, Snouck mengajukan Atjeh Verslag alias sebendel laporannya tentang budaya dan agama Hindia Belanda kepada pemerintah Kolonial. Sebagian besar Atjeh Verslag, kemudian diterbitkan dalam judul De Atjeher yang dipecah menjadi dua jilid. Edisi pertama terbit pada 1893 dan kedua pada 1894.
"Sarjana termasyhur Snouck Hurgonce juga menggunakan Indonesia dalam bukunya tentang Aceh pada 1894," tulis Komaruddin, masih dalam buku yang sama.
H.H Kan
Setengah tahun sebelum perhelatan Kongres Pemuda Kedua, pada April 1928 digelar Kongres Chuang Hwa untuk mendiskusikan pembentukan organisasi politik sesuai dengan keputusan disarankan pada pertemuan sebelumnya.
Benny G. Setiono, dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik (2003) menceritakan, kongres yang digelar di Semarang itu melahirkan organisasi Chung Hwa Hui. Dalam AD/ART yang tengah dirancang, seorang pentolan bernama H.H Kan dan pendukungnya meminta agar forum meniadakan kata Hindia Belanda dan menggantinya dengan sebutan Indonesia. Alasannya, agar selaras dengan perjuangan kaum nasionalis.
Kontan, saran Kan memancing perdebatan panas. Setelah menghabiskan waktu cukup lama, peserta sidang sepakat untuk menempuh jalan voting.
"Usul H.H. Kan menang tipis, 24 lawan 25 suara," tulis Benny.
Alexander Huber
Pada 1932, ilmuwan Rusia Alexander Huber meluncurkan Sketsa Sosial-Ekonomi setebal 279 halaman. Dalam buku itu, Huber memakai nama "Indonesia" dan merupakan tulisan akademis pertama tanpa kata "Hindia Belanda."
Tomi Lebang, dalam Sahabat Lama, Era Baru: 60 Tahun Pasang Surut Hubungan Indonesia-Rusia (2010) menjelaskan, pada masa itu, para sarjana masih lazim menggunakan kata Hindia Timur atau Nederlandesch-lndie. Pasalnya, Belanda berkampanye menolak penyebutan nama lain yang bisa menyematkan identitas baru bagi daerah jajahannya.
"Mereka memanfaatkan hubungan diplomatik dan kepentingan pemodal yang berinvestasi di Hindia Belanda yang biasanya merangkap sebagai penyandang dana untuk berbagai penelitian para akademisi. Termasuk yang berasal dari Rusia," tulis Tomi.
Huber juga tercatat sebagai sejarawan Rusia modern yang menulis artikel untuk entri "Indonesia" dalam edisi pertama Great Soviet Encyclopeia pada 1937. Dia juga telah meramal invasi Jepang ke Asia Tenggara dalam brosur Indonesia dan Indocina yang ditulisnya pada 1940.
"Atas jasanya, pada 1945, jurusan Indonesia resmi didirikan di Institut Studi Bangsa-Bangsa Asia-Afrika, Universitas Negara Moskwa. Lima tahun kemudian berdiri jurusan filologi Indonesia di Universitas Leningrad," tulis Tomi.
Selain nama-nama di atas, tentu banyak pula tokoh pergerakan bumiputra yang mati-matian menyerukan penggunaan nama Indonesia. Ki Hadjar Dewantara, malah menggunakan nama Indonesia dan mengembalikan ketenaran istilah Nusantara sejak 1918 saat dibuang di Belanda. Pun Mohammad Hatta, yang menggunakan nama itu sebagai modal mendirikan Perhimpunan Indonesia di Belanda dan Eropa pada 1922.
Hanya saja, memang, nama Indonesia menjadi signifikan sejak dihelatnya Sumpah Pemuda Oktober 1928.
medcom.id, Jakarta: Bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan menjunjung bahasa persatuan; Indonesia.
Jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tiga poin rumusan Kongres Pemuda Kedua pada 28 Oktober 1928 ini sudah bikin gerah Pemerintah Hindia Belanda.
Betapa tidak, penyebutan bangsa yang digunakan, berani melenceng dari aturan dan pakem yang sudah diwajibkan. Belanda melarang siapapun menyebut tanah jajahannya itu, selain dengan nama
Nederlandesch-lndie atau
Holand Tropican.
Lantas, kapan dan siapa saja yang mengenalkan nama Indonesia untuk menyebut bentangan wilayah dari Sabang sampai Merauke hingga saat ini?
J.R Logan
Antropolog Skotlandia James Richardson Logan disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali mengenalkan nama Indonesia. Ia, mencantumkan sebutan wilayah yang cenderung asing itu dalam jurnal antropologi Singapura pada 1850.
Wahyu Wibowo, dalam
Manajemen Bahasa: Pengorganisasian Karangan Pragmatik dalam Bahasa Indonesia (2001) menjelaskan, ketika muncul sebutan
"indunesians" yang dikenalkan seniornya, yakni etnolog asal Inggris G.W Earl, Logan tak sepakat.
"Ia kekeh menyebutnya sebagai Indonesia. Diambil dari kata
Indos-Nesos atau kepulauan India, nama yang biasa digunakan dalam bahasa perdagangan kuno di kepulauan itu," tulis Wahyu.
Logan lahir pada 10 April 1819 dan meninggal di Penang, Malaysia pada 20 Oktober 1869. Dia dikenal sebagai pengacara hebat, penyunting
Penang Gazette. Logan dinobatkan sebagai warga kehormatan Penang setelah dianggap getol membela hak asasi warga lokal yang berasal dari berbagai etnis.
Adolf Bastian
Ahli ilmu bumi asal Jerman Adolf Bastian mempopulerkan nama Indonesia pada 1884 dalam buku
Indonesien Order Die Inseln des Malayschen Archipels. Ia merasa, nama yang dikenalkan Logan itu lebih tepat dan pas dibanding sebutan lainnya. Hanya saja, lantaran gaung Bastian lebih besar dibanding Logan, nama Indonesia pun lebih lekat menempel pada ilmuwan kelahiran 26 Juni 1826 itu.
"Melalui tulisannya yang terkenal itu, banyak orang lantas menduga bahwa Bastian merupakan orang pertama yang mengenalkan nama Indonesia," tulis Alif Danya Munsyi dalam
Bahasa Menunjukkan Bangsa (2005).
Eduard Douwes Dekker
Pada 1860, Dekker menerbitkan novel berjudul
Max Havelaar. Roman ini dicatat sebagai karya sastra pertama di Hindia Belanda yang sedikit banyak mengarahkan penggunaan nama "Indonesia."
Meskipun begitu, banyak pula yang berpendapat bahwa dalam novel dengan judul asli
Max Havelaar, of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij itu, Dekker sedang menekankan penyebutan Indonesia melalui istilahnya sendiri, yakni
Insulinde.
"Meski sempat banyak digunakan, namun nama Indonesia lebih populer," tulis Komaruddin Hidayat, dalam
Reinventing Indonesia: Menemukan Kembali Masa Depan Bangsa (2008).
Christiaan Snouck Hurgronje
Hurgonje dikenal sebagai sarjana budaya oriental dan bahasa yang pernah menjabat Penasehat Urusan Pribumi untuk pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Pada 23 Mei 1892, Snouck mengajukan
Atjeh Verslag alias sebendel laporannya tentang budaya dan agama Hindia Belanda kepada pemerintah Kolonial. Sebagian besar
Atjeh Verslag, kemudian diterbitkan dalam judul
De Atjeher yang dipecah menjadi dua jilid. Edisi pertama terbit pada 1893 dan kedua pada 1894.
"Sarjana termasyhur Snouck Hurgonce juga menggunakan Indonesia dalam bukunya tentang Aceh pada 1894," tulis Komaruddin, masih dalam buku yang sama.
H.H Kan
Setengah tahun sebelum perhelatan Kongres Pemuda Kedua, pada April 1928 digelar Kongres Chuang Hwa untuk mendiskusikan pembentukan organisasi politik sesuai dengan keputusan disarankan pada pertemuan sebelumnya.
Benny G. Setiono, dalam
Tionghoa dalam Pusaran Politik (2003) menceritakan, kongres yang digelar di Semarang itu melahirkan organisasi Chung Hwa Hui. Dalam AD/ART yang tengah dirancang, seorang pentolan bernama H.H Kan dan pendukungnya meminta agar forum meniadakan kata Hindia Belanda dan menggantinya dengan sebutan Indonesia. Alasannya, agar selaras dengan perjuangan kaum nasionalis.
Kontan, saran Kan memancing perdebatan panas. Setelah menghabiskan waktu cukup lama, peserta sidang sepakat untuk menempuh jalan
voting.
"Usul H.H. Kan menang tipis, 24 lawan 25 suara," tulis Benny.
Alexander Huber
Pada 1932, ilmuwan Rusia Alexander Huber meluncurkan
Sketsa Sosial-Ekonomi setebal 279 halaman. Dalam buku itu, Huber memakai nama "Indonesia" dan merupakan tulisan akademis pertama tanpa kata "Hindia Belanda."
Tomi Lebang, dalam
Sahabat Lama, Era Baru: 60 Tahun Pasang Surut Hubungan Indonesia-Rusia (2010) menjelaskan, pada masa itu, para sarjana masih lazim menggunakan kata Hindia Timur atau
Nederlandesch-lndie. Pasalnya, Belanda berkampanye menolak penyebutan nama lain yang bisa menyematkan identitas baru bagi daerah jajahannya.
"Mereka memanfaatkan hubungan diplomatik dan kepentingan pemodal yang berinvestasi di Hindia Belanda yang biasanya merangkap sebagai penyandang dana untuk berbagai penelitian para akademisi. Termasuk yang berasal dari Rusia," tulis Tomi.
Huber juga tercatat sebagai sejarawan Rusia modern yang menulis artikel untuk entri "Indonesia" dalam edisi pertama
Great Soviet Encyclopeia pada 1937. Dia juga telah meramal invasi Jepang ke Asia Tenggara dalam brosur
Indonesia dan
Indocina yang ditulisnya pada 1940.
"Atas jasanya, pada 1945, jurusan Indonesia resmi didirikan di Institut Studi Bangsa-Bangsa Asia-Afrika, Universitas Negara Moskwa. Lima tahun kemudian berdiri jurusan filologi Indonesia di Universitas Leningrad," tulis Tomi.
Selain nama-nama di atas, tentu banyak pula tokoh pergerakan
bumiputra yang mati-matian menyerukan penggunaan nama Indonesia. Ki Hadjar Dewantara, malah menggunakan nama Indonesia dan mengembalikan ketenaran istilah Nusantara sejak 1918 saat dibuang di Belanda. Pun Mohammad Hatta, yang menggunakan nama itu sebagai modal mendirikan Perhimpunan Indonesia di Belanda dan Eropa pada 1922.
Hanya saja, memang, nama Indonesia menjadi signifikan sejak dihelatnya Sumpah Pemuda Oktober 1928.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)