Jakarta: Pemborosan pangan adalah salah satu pemicu perubahan iklim. Sayangnya, tak banyak yang paham soal ini karena pengetahuan tentang limbah organik yang masih kurang.
Pendiri Indonesian Energy and Environmental Institute (IE2I) Satya Hangga Yudha Widya Putra mengungkapkan bahwa pemanasan global akibat emisi gas rumah kaca bisa dipicu oleh limbah.
"Tapi karena di Indonesia kenaikan itu lebih banyak disebabkan oleh sektor kehutanan, energi dan industri, lebih banyak fokus di bidang tersebut dibanding limbah," ungkap Hangga dalam diskusi mengenai pemborosan pangan di Jakarta, Jumat, 4 Oktober 2019.
Inilah mengapa limbah organik jarang menjadi fokus. Apalagi, Indonesia juga tak terlalu memperhatikan masalah pemborosan pangan.
Dilansir Antara, Hangga juga berpendapat bahwa Indonesia lebih fokus pada masalah kehutanan, sawit dan energi terbarukan. Limbah memang dibahas, baik di seminar maupun konferensi, tapi tidak terlalu didalami.
"Karena menurut saya isu limbah makanan itu sering diremehkan dan diabaikan," pungkas Ketua Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rumah Millennials itu.
Padahal, gas metana yang dihasilkan oleh limbah organik berupa sisa makanan yang sudah bercampur di tempat pembuangan akhir tersebut sangat besar. Metana adalah gas rumah kaca yang lebih kuat daripada CO2. Gas tersebut dapat memperburuk pemanasan global danmenjadi penyebab perubahan iklim secara langsung.
Oleh karena itu, Hangga menyarankan agar pemerintah dan berbagai lembaga harus mulai menggalakkan edukasi mengenai permasalahan limbah, terutama makanan, yang disebabkan oleh pemborosan pangan.
Data Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO) PBB tahun 2016 dan 2017 menemukan bahwa setiap orang di Indonesia membuang sekitar 300 kg makanan setiap tahun. Indonesia menempati posisi kedua setelah arab Saudi dengan rata-rata limbah pangan 427 kg makanan per tahun.
Jakarta: Pemborosan pangan adalah salah satu pemicu perubahan iklim. Sayangnya, tak banyak yang paham soal ini karena pengetahuan tentang limbah organik yang masih kurang.
Pendiri Indonesian Energy and Environmental Institute (IE2I) Satya Hangga Yudha Widya Putra mengungkapkan bahwa pemanasan global akibat emisi gas rumah kaca bisa dipicu oleh limbah.
"Tapi karena di Indonesia kenaikan itu lebih banyak disebabkan oleh sektor kehutanan, energi dan industri, lebih banyak fokus di bidang tersebut dibanding limbah," ungkap Hangga dalam diskusi mengenai pemborosan pangan di Jakarta, Jumat, 4 Oktober 2019.
Inilah mengapa limbah organik jarang menjadi fokus. Apalagi, Indonesia juga tak terlalu memperhatikan masalah pemborosan pangan.
Dilansir
Antara, Hangga juga berpendapat bahwa Indonesia lebih fokus pada masalah kehutanan, sawit dan energi terbarukan. Limbah memang dibahas, baik di seminar maupun konferensi, tapi tidak terlalu didalami.
"Karena menurut saya isu limbah makanan itu sering diremehkan dan diabaikan," pungkas Ketua Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rumah Millennials itu.
Padahal, gas metana yang dihasilkan oleh limbah organik berupa sisa makanan yang sudah bercampur di tempat pembuangan akhir tersebut sangat besar. Metana adalah gas rumah kaca yang lebih kuat daripada CO2. Gas tersebut dapat memperburuk pemanasan global danmenjadi penyebab perubahan iklim secara langsung.
Oleh karena itu, Hangga menyarankan agar pemerintah dan berbagai lembaga harus mulai menggalakkan edukasi mengenai permasalahan limbah, terutama makanan, yang disebabkan oleh pemborosan pangan.
Data Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO) PBB tahun 2016 dan 2017 menemukan bahwa setiap orang di Indonesia membuang sekitar 300 kg makanan setiap tahun. Indonesia menempati posisi kedua setelah arab Saudi dengan rata-rata limbah pangan 427 kg makanan per tahun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(EKO)