Jakarta: Pengamat Terorisme Harits Abu Ulya menilai keterlibatan satu keluarga bahkan perempuan dan anak dalam aksi terorisme terbilang baru di Indonesia.
Namun dari peristiwa tersebut terungkap bahwa jaringan terorisme hari ini semakin terdesak sampai melibatkan perempuan dan anak dalam berbagai aksi amaliah.
"Ini menjadi tren yang kemungkinan akan berkembang dan menjadi pemicu awal, akan menjadi contoh aksi ke depan kalau laki-laki tidak bisa, maka perempuan yang maju," ungkapnya, dalam Breaking News Metro TV, Senin, 14 Mei 2018.
Harits mengatakan banyak aspek dan pertimbangan melibatkan perempuan dan anak dalam aksi terorisme. Hal ini berkaitan dengan kebutuhan akan dukungan moral untuk seluruh jaringan yang mulai mengendur di berbagai negara.
Kasus teror yang mengikutsertakan perempuan dan anak membuktikan jaringan teroris butuh energi lebih banyak untuk melakukan aksi. Ketika pasukan laki-laki tak banyak mendapat kesempatan, perempuan lah jalan satu-satunya.
"Apalagi kalau perempuannya menawarkan diri, tidak ada masalah. Tapi saya duga kasus bom bunuh diri ini berafiliasi dengan ISIS karena Al Qaeda atau jemaah islamiyah tidak punya tradisi seperti itu," katanya.
Pelibatan perempuan dan anak dalam aksi terorisme, kata Harits, adalah tindakan yang terlampau ekstrem. Jaringan teroris tak lagi bisa berpikir proporsional.
Menurut Harits, jaringan teroris boleh menyebut diri mereka menganut jihad, tetapi jihad yang melibatkan anak-anak dan perempuan sudah jauh dari jalur dan tidak lagi dilakukan pada tempatnya.
"Dalam konteks islam jihad memang tidak bisa diaborsi karena ini ajaran islam. Masalahnya, ketika operasionalnua berdiri di atas 'pijakan beku' ini ekstrem dan pengkafiran. Efek jihad ini tidak pada tempatnya."
Harits menambahkan ISIS memang pada awalnya tidak mengikutsertakan perempuan dan anak-anak untuk melakukan aksi, namun kondisi yang semakin terdesak membuat mereka kembali pada seruan awal.
ISIS sering kali menyerukan pada pengikutnya untuk melakukan perlawanan sesuai dengan kemampuan dan dimana pun pengikut berada. Contoh sederhana adalah dua perempuan yang berencana melakukan aksi serangan menggunakan sebuah gunting di Mako Brimob, Depok, Jawa Barat.
"Itu panggilan yang harus dipenuhi. Kalau dia bisa penuhi itu, dia bisa membuktikan komitmennya, dia memberikan keyakinan yang dia miliki pada pemimpin mereka," jelas Harits.
Jakarta: Pengamat Terorisme Harits Abu Ulya menilai keterlibatan satu keluarga bahkan perempuan dan anak dalam aksi terorisme terbilang baru di Indonesia.
Namun dari peristiwa tersebut terungkap bahwa jaringan terorisme hari ini semakin terdesak sampai melibatkan perempuan dan anak dalam berbagai aksi amaliah.
"Ini menjadi tren yang kemungkinan akan berkembang dan menjadi pemicu awal, akan menjadi contoh aksi ke depan kalau laki-laki tidak bisa, maka perempuan yang maju," ungkapnya, dalam
Breaking News Metro TV, Senin, 14 Mei 2018.
Harits mengatakan banyak aspek dan pertimbangan melibatkan perempuan dan anak dalam aksi terorisme. Hal ini berkaitan dengan kebutuhan akan dukungan moral untuk seluruh jaringan yang mulai mengendur di berbagai negara.
Kasus teror yang mengikutsertakan perempuan dan anak membuktikan jaringan teroris butuh energi lebih banyak untuk melakukan aksi. Ketika pasukan laki-laki tak banyak mendapat kesempatan, perempuan lah jalan satu-satunya.
"Apalagi kalau perempuannya menawarkan diri, tidak ada masalah. Tapi saya duga kasus bom bunuh diri ini berafiliasi dengan ISIS karena Al Qaeda atau jemaah islamiyah tidak punya tradisi seperti itu," katanya.
Pelibatan perempuan dan anak dalam aksi terorisme, kata Harits, adalah tindakan yang terlampau ekstrem. Jaringan teroris tak lagi bisa berpikir proporsional.
Menurut Harits, jaringan teroris boleh menyebut diri mereka menganut jihad, tetapi jihad yang melibatkan anak-anak dan perempuan sudah jauh dari jalur dan tidak lagi dilakukan pada tempatnya.
"Dalam konteks islam jihad memang tidak bisa diaborsi karena ini ajaran islam. Masalahnya, ketika operasionalnua berdiri di atas 'pijakan beku' ini ekstrem dan pengkafiran. Efek jihad ini tidak pada tempatnya."
Harits menambahkan ISIS memang pada awalnya tidak mengikutsertakan perempuan dan anak-anak untuk melakukan aksi, namun kondisi yang semakin terdesak membuat mereka kembali pada seruan awal.
ISIS sering kali menyerukan pada pengikutnya untuk melakukan perlawanan sesuai dengan kemampuan dan dimana pun pengikut berada. Contoh sederhana adalah dua perempuan yang berencana melakukan aksi serangan menggunakan sebuah gunting di Mako Brimob, Depok, Jawa Barat.
"Itu panggilan yang harus dipenuhi. Kalau dia bisa penuhi itu, dia bisa membuktikan komitmennya, dia memberikan keyakinan yang dia miliki pada pemimpin mereka," jelas Harits.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MEL)