Para santri sedang belajar kitab kuning di sebuah pesantren Ilustrasi/ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra
Para santri sedang belajar kitab kuning di sebuah pesantren Ilustrasi/ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra

Wawancara Savic Ali

Kiai Kampung Lebih Paham Praktek Pancasila

Sobih AW Adnan • 01 Juni 2017 18:07
medcom.id, Jakarta: Sepekan pertama ramadan ini, boleh jadi akun medsos Anda pernah mendapat forward video pendek beirisi tauziah dari uztad yang kurang beken. Kurang beken bila ukurannya mempunyai acara khusus di salah satu atau lebih televisi nasional. Bila ukurannya kabupaten atau wilayah sekitar kampung tempat tinggalnya, para uztad itu beken banget.
 
Walau demikian materi tauziah dari tokoh pesantren, majelis taklim, madrasah atau musala dari pelosok-pelosok daerah di Tanah Air itu justru keren banget, sangat kekinian. Para uztad dengan gaya yang lugas dan aksen medoknya bicara mengenai nilai-nilai Islam dalam praktek kerukunan antar umat beragama, toleransi, jihad serta isu-isu sosial lain yang sedang menjadi kasak-kusuk kaum urban dan keresahan bangsa.
 
Sosok di balik penyebaran video-video pendek melalui akun medsos NUtizen itu adalah Savic Ali. Pria ceking berkacamata tebal dan berambut gondrong ini giat menggalang jaringan teman-temannya alumni berbagai pesantren tradisional Nahdatul Ulama (NU) di Indonesia untuk mengunggah video-video tauziah keren di lingkungannya masing-masing.

"Kiai dan ustaz di kampung paham soal praktek Pancasila dan semangat Indonesia (kata sifat -red)," kata Savic kepada Metrotvnews.com seusai menjadi narasumber dalam Mata Najwa bertajuk 'Pancasila Punya Kita' di Metro TV, Rabu, 31 Mei 2017.
 
Selama Ramadan, kesibukan memproduksi video makin meningkat ya?
 
Tentu, kian ramai karena dalam tradisi di desa-desa, khususnya pesantren, ada istilah ngaji posonan (semacam pesantren ramadan -red). Para kiai dan ustaz mengajari santrinya dengan kitab-kitab kuning yang dalam hari-hari biasa tidak masuk dalam kurikulum pelajaran.
 
Kami mencoba menjadwalkan pengajian secara live Facebook dari berbagai pelosok daerah. Bukan cuma di akun NUtizen, nyaris setiap akun Facebook pesantren juga live. Sekarang bagaimana caranya mengemasnya ulang menjadi lebih apik, atau menjadi semacam terminal bagi siaran-siaran itu.
 
Pesantren, majelis, atau musala-musalah di daerah sudah memiliki semangat yang selaras dengan kebutuhan dakwah di media sosial?
 
Dunia informasi makin terbuka. Kiai dan ustaz tahu bahwa mereka harus mulai saling terhubung. Berkat arus informasi yang gencar itu pula, mereka makin paham apa yang terjadi hari ini.
 
Apa yang mereka tangkap dengan hari ini?
 
Beragam. Mungkin para kiai dan ustaz di kampung-kampung sedikit heran mengapa agama dijadikan atas nama dalam kegaduhan-kegaduhan sekarang ini. Agama, terutama Islam, diyakini mereka selama ini sebagai penyaji kedamaian, toleransi dan tempat menempa kelembutan hati.

Agama adalah pemersatu, apalagi bagi bangsa yang beragam Indonesia. Agama tidak patut dijadikan pemicu rusaknya tenunan kebangsaan.


Kiai Kampung Lebih Paham Praktek Pancasila
Savic Ali di Mata Najwa, Metro TV, Rabu (31/5/2017)
 
Kiai di kampung paham dengan konteks toleransi, demokrasi dan Pancasila? Sesuatu yang memang mesti kembali dikuatkan belakangan ini.
 
Kiai di kampung lebih fasih bicara soal Pancasila. Bukan sekadar sebagai hafalan, tapi juga sebagai laku. Kiai atau ustaz di kampung sudah paham apa itu toleransi, demokrasi, dan lainnya. Mereka sudah mengadopsi istilah tenggang rasa atau juga tepa selira. Di dalam komunitas Islam misalnya, mereka hidup tidak dalam satu identitas. Ada istilah muslim yang memang tekun, ada juga abangan. Toh, mereka tetap hidup bersama dan bercengkerama dengan baik.
 
Lalu mereka yang Anda anggap lebih fasih itu mengapa tidak banyak dikenal publik?
 
Ya, itu persoalannya. Paling berperan mungkin media massa terutamanya televisi. Konteks dalam obrolan keagamaan yang disajikan melulu bersifat perkotaan, urban. Sehingga yang populer pun ustaz-ustaz yang berasal dari kaum urban di perkotaan besar kemudian memiliki nilai entertainment.
 
Belakangan mereka disebut ustaz selebriti. Penyampai pesan agama yang kebanyakan tidak beranjak dari tempaan keislaman yang begitu kuat. Jangan dikira, lama kelamaan itu tidak akan berdampak.
 
Apa dampaknya?
 
Agama disajikan secara permukaan. Kulit. Tidak diselami sebagai laku melalui pengalaman-pengalaman yang kaya. Ustaz selebiriti itu, kemudian seakan-akan menjadi role model keislaman di Indonesia.
 
Ada yang bilang, kiai pesantren mengantarkan keislaman dengan konten yang berat. Sehingga tidak mudah dicerna awam atau khalayak luas. Begitu?
 
Ya, memang ada faktor konten yang dianggap berat. Kembali ke soal tadi, ustaz-ustaz yang tampil di layar kaca memang paham dengan persoalan-persoalan muslim urban. Kiai dan ustaz kampir dituntut bisa merelevansikan diri dengan masyarakat perkotaan, begitu juga karakter dan gaya hidup mereka.
 
Sebenarnya nih bukan cuma kiai-kiai di pelosok daerah yang tidak didorong muncul di media massa. Bayangkan tokoh nasional setingkat Gus Mus (KH Mustofa Bisri), Mbah Mun (KH Maemun Zubair) atau Pak Quraish (Quraish Shihab) juga tidak dapat tempat lebih untuk menyampaikan apa yang dibutuhkan masyarakat. Mungkin baru Metro TV yang memberi beliau-beliau tempat dengan porsi cukup banyak.
 
Role model keagamaan yang berbeda terbentuk?
 
Itu dia maka jangan heran jika seolah-olah umat Islam di Indonesia sekarang ini pun cuma mengandalkan tampilan. Sebab tidak mendalami ilmu keagamaan yang serius, atau langsung kepada ahlinya. Walhasil agama oleh beberapa kelompok dijadikan sesuatu yang dipertentangkan dengan prinsip-prinsip kebangsaan.
 
Maksudnya, Pancasila?
 
Benar. Kok masih Pancasila dipermasalahkan dengan istilah-istilah keislaman? Masalah itu sudah dituntaskan oleh ulama-ulama pendahulu kita. Akibat kedangkalan berpikir dalam memahami agama, baru menemukan satu dua ayat Al Quran dengan konteks berbeda, mereka langsung menganggap penggunaan Pancasila menjadi dasar negara sebagai sebuah kekeliruan. Ini fatal.
 
Berbeda dengan kiai di kampung-kampung, selain kajian agama lebih mendalam dan tingkat spiritual yang lebih tinggi, mereka juga memiliki kepercayaan penuh terhadap ulama-ulama pendahulunya. Sehingga, konsensus menjadikan Pancasila sebagai dasar negara atau prinsip demokrasi dianggap final. Tak ada masalah.
 
Faktanya, ada kelompok yang juga menggugat Pancasila atas nama peran ulama?
 
Berikutnya memang itu. Melalui peran media massa ada kelompok yang sistematis sengaja membangun reputasi dirinya sebagai tokoh ulama dengan berbagai cara dan strategi. Sementara kiai yang lebih alim dan zuhud, juga tingkat spiritual lebih tinggi mereka justru tawadlu, rendah hati. Di mata mereka urusan agama memang hanya kepada Tuhan.
 
Coba saja tes, setahun atau dua tahun saja orang-orang itu tidak diberi panggung di televisi, mereka akan hilang dari peredaran. Berbeda dengan kiai dan ustaz di daerah, melalui pesantren, majelis, madrasah, atau musalah, pesan-pesan mereka akan terus hidup. Mereka tetap mengaji dan beraktvitas setiap hari.
 
Ingat para ulama NU dan Muhammadiyah misalnya, sejak dulu berjuang untuk Indonesia, tetapi tak pernah membesar-besarkan diri. Statement kemerdekaan Indonesia banyak disumbang oleh Islam dan ulama itu hanya diungkap oleh mereka karena merasa tengah bersaing dengan yang lain. Entah itu etnis atau agama lain.
 
Baca: Teladan Islam Kebangsaan NU-Muhammadiyah
 
Lihat aja Bung Karno, Bung Hatta, Kiai Wahid Hasyim, Kiai Ahmad Dahlan, Ki Bagus Hadikusumo, Ki Hadjar atau ulama-ulama lain yang termasuk para pendiri bangsa, tidak ada yang bicara bahwa dirinya yang paling berjasa. Termasuk para pejuang kemerdekaan.
 
Lalu, kenapa orang-orang hari ini mengklaim dengan begitu nafsunya bahwa ulama paling berjasa? Ya, karena untuk kepentingan mereka sendiri.
 
Seberapa mirip hari ini dengan masa lalu, terutama dengan 1950-an atau masa-masa perumusan dasar negara?
 
Pada 1950-an, kontestasi kelompok memang bertarung keras secara politik. Digaris bawahi, secara politik. Di sana ada PNI, PKI, Masyumi, NU, PSI, dan lain-lain. Hari ini, bisa juga mirip. Tapi, bukan melalui partai politik. Namun lebih berbasis kerumunan yang tidak jelas. Karena tidak jelas, maka tidak bisa dibidik siapa yang bertanggung jawab untuk kelompok A, B atau C.
 
Strategi ini sengaja dimunculkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab demi membelah masyarakat. Nahasnya, diprovokasi menjadi dua kubu besar. Muslim dan musuh Islam. Sangat naif.
 
Mereka yang melakukan itu tak ubahnya seperti George Bush yang menyerang Irak. Atau semangat sektarian yang dilakukan kelompok yang memenangkan Donald Trump kemarin. Argumentasi yang dimunculkan atas nama mayoritas.

Bedanya, di Amerika Serikat atas nama mayoritas kulit putih di sini Islam. Demokrasi, di mata mereka sebatas mayoritarianisme.

Untuk menangkal perpecahan dan menguatkan semangat Pancasila, apa yang mesti dilakukan? Terlebih anak-anak muda.
 
Pancasila jangan diajarkan sebagai kredo politik. Tapi sebagai tuntunan perilaku, akhlak, dan bersikap baik kepada siapapun. Harus ada rumusan detail dari Pancasila. Ada level edukasi yang diturunkan dari lima sila itu. Semisal, sila persatuan Indonesia, sajikan bahwa di dalamnya bahwa sebagai sesama anak bangsa tidak boleh saling menistakan, merendahkan, menganggap tidak berperan, menyepelekan kemanusiaan, memberangus hak, mengintimidasi, atau hal-hal tercela lainnya.
 
Anak muda sangat potensial. Mereka bisa memproduksi pesan-pesan itu melalui video atau yang lainnya. Mereka kreatif. Tapi satu yang menjadi catatan, harus juga didukung penuh kalangan tua. Orang tua, jangan sibuk dengan kepentingan politiknya sendiri-sendiri.
 

 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan