Jakarta: Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra mendorong pemerintah menetapkan kasus gagal ginjal akut pada anak sebagai Kasus Luar Biasa (KLB). Sebab, 143 anak meninggal dunia diduga akibat penyakit tersebut.
Hingga saat ini, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memang belum secara pasti mengetahui penyebabnya. Dugaan sementara adalah cemaran (impurities) zat kimia berbahaya yakni etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang terkandung dalam obat sirop untuk anak.
"Kemenkes sebaiknya tidak berhenti pada takaran zat senyawa berbahaya. Ada problem regulasi," ujar Hermawan dalam acara Hotroom Metro TV, Rabu, 26 Oktober 2022.
Selain fokus pada penyelamatan nyawa dan kasus tidak semakin bertambah, ia meminta pemerintah dengan cepat melakukan penelusuran dan meninjau kembali distribusi obat yang diduga tercemar zat kimia berbahaya melebihi ambang batas.
"Bisa saja ini semacam fenomena gunung es. Dengan menetapkan sebagai KLB, persoalan regulasi bisa di-draft (disusun) oleh pemerintah, tapi telusur, penanganan dan antisipasi masa mendatang harus dilakukan," tuturnya.
Selain itu, perusahaan farmasi harus melakukan audit terhadap segala jenis obat berbentuk cair atau sirop yang diduga mengandung cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG).
Guru Besar Fakultas Farmasi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Zullies Ikawati menilai perlu ada analisis kausalitas untuk mengetahui penyebab gagal ginjal akut pada anak yang berujung pada kefatalan. Pasalnya, tidak semua anak yang dilaporkan mengalami gagal ginjal akut mengonsumsi obat cair yang diduga tercemar mengandung EG dan DEG.
"Tidak semua pasien gagal ginjal akut memiliki karakteristik yang sama. Harus ada analisis kausalitas. Bisa multifaktorial, tidak bisa hanya single faktor saja," tutur Zullies.
Zullies menjelaskan registrasi produk obat, perusahaan farmasi tidak boleh menggunakan bahan etilen glikol (EG) dan dietilon glikol (DG) sebagai bahan baku obat. Namun, EG dan DG berpotensi muncul dari hasil digunakannya pelarut, semisal dalam obat sirop, dari bahan-bahan propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin.
Kemunculan EG dan DG sebagai kontaminan diizinkan dalam batas tertentu yang dapat ditoleransi tubuh, yaitu 0,5 miligram per kilogram berat badan per hari. Ia menuturkan perusahaan farmasi dapat membantu dengan melakukan audit internal pada produk mereka.
"Ini bukan barang yang dipakai obat atau makanan karena sifatnya beracun, dipakai untuk tujuan lain boleh. Senyawa ini biasanya dipakai untuk mesin seperti radioator. Apakah sekarang dipakai (pada obat)? Harus diteliti dan diinvestigasi," ucap Zullies.
Jakarta: Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra mendorong pemerintah menetapkan kasus
gagal ginjal akut pada anak sebagai Kasus Luar Biasa (KLB). Sebab, 143 anak meninggal dunia diduga akibat penyakit tersebut.
Hingga saat ini, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memang belum secara pasti mengetahui penyebabnya. Dugaan sementara adalah cemaran (impurities) zat kimia berbahaya yakni etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang terkandung dalam obat sirop untuk anak.
"Kemenkes sebaiknya tidak berhenti pada takaran zat senyawa berbahaya. Ada problem regulasi," ujar Hermawan dalam acara
Hotroom Metro TV, Rabu, 26 Oktober 2022.
Selain fokus pada penyelamatan nyawa dan kasus tidak semakin bertambah, ia meminta pemerintah dengan cepat melakukan penelusuran dan meninjau kembali distribusi obat yang diduga tercemar zat kimia berbahaya melebihi ambang batas.
"Bisa saja ini semacam fenomena gunung es. Dengan menetapkan sebagai KLB, persoalan regulasi bisa di-draft (disusun) oleh pemerintah, tapi telusur, penanganan dan antisipasi masa mendatang harus dilakukan," tuturnya.
Selain itu, perusahaan farmasi harus melakukan audit terhadap segala jenis obat berbentuk cair atau sirop yang diduga mengandung cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG).
Guru Besar Fakultas Farmasi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Zullies Ikawati menilai perlu ada analisis kausalitas untuk mengetahui penyebab gagal ginjal akut pada anak yang berujung pada kefatalan. Pasalnya, tidak semua anak yang dilaporkan mengalami
gagal ginjal akut mengonsumsi obat cair yang diduga tercemar mengandung EG dan DEG.
"Tidak semua pasien gagal ginjal akut memiliki karakteristik yang sama. Harus ada analisis kausalitas. Bisa multifaktorial, tidak bisa hanya single faktor saja," tutur Zullies.
Zullies menjelaskan registrasi produk obat, perusahaan farmasi tidak boleh menggunakan bahan etilen glikol (EG) dan dietilon glikol (DG) sebagai bahan baku obat. Namun, EG dan DG berpotensi muncul dari hasil digunakannya pelarut, semisal dalam obat sirop, dari bahan-bahan propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin.
Kemunculan EG dan DG sebagai kontaminan diizinkan dalam batas tertentu yang dapat ditoleransi tubuh, yaitu 0,5 miligram per kilogram berat badan per hari. Ia menuturkan perusahaan farmasi dapat membantu dengan melakukan audit internal pada produk mereka.
"Ini bukan barang yang dipakai obat atau makanan karena sifatnya beracun, dipakai untuk tujuan lain boleh. Senyawa ini biasanya dipakai untuk mesin seperti radioator. Apakah sekarang dipakai (pada obat)? Harus diteliti dan diinvestigasi," ucap Zullies.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AGA)