Ilustrasi--gerhana bulan. (Foto: ANTARA/Nyoman Budhiana)
Ilustrasi--gerhana bulan. (Foto: ANTARA/Nyoman Budhiana)

Mengenal Lebih Jauh Fenomena Super Blue Blood Moon

31 Januari 2018 09:52
Jakarta: Fenomena super blue blood moon disebut sebagai fenomena gerhana bulan yang luar biasa. Dalam satu kali gerhana, bulan menunjukkan tiga fenomena sekaligus; super moon, blue moon, dan blood moon.
 
Praktisi Astronomi dan Hisab Rukyat Cecep Nurwendaya menyebut gerhana bulan dengan tiga fenomena sekaligus ini pernah terjadi 152 tahun silam. Bahkan ada pula yang menyebut 36 tahun lalu fenomena mirip super blue blood moon juga pernah terjadi.
 
"Dan tiga fenomena sekaligus ini diprediksi terjadi lagi pada 19 tahun mendatang," ungkap Cecep, dalam Metro Pagi Prime Time, Rabu 31 Januari 2018.

Cecep mengatakan fenomena super moon menunjukkan bahwa bulan purnama yang akan muncul berukuran 13 persen lebih besar ketimbang ukuran normal. Tingkat kecerahan pun naik hingga 30 persen lebih terang.
 
"Kondisi ini karena bulan berada pada jarak paling dekat dengan bumi atau yang disebut purnama perigee dengan jarak 366.210 kilometer dari bumi," katanya.
 
Selain super moon, fenomena blood moon juga akan terjadi. Yang menarik, blood moon diperkirakan berlangsung cukup lama sekitar 76 menit dengan warna merah.
 
Warna merah menunjukkan bahwa bumi memiliki atmosfer. Atmosfer inilah yang membuat masyarakat bisa melihat fenomena bulan saat terjadi gerhana.
 
Mengapa merah? Cecep mengungkapkan bahwa warna merah pada blood moon merefleksikan tingkat polusi sebuah wilayah di bumi. Semakin merah, kadar polutan di bumi semakin tinggi.
 
"Jadi jangan heran atau bangga, wah indah sekali tapi kita harus sadar bahwa tingkat polusi sudah sangat serius," katanya.
 
Tidak terjadi secara periodik
 
Tidak seperti komet, fenomena gerhana bulan super blue blood moon ternyata tidak terjadi secara periodik.
 
Pertama, fenomena blue moon tidak bersifat astronomi. Pasalnya dalam satu bulan masehi atau satu bulan kalender matahari terjadi dua kali bulan purnama. Hal itulah yang membuat fenomena blue moon tidak astronomis.
 
"Yang astronomis itu adalah blood moon. Blood jelas ada periodisasinya sendiri, juga super moon yang tergantung pada periodisasinya sendiri. Variasi dari dua itu, perturbasi, dan gangguan-gangguan yang lain menyebabkan waktu gerhana ke depan dan ke belakang bisa berbeda," ungkapnya.
 
Cerita unik di balik fenomena gerhana bulan
 
Tak hanya penjelasan secara ilmiah, fenomena gerhana bulan juga kerap dikaitkan dengan hal-hal berbau mistis dan mitos.
 
Di Indonesia, masyarakat masa lalu meyakini bahwa fenomena gerhana bulan terjadi karena bulan dikejar dan ditelan oleh raksasa bernama Bhuta Kala di langit. Masyarakat kemudian akan memukul kentongan, lumpang, atau benda lainnya yang menimbulkan suara gaduh untuk menghalau dan mengusir makhluk tersebut.
 
Di luar negeri, cerita tentang gerhana bulan juga sempat mewarnai ekspedisi Christopher Columbus. Sejarah dunia yang diyakini sebagai fakta menceritakan ketika Columbus mendarat di Jamaika, tepatnya di Laut Karibia, pada 29 Februari 1504 ia diingatkan oleh awak kapal bahwa di hari itu akan terjadi gerhana bulan.
 
Perbekalan yang terus menipis dan mulai habis membuat Columbus meminta bantuan pada penduduk sekitar agar diberikan makanan. Namun permintaan Columbus tak terpenuhi.
 
Singkat cerita Columbus memperingatkan penduduk setempat bahwa jika ia tak diberikan makanan maka tuhan akan melenyapkan bulan.
 
"Ternyata saat matahari terbenam dan bulan terbit, bulan menampakkan gerhana bulan merah darah mengerikan. Akhirnya mereka menyembah Columbus dan memberikan makanan," pungkasnya.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MEL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan