medcom.id, Jakarta: Minggu pagi itu, 18 Desember 2016, "Herky" siap menjalani misi berikutnya. Si tubuh gempal itu pun lepas landas meninggalkan Timika, Papua pada pukul 05.35 WIT. Rencananya tiba di Wamena, Papua sekitar pukul 06.13 WIT.
Herky - sapaan komunitas penerbang untuk pesawat jenis Hercules, sudah hampir tiba. Petugas di menara Lanud Wamena sempat melihatnya, tapi tiba-tiba hilang dari pandangan.
Saat itu pukul 06.09 WIT. Petugas menara menghubungi pilot, namun tak ada jawaban. Hilang kontak. Beberapa saat kemudian diketahui, Hercules C-130H bernomor registrasi A-1334 milik TNI AU itu alami kecelakaan.
Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Agus Supriatna mengatakan, sayap kiri pesawat menabrak bukit, terhempas dan jatuh. Lokasinya tidak jauh dari lanud Wamena.
Saat ditemukan, kondisi pesawat telah hancur berkeping-keping. Semua awak yang ikut bersamanya, yakni, 12 kru dan 1 personel bantuan, dinyatakan meninggal dunia.
CFIT
Organisasi penerbangan sipil internasional (International Civil Aviation Organization/ICAO) menyebut peristiwa yang dialami Hercules C-130H di Wamena adalah Controlled Flight Into Terrain (CFIT), atau kecelakaan pesawat akibat menabrak permukaan ketinggian.
Biasanya CFIT terjadi saat pilot mengalami spatial disorientation, atau kehilangan orientasi letak. Pilot tidak mengetahui secara tepat posisi pesawatnya ketika sedang manuver dalam menghadapi cuaca buruk. Umumnya di fase pendekatan menuju landasan.
Dahulu, CFIT ditempatkan kedalam jenis kecelakaan nomor satu alias terbanyak. Tapi, dalam lima tahun terkahir posisi itu bergeser. Kini CFIT berada di peringkat ketiga.
Dalam buku "High-Risk Accident Occurrence Categories - ICAO Safety Report", urutan pertama dan kedua ditempati jenis kecelakaan Runway Accident (Excursions dan Incursions) dan Lost of Control In-flight (LoC-I).
Kecelakaan ini disebut berisiko tinggi, karena, ketiganya berkontribusi sebesar 58% dari total jumlah kecelakaan pesawat komersial di dunia.
Di Papua, tampaknya urutan kategori itu tidak berlaku. CFIT masih menempati urutan terbanyak di wilayah paling timur Indonesia ini. Apa sebenarnya yang terjadi?
Cuaca buruk
Faktor yang paling sering diucapkan adalah sulit diprediksinya cuaca di Papua. Perubahannya terjadi secara cepat.
Ya. Cuaca buruk merupakan salah satu faktor yang biasanya akan dimasukkan dalam daftar salah satu kelompok faktor penyebab. Contohnya dalam kasus Hercules C-130H.
Pengamat penerbangan Dudi Sudibyo mengatakan, dari data yang didapat, ada kabut cukup tebal yang menghalangi pesawat saat mendekati lanud Wamena. Petugas menara pun mengakui sempat melihat pesawat dari kejauhan, tiba-tiba pesawat itu hilang.
"Kesimpulan sementara saya, pilot sudah melihat landasan. Dia mulai menurunkan ketinggian. Saat itu ada kabut. Tidak sadar saat merendah ada bukit," kata Dudi saat berbincang dengan metrotvnews.com, Senin (19/12/2016).
Namun Dudi meyakini bahwa pilot yang terbang di atas Papua sudah pasti teruji dan akrab dengan kondisi alamnya. Meski wilayah ini kerap dijadikan lokasi pengujian pilot, tapi diyakini instruktur yang bersamanya adalah pilot senior.
"Bahkan pilot di sana mengenal posisi pohon-pohon besar yang terkadang mereka jadikan patokan," ucap Dudi.
Namun, kehandalan itu boleh jadi menimbulkan kepercayaan diri yang terlalu besar. Menurut Dudi, terlalu menganggap remeh juga bisa mendatangkan petaka.
"Ya, banyak faktor penyebab kecelakaan. Tapi yang terbesar menurut saya adalah kondisi alam, cuaca," ujarnya.
GPWS
Bila kecelakaan pesawat sipil dengan militer digabung, maka, wilayah Papua menjadi ruang udara dengan kecelakaan terbanyak. Sepanjang 2016 ini saja sudah hampir 10 kecelakaan yang terjadi, baik fatal maupun non fatal.
Dengan kondisi ini, apakah tidak ada evaluasi khusus mengenai penerbangan di ujung timur Indonesia itu?
Sejatinya, cuaca dan kondisi alam semacam di Papua ini bukan terjadi di Indonesia saja. Banyak negara yang memiliki cuaca super ekstrim. Namun, otoritas di negara tersebut bisa mengatasinya dengan baik, tanpa harus mengulangi kecelakaan yang sama.
Bergesernya posisi CFIT dari penyebab nomor satu kecelakaan pesawat ke posisi ketiga, membuktikan bahwa kecelakaan jenis ini telah berkurang drastis.
Dalam dunia penerbangan, CFIT telah dapat teratasi oleh berbagai macam standar dan teknologi modern perangkat peringatan dini. Salah satunya untuk menghindari permukaan ketinggian di darat, yaitu, GPWS (Ground Proximity Warning System).
Bila pesawat terlalu rendah, atau terlampau dekat dengan halangan di depan dan sekitarnya, alat ini secara otomatis akan memberikan peringatan kepada pilot.
"Apakah Hercules C-130H yang didapat dari Australia itu dilengkapi GPWS? Atau, bila tidak, apakah kita memintanya? Kemungkinan tidak ada," kata Dudi.
Teknologi GPWS seharusnya dipakai di semua jenis pesawat. Bisa menjadi standar. Bahkan ada generasi lanjutannya, EGPWS (Enhanced GPWS).
"Memang mahal. Tapi untuk keselamatan, harusnya tidak masalah. Itu sangat membantu," ujarnya.
Sedangkan fasilitas di darat seperti perangkat radar jelajah (surveillance radar), alat observasi keadaan cuaca terkini, seperti AWOS (Automated Weather Observing System) akan sangat membantu petugas ATS dan meteorologi untuk menginformasikan keadaan cuaca.
Dalam laporannya, ICAO Indonesia menyebut, di Papua hampir tidak ada perangkat radar jelajah sebagai alat bantu. Alhasil, para petugas di darat hanya mengandalkan laporan (visual) pilot pesawat untuk mengetahui posisi pesawat.
"Sudah saatnya dipergunakan peralatan surveillance di sepanjang rute ke atau dari lanud yang dikelilingi oleh puncak pegunungan," ujar Dudi.
medcom.id, Jakarta: Minggu pagi itu, 18 Desember 2016, "Herky" siap menjalani misi berikutnya. Si tubuh gempal itu pun lepas landas meninggalkan Timika, Papua pada pukul 05.35 WIT. Rencananya tiba di Wamena, Papua sekitar pukul 06.13 WIT.
Herky - sapaan komunitas penerbang untuk pesawat jenis Hercules, sudah hampir tiba. Petugas di menara Lanud Wamena sempat melihatnya, tapi tiba-tiba hilang dari pandangan.
Saat itu pukul 06.09 WIT. Petugas menara menghubungi pilot, namun tak ada jawaban. Hilang kontak. Beberapa saat kemudian diketahui, Hercules C-130H bernomor registrasi A-1334 milik TNI AU itu alami kecelakaan.
Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Agus Supriatna mengatakan, sayap kiri pesawat menabrak bukit, terhempas dan jatuh. Lokasinya tidak jauh dari lanud Wamena.
Saat ditemukan, kondisi pesawat telah hancur berkeping-keping. Semua awak yang ikut bersamanya, yakni, 12 kru dan 1 personel bantuan, dinyatakan meninggal dunia.
CFIT
Organisasi penerbangan sipil internasional (
International Civil Aviation Organization/ICAO) menyebut peristiwa yang dialami Hercules C-130H di Wamena adalah
Controlled Flight Into Terrain (CFIT), atau kecelakaan pesawat akibat menabrak permukaan ketinggian.
Biasanya CFIT terjadi saat pilot mengalami
spatial disorientation, atau kehilangan orientasi letak. Pilot tidak mengetahui secara tepat posisi pesawatnya ketika sedang manuver dalam menghadapi cuaca buruk. Umumnya di fase pendekatan menuju landasan.
Dahulu, CFIT ditempatkan kedalam jenis kecelakaan nomor satu alias terbanyak. Tapi, dalam lima tahun terkahir posisi itu bergeser. Kini CFIT berada di peringkat ketiga.
Dalam buku "
High-Risk Accident Occurrence Categories - ICAO Safety Report", urutan pertama dan kedua ditempati jenis kecelakaan
Runway Accident (
Excursions dan
Incursions) dan
Lost of Control In-flight (LoC-I).
Kecelakaan ini disebut berisiko tinggi, karena, ketiganya berkontribusi sebesar 58% dari total jumlah kecelakaan pesawat komersial di dunia.
Di Papua, tampaknya urutan kategori itu tidak berlaku. CFIT masih menempati urutan terbanyak di wilayah paling timur Indonesia ini. Apa sebenarnya yang terjadi?
Cuaca buruk
Faktor yang paling sering diucapkan adalah sulit diprediksinya cuaca di Papua. Perubahannya terjadi secara cepat.
Ya. Cuaca buruk merupakan salah satu faktor yang biasanya akan dimasukkan dalam daftar salah satu kelompok faktor penyebab. Contohnya dalam kasus Hercules C-130H.
Pengamat penerbangan Dudi Sudibyo mengatakan, dari data yang didapat, ada kabut cukup tebal yang menghalangi pesawat saat mendekati lanud Wamena. Petugas menara pun mengakui sempat melihat pesawat dari kejauhan, tiba-tiba pesawat itu hilang.
"Kesimpulan sementara saya, pilot sudah melihat landasan. Dia mulai menurunkan ketinggian. Saat itu ada kabut. Tidak sadar saat merendah ada bukit," kata Dudi saat berbincang dengan metrotvnews.com, Senin (19/12/2016).
Namun Dudi meyakini bahwa pilot yang terbang di atas Papua sudah pasti teruji dan akrab dengan kondisi alamnya. Meski wilayah ini kerap dijadikan lokasi pengujian pilot, tapi diyakini instruktur yang bersamanya adalah pilot senior.
"Bahkan pilot di sana mengenal posisi pohon-pohon besar yang terkadang mereka jadikan patokan," ucap Dudi.
Namun, kehandalan itu boleh jadi menimbulkan kepercayaan diri yang terlalu besar. Menurut Dudi, terlalu menganggap remeh juga bisa mendatangkan petaka.
"Ya, banyak faktor penyebab kecelakaan. Tapi yang terbesar menurut saya adalah kondisi alam, cuaca," ujarnya.
GPWS
Bila kecelakaan pesawat sipil dengan militer digabung, maka, wilayah Papua menjadi ruang udara dengan kecelakaan terbanyak. Sepanjang 2016 ini saja sudah hampir 10 kecelakaan yang terjadi, baik fatal maupun non fatal.
Dengan kondisi ini, apakah tidak ada evaluasi khusus mengenai penerbangan di ujung timur Indonesia itu?
Sejatinya, cuaca dan kondisi alam semacam di Papua ini bukan terjadi di Indonesia saja. Banyak negara yang memiliki cuaca super ekstrim. Namun, otoritas di negara tersebut bisa mengatasinya dengan baik, tanpa harus mengulangi kecelakaan yang sama.
Bergesernya posisi CFIT dari penyebab nomor satu kecelakaan pesawat ke posisi ketiga, membuktikan bahwa kecelakaan jenis ini telah berkurang drastis.
Dalam dunia penerbangan, CFIT telah dapat teratasi oleh berbagai macam standar dan teknologi modern perangkat peringatan dini. Salah satunya untuk menghindari permukaan ketinggian di darat, yaitu, GPWS (
Ground Proximity Warning System).
Bila pesawat terlalu rendah, atau terlampau dekat dengan halangan di depan dan sekitarnya, alat ini secara otomatis akan memberikan peringatan kepada pilot.
"Apakah Hercules C-130H yang didapat dari Australia itu dilengkapi GPWS? Atau, bila tidak, apakah kita memintanya? Kemungkinan tidak ada," kata Dudi.
Teknologi GPWS seharusnya dipakai di semua jenis pesawat. Bisa menjadi standar. Bahkan ada generasi lanjutannya, EGPWS (Enhanced GPWS).
"Memang mahal. Tapi untuk keselamatan, harusnya tidak masalah. Itu sangat membantu," ujarnya.
Sedangkan fasilitas di darat seperti perangkat radar jelajah (
surveillance radar), alat observasi keadaan cuaca terkini, seperti AWOS (
Automated Weather Observing System) akan sangat membantu petugas ATS dan meteorologi untuk menginformasikan keadaan cuaca.
Dalam laporannya, ICAO Indonesia menyebut, di Papua hampir tidak ada perangkat radar jelajah sebagai alat bantu. Alhasil, para petugas di darat hanya mengandalkan laporan (visual) pilot pesawat untuk mengetahui posisi pesawat.
"Sudah saatnya dipergunakan peralatan
surveillance di sepanjang rute ke atau dari lanud yang dikelilingi oleh puncak pegunungan," ujar Dudi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(COK)