Helikopter AW-101 milik Angkatan Udara Inggris. Dipotret pada 2012. Foto: Defenceimagery.mod.uk.
Helikopter AW-101 milik Angkatan Udara Inggris. Dipotret pada 2012. Foto: Defenceimagery.mod.uk.

Pengamat: Ada Political Setting di Polemik Heli AW 101

Husni Nursyaf • 10 Februari 2017 00:55
medcom.id, Jakarta: Direktur Eksekutif Institute for Defense Security and Peace Studies (IDSPS) Mufti Makarim menilai ketidaktahuan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu dalam pembelian Helikopter AgustaWestland (AW) 101 oleh TNI Angkatan Udara (AU) bukan menunjukkan situasi sebenarnya. 
 
Menurutnya, keadaan yang terjadi dalam rapat Komisi I DPR RI dengan Menhan dan Panglima TNI pada Senin 6 Februari 2017 itu merupakan agenda setting untuk mempolitisasi pembelian helikopter yang diperuntukkan sebagai angkutan khusus presiden, wakil presiden, dan tamu kehormatan negara.
 
"Saya menduga itu bukan situasi sebenarnya. Ada kemungkinan satu political setting yang sedang dibangun lewat forum itu," ujar Mufti ditemui di Sekretariat Transparency International Indonesia, Jalan Amil Raya, Pejaten Barat, Jakarta Selatan, Kamis 9 Februari 2017.

Namun demikian, Mufti menampik drama ketidaktahuan Panglima TNI dan Menhan di parlemen tersebut merupakan upaya politisasi kepada Gatot karena masa baktinya akan habis pada Maret 2018. "Jadi saya kira bukan soal dipolitisasi untuk dia (Gatot) dipaksa mundur," UJAR DIA..
 
Mufti lebih condong kepada spekulasi upaya politisasi karena ketidakharmonisan yang terjadi antara tubuh TNI dengan Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Salah satunya adalah lembaga intelijen lewat Badan Intelijen Strategis (BAIS) yang sekarang dipegang oleh TNI.
 
Menurut dia, BAIS yang kini dipegang oleh TNI membuat Kemenhan iri karena tidak memiliki kemampuan mengakses data. Padahal dulu, intelijen strategis pertahanan ada di bawah Kemenhan.
 
"Tapi karena dulu pejabat Menhan adalah Panglima TNI sehingga tidak ada persoalan. Tetapi pascareformasi kenapa justru BAIS-nya itu tidak ditarik ke Kemenhan, melainkan di bawah TNI," papar Mufti.
 
Kemenhan sebenarnya memiliki lembaga intelijen, yakni Badan Instalasi Strategis Nasional (Bainstranas). Namun data yang didapat Bainstranas dinilai kurang lengkap, maka itu Kemenhan mengusulkan dibentuk Badan Intelijen Pertahanan (BIP) yang bertujuan untuk merumuskan kebijakan di bidang pertahanan.
 
Usulan Kemenhan untuk membentuk BIP menyeruak pada pertengahan tahun lalu. Sayangnya, rencana pembentukan BIP menuai kontra karena dianggap mengerdilkan tugas dan fungsi BAIS.
 
BIP yang dibentuk Kemenhan dinilai melanggar Undang Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, dan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Paling mencolok, BIP akan bertabrakan dengan BAIS karena TNI berwenang menyelengarakan fungsi intelijen pertahanan.
 
"Kalau begitu, akan ada duplikasi kerja intelijen dan itu akan berbahaya secara politik dan juga berimplikasi pada sumber daya, biaya dan segala macam," tegas Mufti.
 
Ketegangan antara Kemenhan dengan TNI disebut Mufti terlihat jelas saat rapat dengan Komisi I DPR. "Soal ketegangan itu yang saya kira jadi satu isu terkonfirmasi kemarin. Jadi sebenarnya Panglima TNI sedang menyerang Kemenhan, lalu kemudian Kemenhan menyerang balik," pungkas Mufti.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(SCI)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan