medcom.id, Jakarta: Kapal Brahma 12 dan tongkang Anand 12 berlayar dari Kalimantan Selatan menuju Filipina. Dalam perjalanan di perairan Filipina, Jumat 25 Maret, kapal ini dihentikan sekelompok orang.
Sekitar pukul 15.00 waktu setempat, Alfian Elvis Repi bertugas sebagai perwira jaga Kapal Brahma 12. Di kejauhan ia melihat ada kapal kecil mendekat ke Kapal Brahma 12.
Alfian meminta bantuan masinis agar memanggil Kapten Peter Tonsen Barahama ke atas kapal. "Saya katakan ada perahu mendekat, apa tindakan kita?" kata Alfian di kediamannya, Jalan Swasembada Barat, Jakarta Utara, Selasa (3/5/2016).
Alfian memperkirakan ada 10 orang di kapal kecil itu. Ia tidak curiga karena melihat beberapa di antaranya menggunakan kaos bertuliskan PNP yang ia duga singkatan dari Police National Philippines.
Alfian (tengah) dan keluarga. Foto: MTVN/Damar Iradat
Saat merapat ke lambung Kapal Brahma, mereka mengeluarkan senjata dan memberi kode agar anak buah Kapal Brahma mematikan mesin. "Kami ikuti berhenti. Mereka naik," ujar Alfian.
Di atas kapal, para perompak memerintahkan seluruh ABK Brahma 12 berkumpul di satu ruangan. Suasana mulai kacau. Alfian mulai berpikir akan terjadi hal buruk.
Setelah semuanya berkumpul di satu ruangan, tangan ABK Brahma 12 diborgol. Tangan Alfian dan Peter satu borgol.
Ternyata, para perompak tidak ada yang bisa mengoperasikan Kapal Brahma. Salah seorang ABK berkomunikasi dan menawarkan bantuan mengoperasikan Kapal Brahma.
ABK mengajukan syarat tangan mereka lepas dari borgol. Mereka juga berjanji tidak akan melawan. Para perompak setuju.
"Tapi saya minta jangan ada yang lari. Kalau ada satu yang lari, kena tembak, sembilan lainnya akan sengsara," cerita Alfian menirukan ucapan perompak.
Di bawah arahan perompak, Kapal Brahma menuju sebuah pulau. Tiba di sana, 10 ABK Brahma 12 dibawa ke hutan. Alfian tidak bisa mengenali daerah itu. "Mereka minta nomor telepon kantor," ujar Alfian.
Alfian sadar dirinya dan sembilan temannya disandera. Pikiran buruk berkecamuk. Ia teringat adegan film, sandera biasanya diikat dan dipukuli.
Setelah beberapa hari berlalu, apa yang Alfian pikirkan tidak terjadi. Pada satu hari, Alfian kebingungan dan mulai tidak bergairah. Salah seorang penyandera mendekat dan memberi Alfian semangat.
Dari peristiwa itu, Alfian pun merasa dirinya akan baik-baik saja. Selama penyanderaan, menurut Alfian, para penjinayah yang diketahui kelompok separatis Abu Sayyaf memberikan makanan seperti yang mereka santap.
"Apa yang mereka makan, kami makan. Apa yang mereka minum kami minum. Mereka tidur di mana, kami pun tidur di situ. Kami jalan mereka jalan," paparnya.
Penyandera memberikan Alfian nasi dengan lauk ikan dan mi instan. Alfian menduga, penyandera mendapat mi instan dari warga. "Di sana mungkin banyak masyarakat yang pro mereka," kata Alfian.
Bayu Oktaviyanto, 22, ABK Brahma, juga menceritakan hari-hari mencekam disandera Abu Sayyaf. “Takut. Tapi kami pasrah," kata Bayu di rumahnya, Klaten, Jawa Tengah.
Rasa takut yang kerap melanda coba ditepis dengan kenangan manis keluarga di rumah.
“Setiap malam, kami tiduran menghitung bintang. Sambil menceritakan keluarga masing-masing. Itu yang membuat kami kuat,” jelas putra sulung dari pasangan Sutomo dan Rahayu itu.
Kelompok Abu Sayyaf. AFP Photo
Minggu pagi 1 Mei, sangat menegangkan. Setidaknya itu dirasakan Mayjen (Purn) Supiadin Aries Saputra, negosiator dari Tim Kemanusiaan Yayasan Sukma. Upaya pelepasan sandera melibatkan banyak pihak.
Wartawan Metro TV Dessy Fitriani melaporkan, di atas perbukitan di kawasan Indanan, sebelah barat Kota Jolo, Provinsi Sulu, Filipina Selatan, negosiasi antara salah seorang dari Yayasan Sukma bersama tim dengan mediator warga Filipina dimulai.
Mereka bernegosiasi untuk membebaskan 10 ABK Brahma 12 dari kelompok Abu Sayyaf. Tampak di tempat tersebut 15 orang sipil bersenjata api lengkap.
Salah seorang tim mediator Filipina menyatakan pihaknya membantu membebaskan para sandera karena menganggap warga Indonesia sebagai saudara sesama muslim.
Sekitar pukul 08.00, tim, termasuk 15 orang sipil bersenjata, bergerak ke lokasi pertemuan dengan sandera. Perjalanan darat membutuhkan waktu kurang lebih 40 menit.
Lokasinya di kawasan Parang, Sulu, dengan ordinat lokasi di 5 derajat 58 menit 30 detik Lintang Utara dan 120 derajat 54 menit 5 detik Lintang Selatan.
Patroli militer Angkatan Laut Filipina di perairan Parang dan Indanan sempat menunda pembebasan hingga beberapa jam.
Setelah hampir empat jam menunggu, sekitar pukul 12.00 datang seorang utusan dari kelompok Abu Sayyaf yang berpesan agar mobil penjemput sandera segera mendekat ke bibir pantai.
Berita Pembebasan Sandera Dinilai Bisa Pengaruhi Proses Negosiasi Selanjutnya https://t.co/SjCC1w83gT pic.twitter.com/q0zxoDtZb0
— METRO TV (@Metro_TV) 2 Mei 2016
15 menit kemudian, Peter Tonsen Barahama dan sembilan ABK Brahma tiba di titik pertemuan yang ditentukan. Sandera diserahkan dalam waktu hanya kurang dari lima menit.
Untuk menghindari pantauan intelijen dan aparat keamanan Filipina, 10 WNI itu diangkut dengan truk bak kayu. Tim negosiator bergerak dengan kendaraan terpisah.
Sopir truk diminta mengantarkan para WNI itu ke stasiun pengisian bensin di depan rumah Gubernur Sulu Abdusakur Toto Tan II. Kurang dari satu jam, 10 WNI itu dijemput komandan pasukan Sulu kemudian dibawa ke markasnya.
Mereka diterbangkan dengan dua helikopter ke Wesmincom (West Mindanao Commando). Sekitar pukul 16.00, seluruh sandera tiba di Wesmincom, Zamboanga.
Mereka dimintai keterangan terkait dengan tempat penahanan dan nama-nama penyandera. Saat itu juga mereka menjalani cek kesehatan sebelum kemudian diberangkatkan dengan pesawat khusus ke Jakarta.
Supiadin mengatakan, sebenarnya sasaran Abu Sayyaf bukan 10 WNI tersebut. Tawing Umair dan kawan-kawan ingin menculik pebisnis di Tawi-Tawi. Ternyata, pebisnis yang diincar dikawal ketat, Tawing Cs pun pulang.
"Dalam perjalan ketemu kapal (Brahma 12). Daripada gagal, ini dibajak. Jadi, ini korban tidak sengaja," katanya.
medcom.id, Jakarta: Kapal Brahma 12 dan tongkang Anand 12 berlayar dari Kalimantan Selatan menuju Filipina. Dalam perjalanan di perairan Filipina, Jumat 25 Maret, kapal ini dihentikan sekelompok orang.
Sekitar pukul 15.00 waktu setempat, Alfian Elvis Repi bertugas sebagai perwira jaga Kapal Brahma 12. Di kejauhan ia melihat ada kapal kecil mendekat ke Kapal Brahma 12.
Alfian meminta bantuan masinis agar memanggil Kapten Peter Tonsen Barahama ke atas kapal. "Saya katakan ada perahu mendekat, apa tindakan kita?" kata Alfian di kediamannya, Jalan Swasembada Barat, Jakarta Utara, Selasa (3/5/2016).
Alfian memperkirakan ada 10 orang di kapal kecil itu. Ia tidak curiga karena melihat beberapa di antaranya menggunakan kaos bertuliskan PNP yang ia duga singkatan dari Police National Philippines.
Alfian (tengah) dan keluarga. Foto: MTVN/Damar Iradat
Saat merapat ke lambung Kapal Brahma, mereka mengeluarkan senjata dan memberi kode agar anak buah Kapal Brahma mematikan mesin. "Kami ikuti berhenti. Mereka naik," ujar Alfian.
Di atas kapal, para perompak memerintahkan seluruh ABK Brahma 12 berkumpul di satu ruangan. Suasana mulai kacau. Alfian mulai berpikir akan terjadi hal buruk.
Setelah semuanya berkumpul di satu ruangan, tangan ABK Brahma 12 diborgol. Tangan Alfian dan Peter satu borgol.
Ternyata, para perompak tidak ada yang bisa mengoperasikan Kapal Brahma. Salah seorang ABK berkomunikasi dan menawarkan bantuan mengoperasikan Kapal Brahma.
ABK mengajukan syarat tangan mereka lepas dari borgol. Mereka juga berjanji tidak akan melawan. Para perompak setuju.
"Tapi saya minta jangan ada yang lari. Kalau ada satu yang lari, kena tembak, sembilan lainnya akan sengsara," cerita Alfian menirukan ucapan perompak.
Di bawah arahan perompak, Kapal Brahma menuju sebuah pulau. Tiba di sana, 10 ABK Brahma 12 dibawa ke hutan. Alfian tidak bisa mengenali daerah itu. "Mereka minta nomor telepon kantor," ujar Alfian.
Alfian sadar dirinya dan sembilan temannya disandera. Pikiran buruk berkecamuk. Ia teringat adegan film, sandera biasanya diikat dan dipukuli.
Setelah beberapa hari berlalu, apa yang Alfian pikirkan tidak terjadi. Pada satu hari, Alfian kebingungan dan mulai tidak bergairah. Salah seorang penyandera mendekat dan memberi Alfian semangat.
Dari peristiwa itu, Alfian pun merasa dirinya akan baik-baik saja. Selama penyanderaan, menurut Alfian, para penjinayah yang diketahui kelompok separatis Abu Sayyaf memberikan makanan seperti yang mereka santap.
"Apa yang mereka makan, kami makan. Apa yang mereka minum kami minum. Mereka tidur di mana, kami pun tidur di situ. Kami jalan mereka jalan," paparnya.
Penyandera memberikan Alfian nasi dengan lauk ikan dan mi instan. Alfian menduga, penyandera mendapat mi instan dari warga. "Di sana mungkin banyak masyarakat yang pro mereka," kata Alfian.
Bayu Oktaviyanto, 22, ABK Brahma, juga menceritakan hari-hari mencekam disandera Abu Sayyaf. “Takut. Tapi kami pasrah," kata Bayu di rumahnya, Klaten, Jawa Tengah.
Rasa takut yang kerap melanda coba ditepis dengan kenangan manis keluarga di rumah.
“Setiap malam, kami tiduran menghitung bintang. Sambil menceritakan keluarga masing-masing. Itu yang membuat kami kuat,” jelas putra sulung dari pasangan Sutomo dan Rahayu itu.
Kelompok Abu Sayyaf. AFP Photo
Minggu pagi 1 Mei, sangat menegangkan. Setidaknya itu dirasakan Mayjen (Purn) Supiadin Aries Saputra, negosiator dari Tim Kemanusiaan Yayasan Sukma. Upaya pelepasan sandera melibatkan banyak pihak.
Wartawan
Metro TV Dessy Fitriani melaporkan, di atas perbukitan di kawasan Indanan, sebelah barat Kota Jolo, Provinsi Sulu, Filipina Selatan, negosiasi antara salah seorang dari Yayasan Sukma bersama tim dengan mediator warga Filipina dimulai.
Mereka bernegosiasi untuk membebaskan 10 ABK Brahma 12 dari kelompok Abu Sayyaf. Tampak di tempat tersebut 15 orang sipil bersenjata api lengkap.
Salah seorang tim mediator Filipina menyatakan pihaknya membantu membebaskan para sandera karena menganggap warga Indonesia sebagai saudara sesama muslim.
Sekitar pukul 08.00, tim, termasuk 15 orang sipil bersenjata, bergerak ke lokasi pertemuan dengan sandera. Perjalanan darat membutuhkan waktu kurang lebih 40 menit.
Lokasinya di kawasan Parang, Sulu, dengan ordinat lokasi di 5 derajat 58 menit 30 detik Lintang Utara dan 120 derajat 54 menit 5 detik Lintang Selatan.
Patroli militer Angkatan Laut Filipina di perairan Parang dan Indanan sempat menunda pembebasan hingga beberapa jam.
Setelah hampir empat jam menunggu, sekitar pukul 12.00 datang seorang utusan dari kelompok Abu Sayyaf yang berpesan agar mobil penjemput sandera segera mendekat ke bibir pantai.
15 menit kemudian, Peter Tonsen Barahama dan sembilan ABK Brahma tiba di titik pertemuan yang ditentukan. Sandera diserahkan dalam waktu hanya kurang dari lima menit.
Untuk menghindari pantauan intelijen dan aparat keamanan Filipina, 10 WNI itu diangkut dengan truk bak kayu. Tim negosiator bergerak dengan kendaraan terpisah.
Sopir truk diminta mengantarkan para WNI itu ke stasiun pengisian bensin di depan rumah Gubernur Sulu Abdusakur Toto Tan II. Kurang dari satu jam, 10 WNI itu dijemput komandan pasukan Sulu kemudian dibawa ke markasnya.
Mereka diterbangkan dengan dua helikopter ke Wesmincom (West Mindanao Commando). Sekitar pukul 16.00, seluruh sandera tiba di Wesmincom, Zamboanga.
Mereka dimintai keterangan terkait dengan tempat penahanan dan nama-nama penyandera. Saat itu juga mereka menjalani cek kesehatan sebelum kemudian diberangkatkan dengan pesawat khusus ke Jakarta.
Supiadin mengatakan, sebenarnya sasaran Abu Sayyaf bukan 10 WNI tersebut. Tawing Umair dan kawan-kawan ingin menculik pebisnis di Tawi-Tawi. Ternyata, pebisnis yang diincar dikawal ketat, Tawing Cs pun pulang.
"Dalam perjalan ketemu kapal (Brahma 12). Daripada gagal, ini dibajak. Jadi, ini korban tidak sengaja," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(TRK)