Jakarta: Menjelang hari raya Idul Fitri, masyarakat terbiasa menukarkan uang dengan pecahan yang lebih kecil untuk dibagikan saat Lebaran kepada sanak saudara. Tak hanya penukaran di bank, bisnis penukaran uang jelang Lebaran juga ramai di pinggir jalan.
Masalah penukaran uang ini cukup pelik. Sebab, bagi sebagian orang praktik jasa penukaran uang ini dianggap menormalisasikan praktik riba yang dinilai lebih berat dosanya daripada zina. Alhasil, keberadaannya tak pelak menuai polemik di masyarakat.
Lalu bagaimana hukumnya menukar uang dengan uang baru menjelang Lebaran?
Mengutip dari laman resmi Nahdlatul Ulama (NU), Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) Alhafiz Kurniawan menjelaskan, jika yang dilihat dari praktik penukaran uang itu (ma'qud 'alaih) adalah uangnya, maka penukaran uang dengan kelebihan jumlah tertentu jelas haram. Praktik ini terbilang kategori riba.
"Tetapi kalau yang dilihat dari praktik penukaran uang ini (ma'qud 'alaih) adalah jasa orang yang menyediakan jasa, maka praktik penukaran uang dengan kelebihan tertentu mubah menurut syariat. Karena praktik ini terbilang kategori ijarah (sewa),” kata dia.
Ijarah yang dimaksud adalah sejenis dengan jual beli sehingga tidak termasuk kategori riba. Hal itu merujuk pada keterangan dalam kitab Fathul Mujibil Qarib, cetakan pertama, halaman 123. Berikut bunyinya:
Artinya: Ijarah (sewa) sebenarnya adalah jual-beli, hanya bedanya ijarah menerima pembatasan tempo. Produk pada ijarah bukan pada barang, tetapi manfaat (jasa) dari sebuah barang atau jasa dari sebuah tenaga (aktivitas).
Pendapat lain disampaikan oleh Zainal Arifin, salah seorang pengajar di Madrasah Diniyah Salafiyah Al-Ma'arif Pondok Pesantren Syaichona Moh Cholil Demangan Barat Bangkalan. Ia menjelaskan, titik permasalahan dalam konteks penukaran uang ini terletak pada menyamakan uang kertas dengan emas dan perak atau tidak menyamakannya sehingga hal itu menjadi poin ada dan tidaknya hukum riba dalam uang kertas.
Dalam tulisannya berjudul ‘Pandangan Sejumlah Ulama Terkait Hukum Menukar Uang Baru’, ia menyadur beberapa pendapat antara lain;
1. Boleh, menurut ulama madzhab Syafii, Hanafi dan pendapat yang dalam madzhab Hanbali dengan syarat dilakukan secara kontan bukan secara utang.
2. Tidak boleh, menurut pendapat yang kuat dalam madzhab Maliki dan sebagian riwayat dalam madzhab Hanbali.
Sebagai saran, jika memang harus menggunakan jasa pertukaran uang, maka harus diniatkan praktik tersebut sebagai akad ijarah. Sehingga, kelebihan uang yang diberikan bukan termasuk riba, melainkan sebagai bentuk upah atas jasa yang telah diberikan pemilik jasa dari penukaran uang.
Jakarta: Menjelang hari raya
Idul Fitri, masyarakat terbiasa menukarkan uang dengan pecahan yang lebih kecil untuk dibagikan saat
Lebaran kepada sanak saudara. Tak hanya penukaran di bank, bisnis penukaran uang jelang Lebaran juga ramai di pinggir jalan.
Masalah penukaran uang ini cukup pelik. Sebab, bagi sebagian orang praktik jasa penukaran uang ini dianggap menormalisasikan praktik riba yang dinilai lebih berat dosanya daripada zina. Alhasil, keberadaannya tak pelak menuai polemik di masyarakat.
Lalu bagaimana hukumnya menukar uang dengan uang baru menjelang Lebaran?
Mengutip dari laman resmi Nahdlatul Ulama (NU), Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) Alhafiz Kurniawan menjelaskan, jika yang dilihat dari praktik penukaran uang itu (ma'qud 'alaih) adalah uangnya, maka penukaran uang dengan kelebihan jumlah tertentu jelas haram. Praktik ini terbilang kategori riba.
"Tetapi kalau yang dilihat dari praktik penukaran uang ini (ma'qud 'alaih) adalah jasa orang yang menyediakan jasa, maka praktik penukaran uang dengan kelebihan tertentu mubah menurut syariat. Karena praktik ini terbilang kategori ijarah (sewa),” kata dia.
Ijarah yang dimaksud adalah sejenis dengan jual beli sehingga tidak termasuk kategori riba. Hal itu merujuk pada keterangan dalam kitab Fathul Mujibil Qarib, cetakan pertama, halaman 123. Berikut bunyinya:
Artinya: Ijarah (sewa) sebenarnya adalah jual-beli, hanya bedanya ijarah menerima pembatasan tempo. Produk pada ijarah bukan pada barang, tetapi manfaat (jasa) dari sebuah barang atau jasa dari sebuah tenaga (aktivitas).
Pendapat lain disampaikan oleh Zainal Arifin, salah seorang pengajar di Madrasah Diniyah Salafiyah Al-Ma'arif Pondok Pesantren Syaichona Moh Cholil Demangan Barat Bangkalan. Ia menjelaskan, titik permasalahan dalam konteks penukaran uang ini terletak pada menyamakan uang kertas dengan emas dan perak atau tidak menyamakannya sehingga hal itu menjadi poin ada dan tidaknya hukum riba dalam uang kertas.
Dalam tulisannya berjudul ‘Pandangan Sejumlah Ulama Terkait Hukum Menukar Uang Baru’, ia menyadur beberapa pendapat antara lain;
1.
Boleh, menurut ulama madzhab Syafii, Hanafi dan pendapat yang dalam madzhab Hanbali dengan syarat dilakukan secara kontan bukan secara utang.
2.
Tidak boleh, menurut pendapat yang kuat dalam madzhab Maliki dan sebagian riwayat dalam madzhab Hanbali.
Sebagai saran, jika memang harus menggunakan jasa pertukaran uang, maka harus diniatkan praktik tersebut sebagai akad ijarah. Sehingga, kelebihan uang yang diberikan bukan termasuk riba, melainkan sebagai bentuk upah atas jasa yang telah diberikan pemilik jasa dari penukaran uang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(PRI)