ILUSTRASI: Maket gedung baru DPR RI/MI/SUSANTO
ILUSTRASI: Maket gedung baru DPR RI/MI/SUSANTO

FOKUS

Yang Lebih Perlu Dibangun DPR

Sobih AW Adnan • 14 Agustus 2017 21:23
medcom.id, Jakarta: Tak ada salahnya dari politik utang budi. Yang penting, kepada siapa politisi itu berurusan.
 
Mereka, yang berhasil menduduki jabatan di Kongres Amerika Serikat (AS), misalnya, merasa bahwa ia patut berbalas budi kepada rakyat, kekuatan utama yang telah mengantarkannya sebagai perumus kebijakan.
 
Malahan, Denny Januar Ali (J.A) dalam Catatan Politik (2006) menyebut, hal itulah yang menjadikan lembaga legislatif Paman Sam sebagai salah satu institusi parlemen terkuat di dunia.

Anggota Kongres AS, nyaris tak ada yang merasa berutang budi kepada selain rakyat, sebagai pemilihnya.
 
Manfaatnya, kerja-kerja yang dilakukan tidak tersandera oleh kepentingan politik jangka pendek. Kongres AS, relatif mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Entah itu peran legislasi, perumus anggaran, maupun pengawasan terhadap lembaga ekskutif.
 
"Jika ia tidak memuaskan para pemilihnya, ia akan jatuh pada pemilihan umum berikutnya," tulis Denny.
 
Apabila dipahami secara serampangan, apa bedanya pula dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Indonesia. Tapi toh yang terjadi di sini, seolah-olah hubungan DPR dengan yang diwakilinya kian berjarak.
 
Ambil contoh, ketika DPR lebih sibuk memperjuangkan nasibnya sendiri, semisal keinginan naik gaji, gedung baru, perpustakaan, hingga yang teranyar, soal hunian, maka tak jarang pula mendapat tanggapan miring bahkan diadang penolakan dari masyarakat kebanyakan.
 
Rasa-rasanya, semua menyimpul pada satu kunci; relasi utang budi antarkeduanya, memang belum usai.
 
Take and give
 
DPR periode 2014-2019, terkesan cuma mengubah redaksi angkatan lalu yang gagal membangun gedung baru idamannya. Kali ini, proyek dengan ongkos tak kalah besar tengah digodok dengan tajuk penataan kawasan.
 
Ikhtiar pun tak sia-sia. Pagu anggaran sebesar Rp5,7 triliun untuk 2018 sudah di depan mata. Jumlah itu, naik dari angka sebelumnya, yakni Rp4,3 triliun.
 
Dengan duit sebanyak itu, DPR berencana mewujudkan ruangan baru, museum, perpustakaan, area unjuk rasa, serta apartemen.
 
Soal pembangunan apartemen, mereka anggap layak, bahkan penting. Sebab, keberadaan rumah dinas di Kalibata, Jakarta Selatan diklaim berjarak cukup jauh dengan bilangan Senayan.
 
"Ongkosnya lebih mahal, biayanya lebih besar, makan tanah yang lebih besar juga, kalau mereka di (semacam) apartemen (dalam kompleks parlemen), jadi lebih simple," kata Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis 10 Agustus 2017.
 
Baca: Fadli Setuju Bangun Apartemen untuk Anggota DPR
 
Sebagai perumus anggaran, DPR bisa suka-suka merencanakan. Meskipun, tak boleh juga dilarang jika sebagian besar masyarakat merasa berkeberatan.
 
Yang Lebih Perlu Dibangun DPR
 
Perkaranya, sepele. Antara rakyat dan wakilnya belum terjadi take and give yang seimbang. Kepercayaan rakyat yang diberikan, dinilai belum dibalas tuntas anggota dewan.
 
Cara paling mudah, yakni dengan menghitung pencapaian kinerja program legislasi nasional (prolegnas). Pada 2015, DPR cuma bisa menghasilkan 3 undang-undang (UU) dari 40 rancangan UU (RUU) yang ditargetkan. Pada 2016, diselesaikan 9 UU dari total 50 RUU. Sementara pada 2017, per bulan Juli DPR baru bisa menghasilkan 4 UU dari 50 RUU yang ada dalam antrean.
 
Perolehan itu, tentu tak jauh beda dengan periode sebelumnya. Sepanjang 2009-2014, DPR juga cuma bisa menyelesaikan 104 UU dari 352 UU, alias cuma 29,5% dari jumlah yang ditargetkan.
 
Ayam dan telur
 
Persis tebak-tebakan "lebih dulu ayam atau telur", pro-kontra penambahan anggaran dan fasilitas untuk DPR bisa saling menyasar pada dalih peningkatan kinerja.
 
Sebagian anggota DPR bilang, bagaimana bisa kerja maksimal jika fasilitas tidak begitu menunjang. Contohnya, jarak tempuh Kalibata-Senayan, sering menyebabkan keterlambatan mengikuti sidang lantaran terjebak kemacetan.
 
Begitu pula yang tak setuju. Sah-sah saja fasilitas itu dimiliki jika kepercayaan masyarakat sudah diraih dan target kerja sudah dipenuhi. Belum lagi, soal keterlibatan tak sedikit oknum dewan dengan perkara korupsi.
 
Mengacu survei Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Polling Center yang dirilis Juli lalu, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap DPR tinggal separuhnya saja. Yakni, tak lebih dari 51%.
 
Andai saja, DPR mampu menaikkan tingkat kepercayaan itu seiring keinginannya menambah fasilitas dan hal-hal yang dibutuhkan. Niscaya, hasrat itu bisa sedikit masuk akal, lebih mudah dicapai, dan nyaris tanpa halangan.
 
Dilihat dari pro-kontra yang ada, membangun kepercayaan masyarakat pada akhirnya lebih diperlukan DPR ketimbang mendirikan apartemen.
 
Bahasa penataan kawasan yang dipakai pun, tetap akan dipahami sebagai hura-hura jika tidak dibarengi peningkatan kinerja.
 
Lagi pula, rakyat juga tidak banyak menawarkan tantangan. Cukup dibuktikan dengan tak ada lagi gambar kursi kosong, atau pose terkantuk-kantuk di saat menjalankan sidang.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(SBH)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan