ILUSTRASI: Kalkulator tergeletak di barang dagangan di Pasar Senen, Jakarta/ANTARA/FANNY OCTAVIANUS
ILUSTRASI: Kalkulator tergeletak di barang dagangan di Pasar Senen, Jakarta/ANTARA/FANNY OCTAVIANUS

FOKUS

Hitung-hitungan Ramadan

Sobih AW Adnan • 23 Mei 2017 22:45
medcom.id, Jakarta: Belum genap masuk Ramadan, undangan buka puasa bersama sudah berjubel di grup-grup obrolan.
 
Ramadan begitu ditunggu. Selain penuh berkah, ia bulan suka cita.
 
Penggunaan frase 'suka cita', bukan celetukan sembarang. Dalam penelitian Filipe Campante dan David Yanagizawa-Drott berjudul Does Religion Affect Growth and Happiness: Evidence from Ramadan (2013), misalnya, berani memastikan bahwa bulan suci ini mampu meningkatkan kebahagiaan masyarakat.

Sebenarnya, melalui indikator yang mereka sebut subjective well-being (SWB) itu, kebahagiaan yang sudah terbangun bisa saja berdampak pada peningkatan motivasi kerja dan produktivitas. Hanya saja, perilaku konsumtif lebih kentara peningkatannya dibanding hal-hal teoritis di atas.
 
Alih-alih menghadirkan pesan pengendalian hawa nafsu dan anjuran hidup sederhana, Ramadan malah lebih sering jadi ajang tak terkontrolnya pengeluaran, terutama dalam pembelian makanan, minuman, dan pakaian.
 
Baca: Menyiasati Pengeluaran Keuangan Selama Ramadan
 
Sirup, kurma dan camilan yang sebelumnya bukan sajian utama, seolah harus ada. Pakaian yang menyimbolkan ketakwaan ditawarkan di mana-mana.
 
Yang tak pernah turun
 
Ya, kurma tak pernah masuk dalam hitungan makanan pokok masyarakat Indonesia. Tapi jelang Ramadan, peningkatan impornya bisa gila-gilaan. 
 
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor kurma pada April 2017 naik 49,3% dibanding bulan sebelumnya. Kenaikan ini sangat memungkinkan makin siginifikan hingga Mei dan Juni 2017, di sepanjang Ramadan.
 
Memakan kurma saat berbuka puasa memang lebih afdal. Tapi dilihat dari angka, peningkatan jelang dan selama Ramadan menunjukkan konsumsi kurma kian menjelma tradisi dalam masyarakat Indonesia.
 
Itu kurma, apalagi komoditas pokok lainnya. Masih dari data BPS, penaikan angka impor berlaku bagi gula pasir. Pada April 2017 volume impornya menjadi 6.808 ton dengan nilai US$3,8 juta. Angkanya naik dibanding Maret 2017 yang cuma 2.085 ton dengan nilai US$1,2 juta.
 
Impor garam juga mengalami peningkatan pada April 2017. Yakni dengan volume 319,9 ribu ton senilai US$10,4 juta. Bulan sebelumnya hanya 210,1 ribu ton dengan nilai US$10,0 juta.
 
Minyak goreng, tak kalah juga. Menjadi 4.745 ton dengan nilai US$ 4,8 juta. Sedangkan sebelum April 2017 hanya 2.731 ton dengan nilai US$3,4 juta.
 
Belum lagi soal beras, sayur-mayur, telur, dan tetek bengek lainnya. Ramadan seolah disambut dan dilepas dengan tingkat konsumsi masyarakat yang selalu meningkat. 
 
Iman dan pertumbuhan ekonomi
 
Kebutuhan meningkat, tapi bagaimana jika tingkat produktivitas kian menurun. Apalagi, Global Risk Advisors dalam The Economics of Ramadan (2014) mencatat bahwa Ramadan menumbuhkan tradisi pengurangan jam kerja di beberapa negara. 
 
Di dalamnya disebut, taruhlah, jika satu negara menerapkan pengurangan dua jam kerja per hari, maka sederhananya akan kehilangan 40 jam kerja produktif. Imbasnya, produk domestik bruto (PDB) selama Ramadan akan menurun 7,7%.
 
Yang menarik, ada juga yang membaca peningkatan konsumsi masyarakat selama Ramadan itu justru bakal mendorong pertumbuhan ekonomi. Bank Indonesia (BI) misalnya, peningkatan itu diproyeksikan terjadi sampai pertengahan tahun.
 
Di mata BI, pertumbuhan ekonomi diproyeksikan mencapai 5,11% di Kuartal II-2017. Meski hitungan itu lebih banyak dicapai dari kinerja ekspor yang sudah tampak sejak kuartal I.
 
Sisi menarik lainnya, Ramadan, sejatinya tak jauh beda dengan tradisi Natal, Tahun Baru, atau kebiasaan-kebiasaan lain dalam skala yang lebih kecil. Termasuk, tradisi thanksgiving di Amerika Serikat (AS).
 
Ritual atau pun perayaan keagamaan, memang tak aneh ketika memiliki dampak dalam pertumbuhan ekonomi secara langsung. 
 
Dalam Religion and Economic Growth (2003), bahkan dua guru besar Universitas Harvard Robert J. Barro dan Rachel M. McCleary malah dengan tegas mengatakan, bahwa nilai iman amat lekat ikatannya dengan pertumbuhan ekonomi.
 
Dalam konteks puasa, semangat keagamaan yang tinggi sejatinya mampu mendukung pemerataan ekonomi. Dalam arti, melalui peningkatan sedekah dan zakat.
 
Dalam Fast Profits: Investor Sentiment and Stock Returns during Ramadan (2011), peneliti Universitas Leicester Tomasz P. Wisniewski menuliskan bahwa dampak praktis peredaran zakat dan sedekah ialah dengan bertambahnya peredaran uang di masyarakat. Persis yang BI bilang, Ramadan akan menjadi puncak tertinggi peredaran uang tunai sepanjang 2017.
 
"Rata-rata uang tunai yang beredar selama sepuluh tahun mengalami kenaikan sebesar 14 persen," kata Gubernur BI, Agus Martowardojo.
 
Tak berlebihan jika kita bertanya ulang. Jika Ramadan membawa banjir sentimen positif dan ekonomi berbasis konsumsi bergerak cepat, lantas, apakah kegembiraan dan rasa syukur bermakna besar pula bagi ekonomi? 
 
Mari kita tarik dari pangkal ini. Ihwalnya adalah soal kualitas hidup. Soal well being. Malahan bisa dirunut ke indeks kebahagiaan segala. Tetapi ujungnya jelas, manusia menjadi pusat dari semua ukuran. Dan kebahagiaan menjadi fokus yang ditakar. 
 
Kemudian, di titik mana suka cita dalam Ramadan memproduksi sentimen moral yang sepenuhnya membentuk tindakan ekonomi?
 
Ini memang pertanyaan gampang-gampang susah. Namun intinya sederhana, berusaha mencari jawaban; macam apa bentuk kesalehan pribadi dan sosial yang terbentuk dari pertemuan agama dan ekonomi. 
 
Produksi, konsumsi, dan distribusi demikian sigapnya bergerak, membesar, bahkan mengakumulasi. Dan tentu, menghasilkan perputaran kapital triliunan rupiah selama Ramadan.
 
Baca: THR Memicu Pengeluaran Berlebih
 
Bahwa agama memiliki pengaruh signifikan dalam mendorong bergeraknya kapital bukan pengetahuan baru. Tetapi, bagaimana kapital mentransformasi praktik sosial dan budaya bernuansa keagamaan dalam Ramadan sungguh mencengangkan. 
 
Tak berlebihan mengatakan, kerap hadir fenomena lahiriah yang kasat mata. 'Yang saleh' mewujud dalam bentuk 'yang kinclong'.
 
Tapi, sudahlah. Jika ekonomi bergerak bersama momentum Ramadan, justru patut disukuri. Muaranya toh bisa bersifat ganda. Agama menguatkan ikatan hubungan manusia dengan Tuhan dan sesama manusia. Ekonomi bergerak, meluas, dan mengakumulasi, melalui produksi, konsumsi, dan distribusi.  
 
Ingat. Bulan suci Ramadan sangat menganjurkan etika konsumsi. Ia mengajak berlangsungnya sikap hidup asketik. Sikap hidup yang sadar akan segala kenikmatan dunia, tetapi mengambil kenikmatan hanya secukupnya.   
 
Ramadan memang harus disambut dengan bijak. Negara bertugas menjamin kestabilan pasar dan pasokan kebutuhan. Sementara bagi masyarakat, haruslah pandai dalam mengelola anggaran, juga arif dalam mengatur pola konsumsi.
 
Pada Ramadan-lah, agama dan kapital menemukan momentum unik. Keduanya bertemu mentransformasi kemanusiaan kita. Keduanya pula; berpeluang menghadirkan suasana makmur, rukun, bahagia, sejahtera lahir-batin.   
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(SBH)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan