medcom.id, Jakarta: Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah memblokir aplikasi pesan singkat Telegram pada Jumat 14 Juli 2017. Langkah itu diduga untuk menutup saluran komunikasi kelompok-kelompok teroris.
Menurut peneliti Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), Nava Nuraniyah, aplikasi Telegram memang alat komunikasi yang kerap digunakan kelompok Islamic State (IS) di Tanah Air.
Pasalnya, percakapan melalui Telegram bebas dari penyadapan, bahkan oleh pengembang aplikasi itu sendiri.
"Telegram menjadi platform favorit kelompok pro-IS di Indonesia sejak 2014 karena tingkat keamanannya dan bebas dari pemerintah," tulis Nava pada artikelnya Online extremism: the advent of encrypted private chat groups, dalam buku Digital Indonesia (2017) editan Edwin Jurriens dan Ross Tapsell.
Baca juga: Kominfo Nyatakan Blokir Layanan Telegram
Diperkirakan ada ratusan saluran publik (public channels) yang digunakan untuk menyebarkan propaganda IS. Satu saluran publik di Telegram anggotanya tidak terbatas.
Selain itu juga terdapat grup-grup percakapan privat yang keanggotaannya terbatas. Secara anatomi, tambah Nava, grup-grup percakapan teroris di Telegram terbagi secara selektif. Grup semiterbuka kebanyakan diisi simpatisan baru.
Ada pula grup eksklusif yang anggotanya dipilih oleh pimpinan teroris sebagai ruang berdiskusi secara rahasia dengan enkripsi client-to-client.
Yang terpenting bagi IS ialah faktor keamanan. Telegram melindungi privasi dalam berkomunikasi. Telegram menyediakan enkripsi bagi penggunanya.
Artinya, pesan dalam teks biasa yang dikirim akan diubah menjadi kode-kode enkripsi dan hanya bisa dibaca atau didekripsi (decrypt) oleh akun yang dituju.
Ketika data akan disadap, pesan tak bisa dibuka karena file telah berubah format.
Selain itu, kelebihan lain Telegram ialah sistem self-destruct, yakni pesan bisa hancur sendiri, bahkan bisa diatur waktunya. Pesan akan terhapus sendirinya, baik pesan yang tersimpan di server ataupun perangkat.
Tidak sampai di situ, dalam soal privasi, pengguna tidak perlu khawatir jika pesan Anda di-screenshot. Telegram akan memberikan notifikasi begitu ada user lain yang mengambil screenshot hasil percakapan. Juga batas maksimal ukuran file yang dikirim bisa mencapai 1,5 gigabyte-lebih besar ketimbang e-mail.
Perekrutan anggota grup percakapan, menurut Nava, biasanya bermula dari pengajian yang digelar oleh simpatisan IS. Mereka umumnya membicarakan perekrutan anggota, isu agama, dan diskusi terkait muslim yang kafir.
Pemanfaatan aplikasi online oleh kelompok teroris memang bukan hal yang baru. Pada 2015, Bahrun Naim membentuk grup Telegram. Dia tetap berkomunikasi dengan simpatisan IS di Tanah Air meski tengah berada di Suriah. Naim bahkan mengajarkan cara membuat bom mobil dan meretas kartu kredit melalui grup di Telegram.
Di negara lain, para teroris serangan di Paris pada November 2015 juga diketahui menggunakan Telegram untuk merancang aksi. (Media Indonesia)
medcom.id, Jakarta: Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah memblokir aplikasi pesan singkat Telegram pada Jumat 14 Juli 2017. Langkah itu diduga untuk menutup saluran komunikasi kelompok-kelompok teroris.
Menurut peneliti Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), Nava Nuraniyah, aplikasi Telegram memang alat komunikasi yang kerap digunakan kelompok Islamic State (IS) di Tanah Air.
Pasalnya, percakapan melalui Telegram bebas dari penyadapan, bahkan oleh pengembang aplikasi itu sendiri.
"Telegram menjadi platform favorit kelompok pro-IS di Indonesia sejak 2014 karena tingkat keamanannya dan bebas dari pemerintah," tulis Nava pada artikelnya
Online extremism: the advent of encrypted private chat groups, dalam buku Digital Indonesia (2017) editan Edwin Jurriens dan Ross Tapsell.
Baca juga: Kominfo Nyatakan Blokir Layanan Telegram
Diperkirakan ada ratusan saluran publik (
public channels) yang digunakan untuk menyebarkan propaganda IS. Satu saluran publik di Telegram anggotanya tidak terbatas.
Selain itu juga terdapat grup-grup percakapan privat yang keanggotaannya terbatas. Secara anatomi, tambah Nava, grup-grup percakapan teroris di Telegram terbagi secara selektif. Grup semiterbuka kebanyakan diisi simpatisan baru.
Ada pula grup eksklusif yang anggotanya dipilih oleh pimpinan teroris sebagai ruang berdiskusi secara rahasia dengan enkripsi
client-to-client.
Yang terpenting bagi IS ialah faktor keamanan. Telegram melindungi privasi dalam berkomunikasi. Telegram menyediakan enkripsi bagi penggunanya.
Artinya, pesan dalam teks biasa yang dikirim akan diubah menjadi kode-kode enkripsi dan hanya bisa dibaca atau didekripsi (decrypt) oleh akun yang dituju.
Ketika data akan disadap, pesan tak bisa dibuka karena file telah berubah format.
Selain itu, kelebihan lain Telegram ialah sistem
self-destruct, yakni pesan bisa hancur sendiri, bahkan bisa diatur waktunya. Pesan akan terhapus sendirinya, baik pesan yang tersimpan di server ataupun perangkat.
Tidak sampai di situ, dalam soal privasi, pengguna tidak perlu khawatir jika pesan Anda di-
screenshot. Telegram akan memberikan notifikasi begitu ada user lain yang mengambil
screenshot hasil percakapan. Juga batas maksimal ukuran file yang dikirim bisa mencapai 1,5 gigabyte-lebih besar ketimbang e-mail.
Perekrutan anggota grup percakapan, menurut Nava, biasanya bermula dari pengajian yang digelar oleh simpatisan IS. Mereka umumnya membicarakan perekrutan anggota, isu agama, dan diskusi terkait muslim yang kafir.
Pemanfaatan aplikasi online oleh kelompok teroris memang bukan hal yang baru. Pada 2015, Bahrun Naim membentuk grup Telegram. Dia tetap berkomunikasi dengan simpatisan IS di Tanah Air meski tengah berada di Suriah. Naim bahkan mengajarkan cara membuat bom mobil dan meretas kartu kredit melalui grup di Telegram.
Di negara lain, para teroris serangan di Paris pada November 2015 juga diketahui menggunakan Telegram untuk merancang aksi. (Media Indonesia)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(SCI)