Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar memberikan keterangan kepada media usai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Jumat (27/1)/ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar memberikan keterangan kepada media usai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Jumat (27/1)/ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

FOKUS

Ironi Patrialis

Sobih AW Adnan, Mohammad Adam • 27 Januari 2017 21:12
medcom.id, Jakarta: Patrialis Akbar, Hakim Mahkamah Konstitusi itu ditangkap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi di pusat perbelanjaan Grand Indonesia, Jakarta, Rabu malam 25 Januari 2017, sekitar pukul 21.30 WIB. Patrialis diduga menerima suap dari pengusaha bernama Basuki Hariman terkait uji materi UU Nomor 41 Tahun 2014 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Uang itu disampaikan melalui perantara yang juga pengusaha bernama Kamaludin.
 
"Penangkapan Patrialis berkat laporan masyarakat ihwal tindakan korupsi penyelenggara negara. Patrialis diduga menerima hadiah US$20 ribu dan Sin$200 ribu. Dalam penangkapan itu kami juga menyita dokumen perusahaan, voucher pembelian mata uang asing, dan draf putusan perkara," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan di Jakarta, Kamis (26/1/2017). 
 
Penangkapan Patrialis telah mencoreng wajah Mahkamah Konstitusi. Seorang hakim MK seharusnya merupakan negarawan sejati dan steril dari perbuatan tindak pidana korupsi. Ironinya lagi, Patrialis sebenarnya bercita-cita menjadi penegak hukum. 

Profil Hakim Konstitusi yang dipublikasikan oleh MK melalui situs resminya mahkamahkonstitusi.go.id dengan gamblang menjelaskan perjalanan karir Patrialis mulai dari menjadi pengajar di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, kemudian menekuni profesi pengacara selama beberapa waktu, lalu terjun ke kancah politik dan bergabung dengan Partai Amanat Nasional (PAN), menjadi anggota DPR RI 1999-2009, menjabat Menteri Hukum dan HAM 2009-2011, hingga terpilih sebagai hakim konstitusi 2013-2018. 
 
Dalam dunia hukum, karier Patrialis cukup cemerlang. Keberuntungannya pernah menduduki tiga ruang penting negara (trias politika) tak banyak dimiliki tokoh Indonesia lainnya. Tetapi, siapa sangka, sosok yang kini berhasil menggapai keinginannya itu justru berkelindan dengan persoalan hukum.  
 
Suap
 
KPK menetapkan empat tersangka dalam kasus dugaan suap kepada hakim MK. Selain Patrialis, tiga lainnya adalah Kamaludin dan Basuki Hariman selaku pengusaha importir daging, serta Ng Fenny, selaku sekretaris Basuki. Saat OTT, KPK menemukan sejumlah dokumen pembukuan dari perusahaan, voucher pembelian mata uang asing dan draft perkara bernomor 129/puu-xiii/2015.
 
Basuki sebagai pengusaha impor daging sapi diduga menyuap Patrialis melalui Kamaludin. Suap diberikan agar MK mengabulkan uji materi UU Nomor 41 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Patrialis dijanjikan fee sebesar Sin$200 ribu jika keinginan Basuki itu terpenuhi. Menurut keterangan KPK, duit pun sudah mengucur tiga tahap.
 
Patrialis dan Kamaludin diduga sebagai penerima suap dijerat dengan Pasal 12c atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) seperti diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Sementara Basuki dan Fenny diduga sebagai pemberi suap dijerat dengan Pasal 6 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke1 KUHP.
 
Soal keleluasaan impor 
 
Uji materi UU Nomor 41 tahun 2014 diajukan pada 16 Oktober 2015 oleh Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia, Teguh Boediyana beserta lima penggugat lainnya. Yakni dokter hewan Mangku Sitepu, petani dan konsumen daging Gun Gun Muhamad Lutfi, pedagang daging sapi Asnawi, dosen dan konsumen Rachmat Pambudy, dan Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI). Gugatan itu berfokus pada Pasal 36 C ayat 1 dan 3, Pasal 36 D ayat 1 dan Pasal 36 E ayat 1.
 
"Obyek uji materi berkaitan dengan teknik mendatangkan produk ternak atau pun ternak hidup dari negara lain," kata pakar pertanian dan peternakan, Khudori, kepada Metro TV, Jumat (27/1/2017).
 
Khudori menjelaskan, UU Nomor 41 Tahun 2014 memungkinkan pemerintah melakukan impor dari zona bebas PMK (penyakit mulut dan kuku) meski negara itu belum bebas PMK. Pengaturan serupa tertuang dalam Pasal 59 Ayat 2 UU Nomor 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Oleh para penguji materi, aturan di UU lama ini digugat ke MK.
 
Pada Pasal 59 ayat 2 UU itu disebutkan,
'Produk hewan segar yang dimasukkan ke  dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat  (1)  huruf  a harus berasal  dari  unit usaha produk hewan pada suatu negara  atau  zona  dalam suatu negara yang  telah memenuhi  persyaratan  dan tata  cara  pemasukan produk  hewan.
 
Pada 2010, MK membatalkan udang-undang tersebut. MK mengabulkan perubahan dari berbasis zona menjadi berbasis negara. Namun, pada 2014, atas inisiatif DPR UU itu kembali diusulkan dengan berbasis zona dan menjadi UU Nomor 41 Tahun 2014 yang ditandatangani Presiden SBY.
 
"Di dunia dikenal dua cara. Country base dan zone base. Country base mewajibkan negara asal pengimpor bebas PMK. Kalau zone base meski status negara itu tidak bebas PMK, namun ada wilayah atau bagian yang bebas PMK," kata Khudori.
 
Pendekatan country base, kata Khudori, membuat Indonesia tidak leluasa mengimpor daging dari berbagai negara. Karena tidak banyak negara bebas PMK, Indonesia amat tergantung pasokan daging dari Australia. Padahal, di luar negara itu, Indonesia bisa mengimpor daging dan sapi dari AS, Kanada dan Jepang yang bebas PMK.
 
"Pemerintah merasa tersandera oleh negara yang sedikit itu. Terutama tuduhannya mengarah ke Australia. Sehingga UU lama itu dianggap pesanan negara itu," ujar dia.
 
Kaitannya dengan OTT Patrialis, Basuki Hariman mengaku inisiatif yang dilakukannya tak lain demi membantu penggugat. Ia pun mengaku pernah curhat berkali-kali kepada sang hakim lantaran  banyaknya peternak daging sapi yang collapse atau jatuh usahanya karena  maraknya daging asal India masuk ke Tanah Air.
 
"Dari bulan ketujuh dan delapan sudah ketemu dan ngobrol-ngobrol. Saya juga sampaikan keluhan-keluhan soal peternak yang pada collapsekarena banyak daging India yang masuk," kata Basuki sebelum diperiksa di Gedung KPK, Jalan H.R. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (27/1/2017).
 
Serangan daging sapi India diyakininya sebagai dampak penerapan zone base. Ia juga tak memungkiri, lantaran UU itu urusan bisnisnya jadi repot dan mendapatkan banyak masalah.
 
"Saya juga impor daging dari Australia yang lebih mahal. Ini juga mengganggu bisnis saya. Hanya itu saja kepentingan saya," ucap dia.
 
Persaingan tak sehat
 
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) di bidang Perdagangan dan Kesejahteraan Rakyat, Hizkia Respatiadi, menilai penetapan Patrialis Akbar sebagai tersangka oleh KPK pada kasus impor daging sapi merupakan bukti bahwa pembatasan impor bahan pangan dengan menggunakan sistem kuota rawan disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.
 
Untuk daging sapi, ketentuan impornya diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan 59/M-DAG/PER/8/2016. Dalam peraturan ini, yang berhak melakukan impor dibatasi hanya untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan perusahaan-perusahaan yang sudah memiliki lisensi Angka Pengenal Importir (API). Kalaupun syarat ini sudah dipenuhi, impor yang mereka lakukan juga dibatasi oleh sistem kuota yang jumlahnya ditentukan oleh pemerintah pusat.
 
Menurut Hizkia, kondisi ini dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang ingin agar perusahaan mereka saja yang memperoleh lisensi dan kuota tersebut. Meskipun sejak September 2016 sudah ada wacana dari pemerintah untuk menghapus sistem kuota, hingga saat ini wacana tersebut belum pernah disahkan di dalam peraturan resmi.
 
“Rawannya terjadi praktik korupsi dalam sistem kuota impor menghambat terciptanya persaingan yang sehat di antara para pelaku industri. Hal ini membuat harga bahan pangan menjadi tinggi sehingga menyulitkan masyarakat, terutama mereka yang berpenghasilan rendah,” ujar Hizkia dalam keterangan tertulis, Jumat (27/1/2017).
 
Studi yang tengah dijalankan CIPS menunjukkan bahwa harga per kg daging sapi di Singapura lebih murah sekitar Rp18.000 daripada yang dijual di Jakarta. “Padahal Singapura harus mengimpor daging sapinya dari negara lain tanpa pembatasan yang berlebihan. Untuk apa mempertahankan sistem kuota impor jika pada akhirnya hanya mengakibatkan kenaikan harga dan menciptakan peluang korupsi?,” imbuh Hizkia.
 
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(ADM)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan