AKSI KICK OUT HOAX: Warga membubuhkan cap tangan saat aksi
AKSI KICK OUT HOAX: Warga membubuhkan cap tangan saat aksi "Kick Out Hoax" di Solo, Jawa Tengah, Minggu (8/1)/ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha

FOKUS

Melawan Hoax dengan Barcode

Sobih AW Adnan • 13 Januari 2017 21:20
medcom.id, Jakarta: Bak virus yang menyebar cepat, persebaran konten berita palsu (hoax) mesti lekas dicegat. Khalayak ramai perlu sesegera mungkin disuguhi patokan mana informasi yang laik dipercaya dan yang tidak. Terlebih, kebingungan masyarakat kerap timbul lantaran hampir kesemua pengembus kabar itu mengklaim berbendera pers. Sebagai sebuah media pemberitaan.
 
Kode batang, alias barcode menjadi ikhtiar Dewan Pers yang meluncur pekan lalu. Penanda ini akan diberikan kepada media yang dianggap terpercaya. Tentu, setelah terlebih dulu mengikuti serangkaian verifikasi.
 
Pemberian barcode akan dimulai pada 9 Februari 2017, tepat di penyelenggaraan Hari Pers Nasional (HPN) di Ambon. Setelahnya, kode itu akan terus diberikan secara bertahap. Bentuknya kotak-kotak atau biasa disebut penanda jenis QR, bukan garis-garis.
 
Khusus media terpercaya
 
Dewan Pers tidak sendirian. Dalam merancang kode batang ini mereka menggandeng Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Kemungkinan besar, sasaran tembak strategi ini banyak menyasar kepada situs-situs berita yang berhamburan di jagat maya.
 
Berdasarkan data Dewan Pers, dari 43.000 media daring yang ada Indonesia, baru 243 yang terverifikasi. Belum lagi, tren peluncuran portal berita sejenisnya terus menjamur.
 
Melawan <i>Hoax</i> dengan <i>Barcode</i>
 
Barcode besutan Dewan Pers diharap sefungsi dengan International Standar Book Number (ISBN) pada industri buku. Kode batang akan menempel di media cetak dan online yang dianggap memenuhi syarat. Sementara penyertaan di televisi dan radio masih dipelajari.
 
Agar bisa lolos verifikasi Dewan Pers, media pemberitaan harus berbadan hukum, menyertakan susunan penanggung jawab, dan memiliki kesanggupan menggaji, melindungi, serta memberi pelatihan kepada wartawan. Dianggap penting juga, media yang ingin mendapatkan barcode mesti memiliki pimpinan redaksi yang berkualifikasi sebagai wartawan.
 
"Kalau berhasil, ini bisa menjadi cerita sukses ketika Indonesia menjadi tuan rumah World Press Freedom Day pada Mei 2017," kata Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, di Jakarta, Rabu (4/1/2017).
 
Langkah tempuh Dewan Pers tidak melulu dianggap tanpa cela. Beberapa pihak mengkhawatirkan kebijakan ini justru mencerabut semangat jurnalisme yang juga tengah berkembang dengan baik di tengah masyarakat. Tradisi ini akrab dengan sebutan jurnalisme warga. Sementara penyaluran informasinya disebut dengan media komunitas.
 
Manajer Unit Pengelolaan Informasi Combine Resource Institusion (CRI), Idha Saraswati mengatakan syarat lolos verifikasi yang diterapkan Dewan Pers tidak memihak perkembangan tradisi jurnalisme warga. CRI adalah lembaga yang menginisiasi keberadaan portal berita suarakomunitas.net pada 2008. Media komunitas tersebut memiliki ratusan pewarta warga yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
 
"Kami berharap, penanda ini tidak mempersempit ruang pewarta warga," kata Idha kepada Metrotvnews.com, Jumat (13/1/2017).
 
Kebebasan berpendapat
 
Idha menyampaikan, standar verifikasi Dewan Pers memakai cara pandang industri. Padahal, media komunitas dan jurnalisme warga bukan pekerjaan komersil yang hasilnya bisa digunakan untuk melengkapi syarat verifikasi, misalnya menggaji wartawan.
 
Lantas, kata Idha, jika media komunitas tidak bisa memenuhi standar verifikasi secara otomatis menunjukkan ketidak-layakan media komunitas sebagai media informasi? "Padahal secara rambu-rambu dan kode etik jurnalistik kami sangat berhati-hati," kata dia.
 
Jurnalisme warga berbeda dengan persoalan merebaknya situs abal-abal. Media komunitas melakukan tata kelola informasi untuk mendorong kebijakan publik untuk kepentingan warga. "Kami membutuhkan mekanisme yang lebih jelas," ujar Idha.
 
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Suwarjono, mengatakan, semangat pemberlakuan kode batang Dewan Pers tidak semata-mata berdasar pada semangat memberangus situs penyebar berita hoax. Di sisi lain, strategi ini juga diterapkan untuk memerangi jurnalis dan media abal-abal yang menyalahgunakan prinsip pers.
 
"Banyak wartawan dan media yang 'tidak jelas' mengatasnamakan pers untuk melakukan pemerasan. Dengan verifikasi, ini bisa diberantas," kata Suwarjono kepada Metrotvnews.com, Jumat (13/1/2017).
 
Jurnalisme warga, kata Suwarjono, tidak masuk pada area itu. Karena tanggung jawab Dewan Pers memang hanya mencakup pada kategori perusahaan yang sesuai dengan Pasal 1 Angka 2 UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

Perusahaan Pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, dan menyalurkan informasi.

 
"Jurnalis warga tidak perlu khawatir. Karena mereka bergerak di ranah kebebasan berpendapat," kata Suwarjono.
 
AJI mendukung gagasan pemberian barcode oleh Dewan Pers. Menurut Sarjono, langkah itu pun diprediksi tidak akan mengganggu kebebasan bersuara masyararakat yang telah dijamin Pasal 28 UUD 1945.
 
"Sementara persebaran berita bohong sudah sedemikian akutnya," kata dia.
 
Sebaliknya, media abal-abal penyebar berita hoax juga tidak bisa melawan strategi ini dengan dalih kebebasan pers. Karena ragam konten yang disajikan juga menjadi acuan verifikasi.
 
Bukan Orba
 
Jurnalis Senior, sekaligus Direktur Pemberitaan Media Indonesia, Usman Kansong, mengapresiasi rencana pemberian barcode pembeda pers dan non-pers. Ini merupakan langkah maju demi melawan merangseknya persebaran kabar palsu.
 
Menurut Usman, langkah ini juga dilakukan negara-negara maju. Bahkan di Amerika Serikat (AS), penguatan standar tidak hanya disasar kepada media pemberitaan, akan tetapi hingga ke narasumber. "Ada semacam Political Fact. Komunitas yang memverifikasi kualitas narasumber. Atau mencocokkan ucapan narasumber dengan fakta lapangan," kata Usman saat ditemui di ruangan kerjanya, di Kedoya, Jakarta Barat, Jumat (13/1/2017).
 
Melawan <i>Hoax</i> dengan <i>Barcode</i>
Direktur Pemberitaan Media Indonesia, Usman Kansong/Metrotvnews.com/Sobih AW Adnan
 
Langkah Dewan Pers juga boleh dianggap sebagai penegasan. Pasalnya, menurut Usman, banyak media yang terdaftar dengan status badan hukum tidak sebagai mana mestinya.
 
"Ada media pemberitaan yang badan hukumnya lembaga riset," kata Usman.
 
Masyarakat akan diuntungkan. Khalayak bisa dengan mudah memilih sumber berita berdasarkan penanda yang diberikan Dewan Pers. Proses verifikasi yang akan dilakukan juga tidak boleh dianggap sepele. Selain menimbang syarat administratif, kualitas konten akan menjadi pertimbangan mendalam tim yang bertugas.
 
Usman menegaskan, penertiban pengelola informasi hari ini berbeda jauh dengan tradisi pemberedelan era Orde Baru. Jika dulu kebijakan digunakan untuk siapapun yang berani menyerang penguasa, maka hari ini, itu dilakukan secara tegas bagi siapapun yang menimbulkan kerugian kepada masyarakat.
 
Melawan <i>Hoax</i> dengan <i>Barcode</i>
 
"Pemblokiran 800 situs Kemenkominfo juga sama. Sebagian besar memang meresahkan masyarakat," kata Usman.
 
Selebihnya, masyarakat juga perlu diberikan wawasan kemediaan secara lebih mendalam. Sebab, dalam beberapa babak, masyarakat kerap dimanfaatkan melalui penggiringan opini guna menghambat usaha melawan informasi hoax itu. "Di media sosial justru ada pihak-pihak tertentu mengompori masyarakat agar tidak percaya kepada media kredibel," kata Usman.
 

Baca: Telanjur Viral Padahal Hoax


 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADM)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan