CINTA NKRI: Ribuan masyarakat mengikuti
CINTA NKRI: Ribuan masyarakat mengikuti "Karnaval Budaya Cinta NKRI" di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Minggu (20/11/2016). Karnaval yang diisi parade budaya nusantara dan pengibaran ribuan bendera merah putih ini diikuti puluhan ribu peserta dengan tujuan me

FOKUS

Memangkas Proses Pembubaran Ormas

Sobih AW Adnan • 19 Januari 2017 19:25
medcom.id, Jakarta: Dua tiga orang seide-sepemikiran berkumpul, itu sudah cukup sebagai syarat mendirikan organisasi kemasyarakatan (Ormas). Akan tetapi, gampangnya proses pendirian ini tampak jomplang dengan prosedur pembubarannya yang tidak boleh sembarang. Pantas saja, jika Pemerintah dianggap lembek, atau terkesan terengah-engah kala menghadapi tingkah ormas-ormas 'nakal'.
 
Mengutip keterangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), saat ini ada 254.633 ormas yang terdaftar. Di luar itu, ada 2.477 ormas di tingkat provinsi, 1.807 di tingkat kabupaten/kotamadya, 62 di Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), dan 250.000 ormas di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
 
Jumlah sebanyak itu, belum menghitung ribuan perkumpulan dan serikat yang tidak terdaftar.

Belakangan, ditemukan beberapa ormas yang dianggap melanggar lantaran melakukan tindak anarkistis, intoleran, memaksakan kehendak, hingga secara terang-terangan anti-Pancasila. Padahal, semua aturan itu secara tegas termaktub dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
 
Ruwet dan bertele-tele
 
Pada Pasal 59 butir (2) disebutkan, ormas dilarang melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau antargolongan (SARA), menistakan salah satu agama, mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial, atau mengambil-alih kegiatan yang semestinya menjadi tugas penegak hukum.
 
Memangkas Proses Pembubaran Ormas
 
Kesulitan Pemerintah menindak ormas yang nakal diduga karena aturan mengenai prosesnya terlalu ruwet dan bertele-tele. Berbeda ketika masih mengacu pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Massa, peraturan yang terbit pascareformasi itu terdiri dari serangkaian tahap yang mesti ditempuh Pemerintah untuk membubarkan ormas-ormas pelanggar. 
 
Jika ada fakta sebuah ormas telah melanggar ketentuan, Pemerintah tak boleh melakukan tindakan selain memberinya surat teguran. Tidak cukup sekali, tapi dalam Pasal 62 diatur bahwa peringatan tertulis terdiri sampai tiga kali dengan masa berlaku paling lama 30 hari.
 
Apabila teguran terakhir pun tidak diindahkan, Pemerintah baru boleh menindak-lanjutinya dengan menghentikan bantuan dan melarang kegiatan selama enam bulan. Itu pun dengan syarat, jika Pemerintah tengah berhadapan dengan ormas tingkat nasional, maka wajib terlebih dulu meminta pertimbangan dari Mahkamah Agung (MA).
 
Pemerintah bisa saja berlanjut ke tahap pencabutan status badan hukum ormas alias membubarkannya. Itu bisa dilakukan jika setelah 14 hari pengajuan pertimbangan tetapu tak juga mendapat tanggapan dari MA, sementara fakta di lapangan ormas itu masih melakukan pelanggaran yang sama. Sayangnya, tidak asal membubarkan, pada Pasal 68 secara terang disebutkan bahwa pembubaran bisa dilakukan dengan syarat mendapat izin dari pengadilan.
 
"Kalau mengacu UU Nomor 8 Tahun 1985, ormas seperti itu bisa langsung dibubarkan. Karena peraturan yang ada bersifat subyektif Pemerintah," kata Sekretaris Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Budi Prasetyo di Metro TV, Selasa (17/1/2017).
 
Menurut Budi, panjang dan ketatnya syarat bagi Pemerintah dalam membubarkan ormas nakal lantaran demi menjaga kebebasan berserikat dan berkumpul bagi masyarakat. "Ini sebagaimana diamanatkan Pasal 28 UUD 1945," kata dia.
 
Keharusan memberikan sanksi tegas kepada ormas intoleran dan anarkistis misalnya, ini bukan cuma tanggung jawab Pemerintah. Sebab, aspirasi serupa mulai muncul dari berbagai keterwakilan publik. Tingkah satu-dua ormas yang kerap kali tidak menunjukkan iktikad baik dalam menjaga tenunan kebinekaan dirasakan sangat meresahkan masyarakat.
 
"Kalau kita terlambat mengurusi persoalan intoleransi ini, maka mimpi kita untuk menjadi Indonesia akan berakhir," kata Guru Besar Antropolog Universitas Indonesia (UI), Amri Marzali, saat menemui Presiden Joko Widodo di di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (16/1/2017).
 
Melengkapi kekosongan
 
Pakar hukum tata negara dari Universitas Islam Indonesia, Mohammad Mahfud MD, memaklumi bahwa masih ada celah dalam UU Nomor 17 tahun 2013 ketika dijadikan acuan dalam mengganjar ormas-ormas yang melanggar. Apalagi, kata dia, jika ormas itu nyata-nyatanya tidak pernah terdaftar secara resmi.
 
Selama ini, ormas-ormas yang melanggar hanya bisa dihukum secara perseorangan. "Jika anarkistis, mereka bisa diganjar pakai KUHP, tapi tidak bisa menghukum ormasnya," kata Mahfud kepada Metro TV, Selasa (17/1/2017).
 
Indonesia perlu melengkapi instrumen hukum yang sudah ada. Ditambah, ia melanjutkan, penegakkan hukum juga menjadi faktor yang tak kalah penting. "Ya, revisi undang-undang (RUU) mungkin dilakukan untuk memenuhi kekosongan itu," kata dia.
 
Baca: Pemerintah tak akan Menoleransi Ormas 'Nakal'
 
Menyadari itu, Pemerintah berencana mengajukan revisi UU Ormas kepada parlemen dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2017. Langkah itu akan ditempuh setelah pembahasan revisi UU Pemilu, UU Parpol, dan UU MD3 rampung. 
 
Selain memperketat syarat pendirian ormas, melalui RUU itu Pemerintah juga mempertegas sanksi kepada ormas yang melanggar aturan. Terutama memangkas panjangnya alur pembubaran ormas nakal.
 
Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo mengatakan, mekanisme pembatalan ormas saat ini terlalu panjang. Sehingga Pemerintah bisa serba salah, bahkan dianggap tidak tegas. 
 
"Sekarang yang sudah kita ketahui ada tokoh ormas terang-terangan anti-Pancasila, kita tidak bisa kok membatalkan," kata Tjahjo, di Jakarta, Rabu (18/1/2017).
 
Revisi UU Ormas menjadi langkah cukup baik yang diambil Pemerintah. Hal itu dinilai bisa mengimbangi antara tuntutan pembubaran ormas-ormas bermasalah, sekaligus menimbang hak kebebasan dan berserikat. 
 
"Tidak ada masalah (revisi), sepanjang memang tidak membatasi hak berserikat atau perkumpulan itu sendiri," ujar Direktur Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Bahrain, di tempat terpisah.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADM)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan