Petugas kebakaran memadamkan api yang membakar bangunan Lapas Klas II A Banceuy Bandung, Jawa Barat. (ANTARA FOTO/Agus Bebeng)
Petugas kebakaran memadamkan api yang membakar bangunan Lapas Klas II A Banceuy Bandung, Jawa Barat. (ANTARA FOTO/Agus Bebeng)

Penjara Sesak, Remisi Ketat, dan Amuk Napi

Mohammad Adam • 28 April 2016 00:05
medcom.id, Jakarta: Peristiwa-peritiwa kericuhan yang terjadi di penjara dalam dua bulan terakhir patut untuk dicermati. Pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mendapat sorotan tajam terkait empat peristiwa huru-hara di penjara belakangan ini terjadi dalam waktu yang berdekatan.
 
Pertama, Keributan terjadi antar penghuni Rumah Tahanan Salemba, Jakarta, Rabu 3 Februari 2016. Bermula dari pengeroyokan terhadap seorang narapidana berinisial AH yang dilakukan oleh K dan FD. Kedua pelaku diketahui merupakan teman AH di Rutan Salemba. Pengeroyokan yang disertai penusukan itu mengakibatkan AH tewas.
 
Polisi menyita dua pisau dari lokasi pengeroyokan di Rutan Salemba itu. Pertanyaannya, bagaimana dua pisau itu bisa ada di dalam penjara sehingga digunakan kedua pelaku pengeroyok untuk menusuk korban?

Kedua, bentrokan terjadi di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I A Bandarlampung atau dikenal dengan nama Lapas Rajabasa, pada Jumat malam 18 Maret 2016. Perkelahian antar penghuni Lapas ini ini mengakibatkan satu orang narapidana penghuni lapas bernama Sirajudin, tewas akibat terkena tikaman senjata tajam di bagian perutnya.
 
Keberadaan senjata tajam yang digunakan dalam perkelahian di Lapas Rajabasa juga menimbulkan pertanyaan: dari mana asalnya?
 
Ketiga, pembakaran Rutan Malabero di Bengkulu terkait penanganan kasus narkotika yang dikembangkan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) pada Jumat malam 25 Maret 2016. Sebanyak lima narapidana tewas dalam kebakaran yang melanda Rutan Malabero.
 
Kejadian berawal dari upaya penjemputan petugas BNN terhadap salah seorang terpidana kasus narkoba, MH, yang diduga menjadi bandar di dalam rutan. Menolak dibawa BNN, rekan MH pun membakar salah satu ruang tahanan. Api berkobar pukul 20.00 WIB dan merembet ke ruang tahanan lainnya. Petugas pemadam kebakaran berhasil memadamkan api pada dini hari pukul 01.30 WIB. Sementara itu, napi lainnya dievakuasi ke Lapas Bengkulu yang baru.
 
Keempat, pembakaran Lapas Kelas IIA Khusus Narkoba Banceuy di Bandung, Jawa Barat, pada Sabtu 23 April 2016. Pembakaran diduga terkait isu yang merebak mengenai seorang napi tewas karena disiksa oleh petugas lapas. Isu itu memicu kerusuhan. sebagian besar napi mengamuk menghancurkan apa yang ada di dekat mereka. Kantor, mobil, motor, semua dihancurkan dan dibakar.
 
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Muhammad Nasir Djamil, menyatakan penyebab kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di sejumlah dua rutan dan dua lapas dalam dua bulan belakangan ini disebabkan kualitas pengelolaan warga binaan yang buruk dan jumlah petugas penjara yang sedikit.
 
"Situasi lembaga pemasyarakatan kita memang serba minimalis jika dilihat dari anggarannya, petugasnya, fasilitas serta sarana dan prasarananya," ujar Nasir dalam perbincangan dengan metrotvnews.com, Rabu (27/4/2016).
 
Apalagi, ia melanjutkan, ada regulasi yang membuat tahanan dan narapidana sulit keluar penjara. Pemberian remisi atau pengurangan masa tahanan diperketat dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 tahun 2012 tentang Remisi Narapidana Kasus Terorisme, Narkoba, Korupsi yang mengubah ketentuan mendapatkan remisi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan asimiliasi bagi pelaku tindak pidana nakotika, terorisme, dan kejahatan luar biasa lainnya menjadi amat tidak mudah.
 
PP tersebut, menurut Nasir, turut mempengaruhi kondisi penjara yang penuh sesak. Laporan Ditjen Pemasyarakatan menunjukkan bahwa jumlah tahanan dan narapidana saat ini mencapai 188.251 jiwa. Sementara kapasitas lapas yang tersedia di 34 provinsi hanya mampu menampung 119.269 orang. Walhasil, lapas di Indonesia mengalami kelebihan kapasitas sebanyak 58 persen.
 
"Pengetatan remisi menyumbang masalah juga. Sebab yang masuk (penjara) banyak, tapi keluar sedikit," kata Nasir.
 
Ia menambahkan, situasi kian runyam karena sebagian besar penghuni penjara sekarang ini adalah pelaku tindak pidana narkotika.
 
"Lapas dipenuhi penjahat narkoba, sekitar 80 persen jumlahnya. Mereka susah dapat remisi. PP Nomor 99 Tahun 2012 ini bikin mereka putus asa," kata Nasir.
 
Penjara Sesak, Remisi Ketat, dan Amuk Napi
 
Tetapi, ia melanjutkan, kehadiran regulasi yang memperketat remisi tidak menjadi masalah bagi napi yang berkantong tebal. Sebab, mereka sanggup menyuap pihak-pihak yang bisa dimanfaatkan.
 
"Masih banyak oknum-oknum yang lebih tergiur uang (penjahat) narkoba ketimbang uang negara," kata Nasir.
 
Hal senada mengenai masalah pengetatan remisi disampaikan Kepala lembaga pemasyarakatan (Kalapas) Kelas I Cirebon Taufiqurrokhman. Menurut dia, mendapatkan remisi adalah impian bagi tiap tahanan dan napi. Persyaratan yang ketat untuk mendapatkan remisi menimbulkan keresahan bagi penghuni rutan dan lapas.
 
Taufiqurrokhman menuturkan pengalamannya berdialog dengan para warga binaan. Menurut dia, ada banyak narapidana yang mengeluhkan rumitnya perolehan remisi karena adanya PP tersebut.
 
"Di Cirebon juga ada kekecewaan napi. Mereka sampai bilang percuma berbuat baik jika tidak ada harapan pengurangan masa tahanan atau pembebasan bersyarat," kata Taufiq kepada metrotvnews.com, Rabu (27/4/2016).
 
Ia mengaku usai menerima limpahan 50 narapidana asal Lapas Banceuy.
 
Oleh karena itu, Taufiqurrokhman memandang revisi PP ini bisa menjadi jalan keluar atas permasalahan lapas.
 
"Kerusuhan yang kerap terjadi juga sangat dekat dengan dampak dari peraturan tersebut. Mereka (napi) frustasi, tidak ada harapan, akhirnya lebih memilih untuk melakukan yang tidak-tidak," kata dia.
 
Perluasan kesempatan untuk mendapatkan remisi bagi para penghuni lapas ini juga diamini Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly.
 
"Kemenkumham telah melakukan FGD (focus group discussion) mengenai PP Nomor 99 Tahun 2012 yang akan direvisi dan memang harus direvisi. Proses akan dijalankan, karena remisi itu hak bagi para warga binaan," kata Yasonna. Baca: Tekan Kekerasan di Lapas, Yasonna akan Revisi PP 99
 
Remisi, menurut Yasonna, adalah hak setiap narapidana.
 
"Karena sistem harus dibenahi tanpa menghilangkan hak asasi para warga binaan. Pemajuan hak asasi manusia tanpa terkecuali merupakan filosofi pemasyarakatan kita. Dengan diberikan hukuman kurungan sesuai pelanggaran yang dilakukan dan menghilangkan kebebasan bukan berarti menghilangkan hak asasinya," kata Yasonna.
 
Nasir menyambut baik wacana revisi terhadap PP Pengetatan Remisi ini. Semula, penerbitan PP ini dilatarbelakangi semangat menegakkan keadilan terhadap terhadap para napi kejahatan luar biasa. PP ini berupaya memenuhi aspirasi masyarakat yang amat geram dengan kemudahan remisi, seolah diobral pada masa sebelumnya, terutama terhadap koruptor.
 
Namun, hak remisi dulu memang seringkali dimainkan dan dimanipulasi oleh oknum Kemenkumham.
 
"Oknum itu meminta uang ke napi, oknum itu mengomersialkan sehingga yang ada adalah obral remisi. Padahal remisi itu kan hak napi," kata Nasir.
 
Nasir berpendapat PP tersebut memang telah menghambat para narapidana mendapatkan remisi yang sudah menjadi haknya dan membuat resah para napi.
 
"Itu mengganggu suasana batin napi," kata dia.
 
Sesaknya penjara
 
Pemerintah menyatakan tidak semua penjara yang ada di Indonesia mengalami kondisi penuh sesak atau melebihi kapasitas daya tampungnya.
 
Data menunjukkan penjara di tujuh provinsi menampung tahanan dan narapidana di bawah atau sesuai kapasitas yang dimiliki. Antara  lain Bengkulu, Yogyakarta, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, dan Sulawesi Barat.
 
Sementara penjara di DKI Jakarta, Jambi, Kalimantan Timur dan Riau over kapasitas melebihi 100 persen. Bahkan, penjara di Kalimantan Selatan kelebihan beban mencapai 203 persen.
 
Pemerataan penghuni lapas dengan memanfaatkan wilayah-wilayah yang masih memiliki peluang tampung lantas menjadi pilihan. Ditjenpas diminta Yasonna untuk melakukan pemetaan guna membantu pemerataan penghuni agar dapat mengurangi permasalahan over kapasitas yang dialami.
 
"Di mana paling parah, Medan, Jakarta, Jatim. Angka kliriminalitasnya seperti apa. Kalau dia sekarang digeser, selama rata-rata peningkatan kriminalitas di daerah seperti apa. Pasti ada yang lebih tinggi dari daerah lain," kata Yasonna.
 
Keadaan ini berbalik dengan keadaaan lapas di Negara Belanda. Sebagaimana rilis Kementerian Keadilan Belanda pada akhir Maret lalu, angka kejahatan di negeri kincir angin tersebut mengalami penurunan 0,9 persen dalam setiap tahunnya. Ini terbukti dari seluruh sel penjara sebanyak 13.500 unit, hanya sepertiganya saja yang terisi.
 
Juru bicara Kementerian Keadilan Belanda Jaap Oosterveer sebagaimana dilansir Telegraph mengatakan fenomena ini dipastikan berlanjut hingga lima tahun ke depan. Meski begitu, kata dia, tidak semua hal melulu berdampak positif. Dengan semakin berkurangnya warga binaan di penjara yang disediakan, maka akan ada 1.900 orang petugas penjagaan lembaga pemasyarakatan (lapas) yang terancam kehilangan pekerjaan.
 
Direktur Penjara Belanda Karl Hillesland keepada stasiun RTV Drenthe mengatakan penurunan angka kejahatan dilandasi atas beberapa faktor, di antaranya adalah kesadaran warga yang meningkat, berkurangnya pelaku kejahatan, serta pengalihan hukuman pidana bagi kekerasan atau kejahatan yang tidak menelan korban.
 
"Baru-baru ini juga telah fokus untuk tidak menuntut kejahatan tanpa korban dan rehabilitasi, juga pada program keterampilan kerja untuk kemudian mengembalikan narapidana ke masyarakat," ujar Hillesland.
 
Penurunan angka ini, kata Hillesland, mengecualikan kejutan hukuman mati Nabil Amzieb tersangka kekerasan geng di Amsterdam pada beberapa minggu lalu. Lembaga Statsistik Belanda (CBS) menunjukkan angka penurunan yang dramatis dalam 10 tahun terakhir di tingkat kejahatan korban.
 
Boleh jadi, fenomena kekosongan penjara di Belanda ini merupakan bagian dari penanganan hukum dan penekanan tingkat kejahatan yang cukup baik di Belanda. Hal  ini termasuk banyak digemarinya studi hukum di Belanda, termasuk dalam ikatan kerja sama beasiswa yang dilakukan Indonesia.
 
"Hingga saat ini, program studi S2 hukum masih menjadi favorit,"  ujar Sekretaris Jenderal Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) RI Ainun Na'im di Erasmus Huis kepada metrotvnews.com di Kompleks Kedutaan Besar Kerajaan Belanda, Jakarta Selatan, Kamis (21/4/2016) lalu.
 
Lebih jauh, Nasir menyarankan pemerintah agar lebih selektif dalam penanganan kasus, khususnya narkoba. Faktor penting yang harus menjadi perhatian terkait kondisi penjara-penjara di Indonesia yang over kapasitas adalah begitu mudahnya orang dijebloskan ke dalam bui karena terkait kasus narkoba.
 
"Harus dipilah mana pengguna, mana bandar, mana korban. Jangan sedikit-sedikit masuk penjara, ya penuhlah," kata Nasir.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADM)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan