medcom.id, Jakarta: Ibarat urusan ayam dan telur, radikalisme dan islamophobia tak jelas ukur siapa yang sebab, mana yang akibat. Yang tampak, keduanya saling mengklaim sebagai respons. Kami ada; lantaran 'sebab', sekaligus 'untuk'.
Aksi kekerasan mengatasnamakan dakwah atau jihad kerap dijadikan dalih bagi sebagian kelompok untuk senewen terhadap Islam. Begitu pun sebaliknya, kekerasan dijadikan alasan demi melawan tindakan diskriminatif yang diterima umat muslim di beberapa kasus dan tempat.
Sepasang argumen itu saling serang, terus berkelindan, tak pernah usai. Utamanya, mengiringi sepanjang konflik di Timur Tengah sejak 1990-an, hingga menggejalanya islamophobia di Amerika dan Eropa pasca-serangan yang menyasar dua gedung vital Amerika Serikat (AS); World Trade Center (WTC) dan Pentagon, pada 11 September 2001 silam.
Belum lagi, soal persinggungan politik di dalam negeri masing-masing negara. Isu sektarian sering menjadi bumbu berbagai konflik di dunia Islam.
Seiring dengan itu, di sudut Asia Tenggara rupanya ada yang kian menarik perhatian. Indonesia, tak sedikit negara yang menganggapnya layak dijadikan model. Terutama, tentang bagaimana prinsip kebangsaan dan keislaman bisa seiring sejalan, bahkan saling menopang.
Baca: [Fokus] Teladan Islam Kebangsaan NU-Muhammadiyah
Mengacu sensus penduduk 2010, jumlah muslim Indonesia mencapai 87,18 persen dari total penduduk yang ada. Benar, Islam mayoritas, tapi di Indonesia; ia tak memaksakan kehadirannya sebagai sesuatu yang melembaga dalam aturan formal bernegara.
Ciri lainnya, Islam Indonesia masyhur dengan kemoderatannya. Ini, amat jarang ditemukan di negara-negara lain, sekalipun di Timur Tengah.
Menyumbang gagasan
Soal ini, Islam di Indonesia memang sudah unggul dari sisi sejarah. Proses perkenalannya, lebih diwarnai dengan akulturasi dan persinggungan budaya. Bukan jalur kekerasan.
Dalam buku babon Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan Islam di Indonesia (2008), Marwati Djoened Poesponegoro menjelaskan, Islam sebagai agama dan budaya cenderung mudah diterima masyarakat Indonesia. Sebab, cara penyebarannya lebih menyesuaikan diri dengan kondisi sosial-budaya yang telah lebih dulu ada.
"Jadi, pada taraf permulaan Islamisasi dilakukan dengan saling pengertian akan kebutuhan dan kondisinya," tulis Marwati.
Meski fakta itu tidak menutupi adanya warna lain yang juga turut andil. Ambil misal, yang digambarkan Bernard Hubertus Maria Vlekken dalam Nusantara: Sejarah Indonesia (2008), bahwa di kemudian hari, ada juga sekelompok pendakwah yang memercikkan corak baru dalam tradisi keberagamaan masyarakat Indonesia.
"Selama beberapa abad, sebelum muncul kaum 'putihan' (yang sangat dipengaruhi budaya Timur Tengah), raja-raja dan masyarakat Jawa menganggap Islam sebagai agama yang damai penuh dengan toleransi," tulis Vlekken.
Artinya, pandangan radikal memang ada. Tapi, nyaris tak mendapat tempat lebih. Baru ketika arus globalisasi kian menganga, Indonesia pun perlu meluangkan konsentrasi khusus mengenai isu-isu terorisme, malah tak sekali dua menjadi korban.
Terorisme, memang ada dan selalu mengancam. Tapi masyarakat Indonesia sepakat menjadikannya musuh bersama, sekalipun berkoar dalih mengatasnamakan agama.
Kekompakkan itu, sedikit banyak mesti diakui keberhasilannya. Ditambah lagi dengan kehadiran negara melalui aturan-aturan tegas dalam hidup berkebinekaan.
Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo memaparkan empat cara Indonesia meredam tindakan terorisme dan radikalisme. Di hadapan 55 kepala negara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Arab Islam Amerika di Conference Hall King Abdulaziz Convention Center, Riyadh, Arab Saudi, ia mengatakan persatuan umat Islam itu sendiri menjadi kunci utama.
Pemikiran kedua, ialah dengan meningkatkan kerjasama, termasuk pertukaran informasi intelijen, penanganan Foreign Terrorist Fighters (FTF), dan peningkatan kapasitas.
"Semua sumber pendanaan harus dihentikan. Kita semua tahu banyaknya dana yang mengalir sampai ke akar rumput di banyak negara dalam rangka penyebaran ideologi ekstrem dan radikal. Semua aliran dana harus dihentikan," ucap Presiden, Minggu 21 Mei 2017 malam.
Ketiga, meningkatkan upaya penyelesaian akar masalah. Yakni, ketimpangan dan ketidakadilan harus diakhiri. Sementara pemberdayaan ekonomi yang inklusif harus diperkuat.
"Terakhir, saya berharap bahwa setiap dari kita harus berani menjadi 'part of solution' dan bukan 'part of problem' dari upaya pemberantasan terorisme. Setiap dari kita harus dapat menjadi bagian upaya penciptaan perdamaian dunia," ucap Jokowi.
Pemaparan Presiden di pertemuan itu tentu bukan sembarang. Pakar Politik Internasional Aleksius Jemadu menilai keterlibatan Presiden Jokowi dalam KTT Arab Islam Amerika memiliki makna penting, tak lain bentuk apresiasi dunia terhadap identitas politik luar negeri Indonesia.
"Indonesia saat ini memproyeksikan diri ke dunia internasional sebagai negara moderat dan kekuatan yang membawa damai di Asia Tenggara maupun global," ujar Aleksius kepada Metro TV, Senin 22 Mei 2017.
Peran Indonesia juga menarik jika ditilik dari pelaksanaan Halaqah Internasional yang digelar Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda (GP) Ansor di Jombang, Jawa Timur pada 21-22 Mei kemarin.
Dalam pertemuan yang diisi para pembicara lebih dari sepuluh negara itu, Indonesia menawarkan setidaknya dua gagasan yang bisa digetok-tular sebagai sebuah strategi dunia Islam dalam menjaga perdamaian dunia.
Kepada Metro TV, Ketua Umum PP GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas menyebut dua hal itu adalah sesuatu yang mesti dilakukan ke dalam, dan keluar.
Dalam internal Islam sendiri, semangat rahmatan lil alamin sudah saatnya tidak cuma bertahan di tingkat wacana. "Sementara kampanye Islam sebagai agama yang ramah dan bermanfaat untuk semua manusia harus semakin ditingkatkan," kata pria yang karib disapa Gus Yaqut itu, Minggu, 21 Mei 2017.
Kemoderatan Islam menjadi modal Indonesia untuk tampil dan berperan di dunia global. Tak salah juga, jika orang-orang Indonesia kerap masuk dalam urutan tokoh muslim paling berpengaruh di dunia.
The Royal Islamic Strategic Studies Centre, misalnya, memasukkan nama Presiden Joko Widodo, Said Aqil Siroj, Din Syamsudin, serta beberapa nama lain dalam the 500 Most Influential Muslims 2017 dalam 50 urutan teratas. Mereka dianggap mampu menorehkan perubahan yang berdampak signifikan terhadap dunia muslim.
Ketika yang lain naksir ke Indonesia, maka tak elok rasanya jika ada orang-orang di Indonesia sendiri justru berandai-andai mengubah dasar negara. Jatuhnya, memang agak aneh dan ada-ada saja.
medcom.id, Jakarta: Ibarat urusan ayam dan telur, radikalisme dan
islamophobia tak jelas ukur siapa yang sebab, mana yang akibat. Yang tampak, keduanya saling mengklaim sebagai respons. Kami ada; lantaran 'sebab', sekaligus 'untuk'.
Aksi kekerasan mengatasnamakan dakwah atau jihad kerap dijadikan dalih bagi sebagian kelompok untuk senewen terhadap Islam. Begitu pun sebaliknya, kekerasan dijadikan alasan demi melawan tindakan diskriminatif yang diterima umat muslim di beberapa kasus dan tempat.
Sepasang argumen itu saling serang, terus berkelindan, tak pernah usai. Utamanya, mengiringi sepanjang konflik di Timur Tengah sejak 1990-an, hingga menggejalanya
islamophobia di Amerika dan Eropa pasca-serangan yang menyasar dua gedung vital Amerika Serikat (AS); World Trade Center (WTC) dan Pentagon, pada 11 September 2001 silam.
Belum lagi, soal persinggungan politik di dalam negeri masing-masing negara. Isu sektarian sering menjadi bumbu berbagai konflik di dunia Islam.
Seiring dengan itu, di sudut Asia Tenggara rupanya ada yang kian menarik perhatian. Indonesia, tak sedikit negara yang menganggapnya
layak dijadikan model. Terutama, tentang bagaimana
prinsip kebangsaan dan keislaman bisa seiring sejalan, bahkan saling menopang.
Baca: [Fokus] Teladan Islam Kebangsaan NU-Muhammadiyah
Mengacu sensus penduduk 2010, jumlah muslim Indonesia mencapai 87,18 persen dari total penduduk yang ada. Benar, Islam mayoritas, tapi di Indonesia; ia tak memaksakan kehadirannya sebagai sesuatu yang melembaga dalam
aturan formal bernegara.
Ciri lainnya, Islam Indonesia masyhur dengan kemoderatannya. Ini, amat jarang ditemukan di negara-negara lain, sekalipun di Timur Tengah.
Menyumbang gagasan
Soal ini, Islam di Indonesia memang sudah unggul dari sisi sejarah. Proses perkenalannya, lebih diwarnai dengan akulturasi dan persinggungan budaya. Bukan jalur kekerasan.
Dalam buku babon
Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan Islam di Indonesia (2008), Marwati Djoened Poesponegoro menjelaskan, Islam sebagai agama dan budaya cenderung mudah diterima masyarakat Indonesia. Sebab, cara penyebarannya lebih menyesuaikan diri dengan kondisi sosial-budaya yang telah lebih dulu ada.
"Jadi, pada taraf permulaan Islamisasi dilakukan dengan saling pengertian akan kebutuhan dan kondisinya," tulis Marwati.
Meski fakta itu tidak menutupi adanya warna lain yang juga turut andil. Ambil misal, yang digambarkan Bernard Hubertus Maria Vlekken dalam
Nusantara: Sejarah Indonesia (2008), bahwa di kemudian hari, ada juga sekelompok pendakwah yang memercikkan corak baru dalam tradisi keberagamaan masyarakat Indonesia.
"Selama beberapa abad, sebelum muncul kaum 'putihan' (yang sangat dipengaruhi budaya Timur Tengah), raja-raja dan masyarakat Jawa menganggap Islam sebagai agama yang damai penuh dengan toleransi," tulis Vlekken.
Artinya, pandangan radikal memang ada. Tapi, nyaris tak mendapat tempat lebih. Baru ketika arus globalisasi kian menganga, Indonesia pun perlu meluangkan konsentrasi khusus mengenai isu-isu terorisme, malah tak sekali dua
menjadi korban.
Terorisme, memang ada dan selalu mengancam. Tapi masyarakat Indonesia sepakat menjadikannya
musuh bersama, sekalipun berkoar dalih mengatasnamakan agama.
Kekompakkan itu, sedikit banyak mesti diakui keberhasilannya. Ditambah lagi dengan kehadiran negara melalui aturan-aturan tegas dalam hidup berkebinekaan.
Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo memaparkan empat cara Indonesia meredam tindakan terorisme dan radikalisme. Di hadapan 55 kepala negara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Arab Islam Amerika di Conference Hall King Abdulaziz Convention Center, Riyadh, Arab Saudi, ia mengatakan persatuan umat Islam itu sendiri menjadi kunci utama.
Pemikiran kedua, ialah dengan meningkatkan kerjasama, termasuk pertukaran informasi intelijen, penanganan Foreign Terrorist Fighters (FTF), dan peningkatan kapasitas.
"Semua sumber pendanaan harus dihentikan. Kita semua tahu banyaknya dana yang mengalir sampai ke akar rumput di banyak negara dalam rangka penyebaran ideologi ekstrem dan radikal. Semua aliran dana harus dihentikan," ucap Presiden, Minggu 21 Mei 2017 malam.
Ketiga, meningkatkan upaya penyelesaian akar masalah. Yakni, ketimpangan dan ketidakadilan harus diakhiri. Sementara pemberdayaan ekonomi yang inklusif harus diperkuat.
"Terakhir, saya berharap bahwa setiap dari kita harus berani menjadi
'part of solution' dan bukan
'part of problem' dari upaya pemberantasan terorisme. Setiap dari kita harus dapat menjadi bagian upaya penciptaan perdamaian dunia," ucap Jokowi.
Pemaparan Presiden di pertemuan itu tentu bukan sembarang. Pakar Politik Internasional Aleksius Jemadu menilai keterlibatan Presiden Jokowi dalam KTT Arab Islam Amerika memiliki makna penting, tak lain bentuk apresiasi dunia terhadap identitas politik luar negeri Indonesia.
"Indonesia saat ini memproyeksikan diri ke dunia internasional sebagai negara moderat dan kekuatan yang membawa damai di Asia Tenggara maupun global," ujar Aleksius kepada
Metro TV, Senin 22 Mei 2017.
Peran Indonesia juga menarik jika ditilik dari pelaksanaan Halaqah Internasional yang digelar Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda (GP) Ansor di Jombang, Jawa Timur pada 21-22 Mei kemarin.
Dalam pertemuan yang diisi para pembicara lebih dari sepuluh negara itu, Indonesia menawarkan setidaknya dua gagasan yang bisa digetok-tular sebagai sebuah strategi dunia Islam dalam menjaga perdamaian dunia.
Kepada
Metro TV, Ketua Umum PP GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas menyebut dua hal itu adalah sesuatu yang mesti dilakukan ke dalam, dan keluar.
Dalam internal Islam sendiri, semangat
rahmatan lil alamin sudah saatnya tidak cuma bertahan di tingkat wacana. "Sementara kampanye Islam sebagai agama yang ramah dan bermanfaat untuk semua manusia harus semakin ditingkatkan," kata pria yang karib disapa Gus Yaqut itu, Minggu, 21 Mei 2017.
Kemoderatan Islam menjadi modal Indonesia untuk tampil dan berperan di dunia global. Tak salah juga, jika orang-orang Indonesia kerap masuk dalam urutan tokoh muslim paling berpengaruh di dunia.
The Royal Islamic Strategic Studies Centre, misalnya, memasukkan nama Presiden Joko Widodo, Said Aqil Siroj, Din Syamsudin, serta beberapa nama lain dalam
the 500 Most Influential Muslims 2017 dalam 50 urutan teratas. Mereka dianggap mampu menorehkan perubahan yang berdampak signifikan terhadap dunia muslim.
Ketika yang lain naksir ke Indonesia, maka tak elok rasanya jika ada orang-orang di Indonesia sendiri justru berandai-andai mengubah dasar negara. Jatuhnya, memang agak aneh dan ada-ada saja.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)