PSK Kalijodo pindah ke Jembatan Genit. Foto: MI/Panca Syurkani
PSK Kalijodo pindah ke Jembatan Genit. Foto: MI/Panca Syurkani

Mereka Pindah ke Jembatan Genit

irwan saputra • 04 Maret 2016 13:26
medcom.id, Jakarta: Setiap pagi, Parto, 42, membersihkan sisa kesenangan sesaat pria hidung belang di sepanjang Taman Tubagus Angke, sekitar Jembatan Genit, Kelurahan Pesing, Jakarta Barat.
 
Dengan menggunakan sapu lidi dan pengki, anggota Suku Dinas Kebersihan tersebut mengais bekas plastik kondom dari bisnis prostitusi kaki lima.
 
Setiap malam, sekitar 20 tenda berdiri di antara trotoar dan pagar pembatas Kali Angke di sekitar Jembatan Genit, tepat di depan kantor Polsek Jelambar itu.

Perempuan penjaja birahi berjejer di sepanjang trotoar. Rabu 2 Maret, sampai pukul 03.00 WIB, hujan belum juga reda.
 
Namun Icha, 20, masih berdiri di trotoar dengan setelan tank top oranye dan celana pendek.
 
"Malam ini agak sepi karena hujan. Harus sabar-sabar. Kalau setiap hujan tidak keluar, ya tidak ada duit," katanya.
 
Mereka Pindah ke Jembatan Genit
PSK di Jembatan Genit. Foto: MI/Panca Syurkani
 
Nur, 37, pria pemilik salah satu tenda di Jembatan Genit, mengaku sudah lama berbisnis tenda cinta semalam. Ia lupa kapan persisnya memulai bisnis esek-esek kaki lima.
 
Yang jelas, jauh sebelum Taman Tubagus Angke didirikan, ia dan beberapa orang sudah menjalankan bisnis ini. Dua hari lalu, tempat tinggal Nur di kolong Tol Sedyatmo digusur.
 
Nur hanya menyediakan kursi, tenda, dan air. Para PSK tidak terikat dengannya.
 
PSK membayar biaya sewa tempat yang Nur sediakan mulai pukul 19.00 sampai pukul 05.00 WIB.
 
"Istilahnya seperti freelance. Modal kami cuma kasih bangku dan tenda. Mereka bayar Rp10 ribu per tamu. Kalau sama kondom Rp15 ribu. Pendapatan kotor setiap malam sekitar Rp200 ribu. Itu belum dikurangi pengeluaran," ujarnya.
 
Saat ini, ada tujuh pekerja seks komersil (PSK) yang bekerja di dua bilik tenda milik Nur.
 
Setelah pusat prostitusi di Kalijodo digusur, banyak pekerja seks yang datang dan menawarkan diri bekerja di tempat Nur. Nur menolak karena selain tidak memiliki cukup banyak bilik, juga untuk mengurangi persaingan di antara para PSK.
 
Nur mengaku mengeluarkan biaya operasional lebih bila ada razia. Ia mesti setoran minimal Rp70 ribu ke aparat keamanan agar bebas dari razia.
 
"Kami juga bayar ke aparat. Setiap ada patroli lewat kami kasih. Sekali kasih Rp5 ribu. Tiap tempat diminta setor," kata Nur.
 
Setiap ada razia, Nur dan para perempuan malam itu harus bergegas kabur. Jika ada PSK yang tertangkap, tidak ada pilihan selain menjalani rehabilitasi.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(TRK)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan