Wakil Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) DKI Jakarta Michael Rolandi Brata -- MTVN/Wanda Indana
Wakil Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) DKI Jakarta Michael Rolandi Brata -- MTVN/Wanda Indana

Celah Korupsi Dana Hibah

Wanda Indana • 31 Januari 2017 11:05
medcom.id, Jakarta: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menganggarkan Rp1,4 triliun untuk belanja hibah pada 2017. Penggunaan dana hibah tersebut dinilai rawan penyelewengan karena minim pengawasan.
 
Pergub DKI Nomor 55 Tahun 2013 yang merujuk pada Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 menyebut, `Hibah adalah pemberian uang/barang atau jasa dari pemerintah daerah kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus-menerus yang bertujuan untuk menunjang penyelenggaraan urusan pemerintah daerah.`
 
Dana hibah berbeda dengan dana bantuan sosial (bansos). Pada Pergub yang sama menyebutkan, bantuan sosial adalah pemberian bantuan berupa uang/barang dari pemerintah daerah kepada individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang sifatnya tidak secara terus-menerus dan selektif yang bertujuan untuk melindungi dari kemungkinan terjadinya risiko sosial.

Baru-baru ini, kasus dugaan korupsi penggunaan dana hibah menyeret calon wakil gubernur DKI Jakarta Sylviana Murni. Sylvi sudah diperiksa sebagai saksi di Bareskrim Mabes Polri terkait dugaan penyalagunaan dana hibah untuk kegiatan Kwartir Daerah (Kwarda) Gerakan Pramuka DKI sebesar Rp6,8 miliar.
 
Bagaimana sebenarnya pengawasan penggunaan dana hibah di Pemprov DKI selama ini? Bagaimana pula pertanggungjawaban penggunaan dana hibah? Berikut wawancara Metrotvnews.com dengan Wakil Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) DKI Jakarta Michael Rolandi Brata di Balai Kota, Jakarta, Senin (30/1/2017).
 
Berapa anggaran untuk belanja hibah dalam APBD DKI 2017?
 
Belanja hibah tahun ini Rp1,458 triliun.
 
Disalurkan ke mana saja? Dinas apa yang banyak mendapatkan dana hibah?
 
Dana hibah paling banyak disalurkan ke dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dan BOP (Bantuan Operasional Pendidikan). Selain dinas, dana hibah juga disalurkan ke organisasi masyarakat, lembaga. Lebih detail bisa lihat di open data kami di apbd.jakarta.go.id.
 
Dana hibah ada yang bersifat wajib, ada yang tidak. Memang ada yang menurut peraturan perundang-undangan dibiayai melalui hibah, seperti KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia) untuk kegiatan olahraga, itu kan harus hibah. KPU (Komisi Pemilihan Umum) juga ada untuk Pilkada, itu melalui hibah. Hibah ada yang tidak wajib, biasanya dari badan keagamaan, yayasan-yayasan. Nah, itu mengajukan proposal dulu.
 
Bagaimana proses pengajuan dana hibah?
 
Semua penerima dalam bentuk badan tadi mengajukam proposal, bisa lewat gubernur, bisa lewat SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) teknis, nanti sama TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah). Proposal ini diminta untuk dilakukan evalusai penilaian kelayakan. Misalnya PMI, berarti (Dinas) Kesehatan diminta melakukan kajian teknis, evaluasi, jumlahnya berapa, dasar-dasarnya segala macam, lalu keberadaan si penerima hibah juga dicek secara fisik, secara aktif.
 
Apa saja yang dievaluasi?
 
Misalnya, pengajuannya Rp10 juta. Setelah dievaluasi, cek lapangan, kebutuhan realnya tidak segitu, tapi Rp9 juta. Nanti Dinkes memberikam rekomendaai ke tim TAPD, dari situ masuk ke kita, BPKD.
 
TAPD itu ketuanya sekda, Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah), BPAD (Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah). Tidak mungkin semua (proposal) disetujui, tergantung dana yang ada. Dilanjutkan pembahasan di badan Anggaran DPRD. Proses itu harus kita lewati. Proposal yang masuk BPKD, kita tidak bisa menerima atau menolak tanpa adanya penilaian dari evaluasi dan rekomendasi dari SKPD teknis.
 
Kalau sudah setujui (di rapat TAPD), dibawa ke dewan. Oleh dewan dibahas, kenapa si ini yang dapat, kenapa si itu yang dapat. Sampai selesai dibahas, masuk ke APBD, dibikin pergubnya, bikin pergub penjabaran. (Dana hibah) Belum juga cair ini, bikin dulu Pergub Penetapan. Sudah keluar Pergub Penetapan, SKPD terkait mengevaluasi lagi proposal. Benar tidak nomor rekeningnya, benar tidak dia yang menerima, rekening penerimanya aktif tidak, itu diperiksa lagi. Kalau sudah yakin, baru rekomendasi ke kita untuk dicairkan.
 
Setelah dana hibah cair, apa ada pengawasan?
 
Setelah pencairan, masuk tahap pelaksanaan. Pada pelaksanaan, domainnya di sana, adanya di penerima hibah. Makanya, kita selalu mintakan surat pernyataan tanggungjawab mutlak. Apabila mereka menyelewengkan penggunaan dana tidak sesuai proposal, itu tanggungjawabnya penerima hibah.
 
Jika ada penyelewengan, menjadi tanggungjawab penerima hibah?
 
Iya, seperti itu.
 
Di sisi Pemprov, kita ada pemisahan fungsi, pada saat melakukan evaluasi kebutuhan, keberadaan fisik, dan sebagainya itu (tugas) SKPD teknis. Tidak dikuasai satu SKPD untuk mencairkan dana, mulai dari proposal sampai dengan pencairan.
 
Misalnya gubernur, gubernur tidak bisa (menentukan) si A si B yang harus dapat (dana hibah). Karena yang menentukan SKPD teknis berdasarkan hasil penilaian, rekomendasi. Rekomendasi masuk, dibahas lagi di TAPD. Itu sistim pengendalian internal yang sudah kita bangun.
 
Bagaimana Pemprov DKI bisa mengetahui jika ada penyelewengan?
 
Pada saat pencairan kita siapkan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD). Isinya hak dan kewajiban si penerima hibah, termasuk kewajiban menyerahkan laporan pertanggungjawaban (LPJ) penggunan dana ke kita.
 
Kalau sudah ada NPHD, uang cair, mereka belanja segala macam. Nanti akhir tahun, setelah (dana hibah) dipakai, tahun anggaran berakhir, harus kasih laporan ke kita. Kalau nilainya di atas Rp200 juta, maka diaudit dulu sama kantor akuntan publik. Akuntan publik menyerahkan ke kita juga. Itu inspektorat juga bisa masuk, BPKP masuk juga. Jadi dari sisi pengawasan mulai dari perencanaan pendistribusian, pencairan hingga pelaporannya diawasi.
 
Bagaimana jika penerima dana hibah tidak menyerahkan LPJ, ada sanksi?
 
Sanksinya otomatis saat dia mengajukan kembali, menjadi catatan kalau dia tidak buat LPJ.
 
Bagaimana dengan LPJ kegiatan Kwartir Daerah (Kwarda) Gerakan Pramuka DKI tahun 2014?
 
Laporannya pasti ada. Laporan mereka kan Rp6,8 miliar, otomatis diaudit di akuntan publik. Cuma masalahnya, audit akuntan publik itu ranahnya profesi. Bagaimana mereka mengaduitnya, apakah 100 persen, apakah sampling, kita nggak tahu. Tapi, kita tetap terima laporan dari akuntan publiknya.
 
Apa hasil audit kegiatan Kwarda Pramuka?
 
Saya kan tidak baca satu-satu. Cuma, laporan akuntan publiknya sudah ada. Secara substansi harusnya clear, tapi tidak tahu juga kalau di dalamnya seperti apa. Kalau akuntan publik ini, saya tidak mengerti metodologi pemeriksaan mereka seperti apa. Kalau dari akuntan publik, bisanya general audit. General audit kan opini, apakah tidak lepas dari fraud, tidak juga.
 
Opini yang diberikan untuk kegiatan Kwarda Pramuka?
 
Lupa.
 
Pemprov DKI tidak bisa mengetahui ada indikasi penyelewengan?
 
Kita kan user. Pengguna, pengguna laporan keuangan. Kita tidak masuk memeriksa satu-satu.
 
Akuntan publik menilai kesesuaian pengguna dana dengan proposal, misalnya kegiatan pelatihan. Kalau auditor menyatakan sudah dilakukan pelatihan, biasanya biayanya 100 dikeluarkan 90. Apakah 90 itu ada fraud? mungkin si auditormya yang tahu.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(NIN)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan