medcom.id, Jakarta: Kusnan, 65, tak beranjak dari duduknya di trotoar Jalan Dr. Makaliwe, Grogol Petamburan, Jakarta Barat. Sudah tiga jam ia belum menerima order dari `si mandor`.
Godam, cangkul dan blancong milik warga Cirebon, Jawa Barat itu masih terikat mulus berjejer di trotoar. Bersama dua rekannya, tangan kekar Kusnan nampak membakar sebatang rokok untuk sekadar mengusir kantuk.
"Lagi sepi, sudah satu minggu belum ada yang manggil kerja," kata Kusnan memulai perbincangan dengan Metrotvnews.com, Kamis 6 Juli 2017.
Kusnan merupakan pendatang yang nekat memburu rezeki di Ibu Kota sejak tahun 2000. Bagi Kusnan, Jakarta punya daya tarik tersendiri yang menjanjikan. Meski tak punya keterampilan khusus, berbekal tenaga, kemauan dan kebutuhan mendesak, pundi-pundi bisa ia isi untuk menghidupi anak istri di kampung halaman.
"Ini tahun pertama Lebaran saya enggak pulang, tapi saya kirim kabar dan uang bulanan kalau rezeki lagi bagus. Biasanya kalau sudah Lebaran banyak yang ikut saya dari kampung," ujar Kusnan.
Ayah empat anak ini tiap hari bekerja sebagai buruh gali tanah di kawasan Jakarta Barat. Jalur galian kabel, selokan hingga septic tank kerap ia kerjakan sesuai keinginan mandor.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/GNGy0AAk" frameborder="0" scrolling="no" allowfullscreen></iframe>
Kusnan mengakui, keringatnya di Jakarta lebih dihargai dibanding bekerja dengan profesi yang sama di kampung halaman. Galian tanah luas 3x1,5 meter dengan kedalaman 2 meter bisa diganjar upah Rp1 juta. Pengerjaan bisa dibantu beberapa teman bila ingin selesai dalam waktu satu hari.
Dalam satu bulan, ia mengantongi Rp3 juta - Rp4 juta. Uang ia tabung untuk dikirim ke kampung.
"Kalau di kampung, paling hanya ada garapan sawah orang lain. Itu juga dibayar pas panen dua kali satu tahun. Air sudah susah di Cirebon" ujarnya.
Kusnan memutuskan menetap di Jakarta. Ia kerap berpindah tempat tinggal sesuai lokasi proyek. Bila tak ada proyek, kolong flyover menjadi langit-langit di malam hari. Menyewa kamar kontrakan, kata dia, sama saja dengan membuang jatah bekal tabungan.
Ia mengenang, awal mula kedatangannya di Jakarta kerap dianggap sebagai gelandangan. Beberapa kali ia ditangkap Satpol PP DKI Jakarta.
"Saya memang luntang lantung tapi bukan pengemis. Saya buruh, punya penghasilan, kerja pakai tenaga," kata Kusnan.
Tak adanya tempat tinggal menyulitkan Kusnan memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) DKI Jakarta. Namun, kondisi itu tak menyurutkan niatnya menggeluti profesi gali tanah.
Ia yang kini dianggap tokoh yang dituakan teman-temannya sudah tersohor di lingkungan penggali tanah. Puluhan pendatang baru dari Cirebon bahkan mengikuti jejak Kusnan mencari rezeki di Ibu Kota setiap tahun pasca Lebaran.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/5b2M2Y2N" frameborder="0" scrolling="no" allowfullscreen></iframe>
medcom.id, Jakarta: Kusnan, 65, tak beranjak dari duduknya di trotoar Jalan Dr. Makaliwe, Grogol Petamburan, Jakarta Barat. Sudah tiga jam ia belum menerima order dari `si mandor`.
Godam, cangkul dan blancong milik warga Cirebon, Jawa Barat itu masih terikat mulus berjejer di trotoar. Bersama dua rekannya, tangan kekar Kusnan nampak membakar sebatang rokok untuk sekadar mengusir kantuk.
"Lagi sepi, sudah satu minggu belum ada yang manggil kerja," kata Kusnan memulai perbincangan dengan
Metrotvnews.com, Kamis 6 Juli 2017.
Kusnan merupakan pendatang yang nekat memburu rezeki di Ibu Kota sejak tahun 2000. Bagi Kusnan, Jakarta punya daya tarik tersendiri yang menjanjikan. Meski tak punya keterampilan khusus, berbekal tenaga, kemauan dan kebutuhan mendesak, pundi-pundi bisa ia isi untuk menghidupi anak istri di kampung halaman.
"Ini tahun pertama Lebaran saya enggak pulang, tapi saya kirim kabar dan uang bulanan kalau rezeki lagi bagus. Biasanya kalau sudah Lebaran banyak yang ikut saya dari kampung," ujar Kusnan.
Ayah empat anak ini tiap hari bekerja sebagai buruh gali tanah di kawasan Jakarta Barat. Jalur galian kabel, selokan hingga
septic tank kerap ia kerjakan sesuai keinginan mandor.
Kusnan mengakui, keringatnya di Jakarta lebih dihargai dibanding bekerja dengan profesi yang sama di kampung halaman. Galian tanah luas 3x1,5 meter dengan kedalaman 2 meter bisa diganjar upah Rp1 juta. Pengerjaan bisa dibantu beberapa teman bila ingin selesai dalam waktu satu hari.
Dalam satu bulan, ia mengantongi Rp3 juta - Rp4 juta. Uang ia tabung untuk dikirim ke kampung.
"Kalau di kampung, paling hanya ada garapan sawah orang lain. Itu juga dibayar pas panen dua kali satu tahun. Air sudah susah di Cirebon" ujarnya.
Kusnan memutuskan menetap di Jakarta. Ia kerap berpindah tempat tinggal sesuai lokasi proyek. Bila tak ada proyek, kolong flyover menjadi langit-langit di malam hari. Menyewa kamar kontrakan, kata dia, sama saja dengan membuang jatah bekal tabungan.
Ia mengenang, awal mula kedatangannya di Jakarta kerap dianggap sebagai gelandangan. Beberapa kali ia ditangkap Satpol PP DKI Jakarta.
"Saya memang luntang lantung tapi bukan pengemis. Saya buruh, punya penghasilan, kerja pakai tenaga," kata Kusnan.
Tak adanya tempat tinggal menyulitkan Kusnan memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) DKI Jakarta. Namun, kondisi itu tak menyurutkan niatnya menggeluti profesi gali tanah.
Ia yang kini dianggap tokoh yang dituakan teman-temannya sudah tersohor di lingkungan penggali tanah. Puluhan pendatang baru dari Cirebon bahkan mengikuti jejak Kusnan mencari rezeki di Ibu Kota setiap tahun pasca Lebaran.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FZN)