medcom.id, Jakarta: Sejumlah warga masih kesulitan menggunakan Jaminan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan saat berobat di rumah sakit. Warga harus menunggu berbulan-bulan untuk mendapat pelayanan kesehatan.
Hesti Komariyah, warga Pondok Cabe, Tangerang Selatan, misalnya, merasa dipersulit tiap kali berobat menggunakan BPJS. Pengalaman buruk itu terjadi sekitar Oktober 2015. Kala itu Hesti hendak memeriksa benjolan di kedua payudaranya. Sesuai peraturan BPJS, Hesti menjalani pemeriksaan di Puskesmas.
Selanjutnya wanita berusia 45 tahun itu dirujuk ke RSUD Tangerang Selatan. Karena tidak ada alat kesehatan yang memadai, ia dirujuk ke RS Fatmawati.
"Terus saya datang ke RS Fatmawati untuk periksa mamografi, bulan November. Pas datang, langsung antre buat daftar. Ternyata harus nunggu berbulan-bulan. Saya baru dapat jadwal Januari," kata Hesti kepada Metrotvnews.com, Jakarta Pusat, Selasa (15/3/2016).
Setelah datang, Hesti diminta mengantre dan daftar lagi. Wanita beranak dua itu mendapat jadwal baru di Februari. Ia pun diperiksa namun tidak dengan momografi, melainkan USG.
Setelah hasil USG keluar, Hesti harus kembali ke puskesmas untuk memperpanjang masa rujukan. Butuh satu bulan untuk mendapat surat rujukan. Setelah mendapat surat tersebut, ia kembali ke RSUD Tangsel untuk mengambil hasil USG.
"Dokternya malah bilang hasilnya (USG) samar-samar. Dia enggak tahu itu tumor ganas atau ringan. Sudah memakan waktu lama, berbelit-belit, penanganan tidak sesuai, dan hasilnya juga enggak jelas," keluh Hesti.
Hesti menyampaikan, terkait kenaikan iuran premi BPJS seharusnya diimbangi dengan pelayanan kesehatan yang memadai. Ia meminta BPJS berkomitmen untuk tidak mempersulit pasien.
"Akhirnya saya berobat tanpa BPJS. Okelah saya belum sekarat. Bagaimana dengan yang sudah sekarat? Seperti yang saya temui, ada yang payudaranya sudah keluar darah didiamkan dan masih disuruh nunggu," kata Hesti.
Hal serupa juga dialami Indah. Satu tahun lalu, ia dipersulit ketika mencari kamar untuk persalinan anak pertamanya. Padahal, wanita 32 tahun itu sudah pesan kamar satu minggu sebelumnya.
"Pas datang katanya kamarnya penuh. Lalu dirujuk ke RS Bhakti Asih. Sampai sana penuh juga, disuruh ke RS Tangerang. Padahal, kondisi saya sudah mules-mules dan enggak mungkin cari kamar," cerita Indah di RSU Kembangan, Jakarta Barat.
Pihak RS Bhakti Asih menyarankan menggunakan kamar VIP. Karena kondisi Indah sudah lemah, keluarganya memutuskan memakai kamar VIP dengan menambah biaya Rp 9,3 Juta.
Dari pengalamannya itu, Indah berharap kenaikan iuran premi BPJS sebanding dengan mutu pelayanan dan fasilitas rumah sakit. Ia minta RS tidak tebang pilih terhadap pasien.
"Kita kan juga bayar setiap bulan. Enggak gratis loh, tapi jangan sampai seperti ini. Semoga semakin baik," ujar Hesti.
Kepala Departemen Hubungan Eksternal dan Humas BPJS Kesehatan Irfan Humaidi mengatakan, kenaikan iuran premi bisa meningkatan pelayanan rumah sakit. Ia mengaku akan meningkatkan kerja sama dengan sejumlah RS swasta.
"Tantanganya, keterbatasan ahli-ahli seperi, ahli kanker. Baik fasilitas atau tenaga kesehatan mungkin belum sebanding dengan kebutuhan. Sementara, penambahan SDM dan fasilitas kesehatan itu wewenang Kemenkes dan Pemda," kata Irfan.
medcom.id, Jakarta: Sejumlah warga masih kesulitan menggunakan Jaminan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan saat berobat di rumah sakit. Warga harus menunggu berbulan-bulan untuk mendapat pelayanan kesehatan.
Hesti Komariyah, warga Pondok Cabe, Tangerang Selatan, misalnya, merasa dipersulit tiap kali berobat menggunakan BPJS. Pengalaman buruk itu terjadi sekitar Oktober 2015. Kala itu Hesti hendak memeriksa benjolan di kedua payudaranya. Sesuai peraturan BPJS, Hesti menjalani pemeriksaan di Puskesmas.
Selanjutnya wanita berusia 45 tahun itu dirujuk ke RSUD Tangerang Selatan. Karena tidak ada alat kesehatan yang memadai, ia dirujuk ke RS Fatmawati.
"Terus saya datang ke RS Fatmawati untuk periksa mamografi, bulan November. Pas datang, langsung antre buat daftar. Ternyata harus nunggu berbulan-bulan. Saya baru dapat jadwal Januari," kata Hesti kepada
Metrotvnews.com, Jakarta Pusat, Selasa (15/3/2016).
Setelah datang, Hesti diminta mengantre dan daftar lagi. Wanita beranak dua itu mendapat jadwal baru di Februari. Ia pun diperiksa namun tidak dengan momografi, melainkan USG.
Setelah hasil USG keluar, Hesti harus kembali ke puskesmas untuk memperpanjang masa rujukan. Butuh satu bulan untuk mendapat surat rujukan. Setelah mendapat surat tersebut, ia kembali ke RSUD Tangsel untuk mengambil hasil USG.
"Dokternya malah bilang hasilnya (USG) samar-samar. Dia enggak tahu itu tumor ganas atau ringan. Sudah memakan waktu lama, berbelit-belit, penanganan tidak sesuai, dan hasilnya juga enggak jelas," keluh Hesti.
Hesti menyampaikan, terkait kenaikan iuran premi BPJS seharusnya diimbangi dengan pelayanan kesehatan yang memadai. Ia meminta BPJS berkomitmen untuk tidak mempersulit pasien.
"Akhirnya saya berobat tanpa BPJS. Okelah saya belum sekarat. Bagaimana dengan yang sudah sekarat? Seperti yang saya temui, ada yang payudaranya sudah keluar darah didiamkan dan masih disuruh nunggu," kata Hesti.
Hal serupa juga dialami Indah. Satu tahun lalu, ia dipersulit ketika mencari kamar untuk persalinan anak pertamanya. Padahal, wanita 32 tahun itu sudah pesan kamar satu minggu sebelumnya.
"Pas datang katanya kamarnya penuh. Lalu dirujuk ke RS Bhakti Asih. Sampai sana penuh juga, disuruh ke RS Tangerang. Padahal, kondisi saya sudah mules-mules dan enggak mungkin cari kamar," cerita Indah di RSU Kembangan, Jakarta Barat.
Pihak RS Bhakti Asih menyarankan menggunakan kamar VIP. Karena kondisi Indah sudah lemah, keluarganya memutuskan memakai kamar VIP dengan menambah biaya Rp 9,3 Juta.
Dari pengalamannya itu, Indah berharap kenaikan iuran premi BPJS sebanding dengan mutu pelayanan dan fasilitas rumah sakit. Ia minta RS tidak tebang pilih terhadap pasien.
"Kita kan juga bayar setiap bulan. Enggak gratis loh, tapi jangan sampai seperti ini. Semoga semakin baik," ujar Hesti.
Kepala Departemen Hubungan Eksternal dan Humas BPJS Kesehatan Irfan Humaidi mengatakan, kenaikan iuran premi bisa meningkatan pelayanan rumah sakit. Ia mengaku akan meningkatkan kerja sama dengan sejumlah RS swasta.
"Tantanganya, keterbatasan ahli-ahli seperi, ahli kanker. Baik fasilitas atau tenaga kesehatan mungkin belum sebanding dengan kebutuhan. Sementara, penambahan SDM dan fasilitas kesehatan itu wewenang Kemenkes dan Pemda," kata Irfan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FZN)