medcom.id, Jakarta: Aktivis Perempuan dari Kalangan Mitra, Rena Hendriyani mengatakan, sunat yang dilakukan terhadap perempuan merupakan bentuk kekerasan. Dari segi medis, sunat perempuan tidak memiliki pengaruh terhadap kesehatan.
Rena menuturkan, sunat perempuan merupakan kekerasan terhadap perempuan yang terjadi sebagai akibat dari budaya dan ritual keagamaan.
"Kalau pandangan kami, itu tidak boleh. Itu (Sunat perempuan) termasuk bentuk kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan seksual, kekerasan kesehatan alat reproduksi," kata rena dalam diskusi dan kampanye 16 hari antikekerasan terhadap perempuan di bakoel koffie, Jalan Cikini Raya, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (5/12/2015).
Rena menuturkan, sejak keluarnya Surat Edaran dari Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Kemenkes pada 2006, tentang larangan medikalisasi sunat perempuan bagi petugas kesehatan, membuat praktik sunat perempuan pada bayi perempuan tidak dilakukan.
Namun, pada Mei 2008, MUI menentang larangan tersebut. MUI mengeluarkan Fatwa untuk menolak larangan khitan perempuan. MUI mengeluarkan fatwa tentang khitan perempuan yang berbunyi, khitan bagi laki-laki maupun perempuan termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam.
Akhirnya, pada 2013, Kemenkes mencabut Peraturan Menteri Kesehatan yang mengatur tentang praktik sunat perempuan. Alasanya, banyaknya pihak yang masih beranggapan khitan perempuan yang dilakukan di Indonesia sama dengan di Afrika.
Khitan perempuan di Afrika dilakukan dengan cara mutilasi, sementara di Indonesia, menggores kulit yang menutupi bagian depan klitors dengan menggunakan jarum steril tanpa melukai.
"Memang ada perbedaan sunat perempuan di Indonesia dengan yang dilakukan di timur tengah, atau Afrika. Tapi sekali lagi, sunat perempuan tidak ada manfaatnya," tandas Rena.
medcom.id, Jakarta: Aktivis Perempuan dari Kalangan Mitra, Rena Hendriyani mengatakan, sunat yang dilakukan terhadap perempuan merupakan bentuk kekerasan. Dari segi medis, sunat perempuan tidak memiliki pengaruh terhadap kesehatan.
Rena menuturkan, sunat perempuan merupakan kekerasan terhadap perempuan yang terjadi sebagai akibat dari budaya dan ritual keagamaan.
"Kalau pandangan kami, itu tidak boleh. Itu (Sunat perempuan) termasuk bentuk kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan seksual, kekerasan kesehatan alat reproduksi," kata rena dalam diskusi dan kampanye 16 hari antikekerasan terhadap perempuan di bakoel koffie, Jalan Cikini Raya, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (5/12/2015).
Rena menuturkan, sejak keluarnya Surat Edaran dari Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Kemenkes pada 2006, tentang larangan medikalisasi sunat perempuan bagi petugas kesehatan, membuat praktik sunat perempuan pada bayi perempuan tidak dilakukan.
Namun, pada Mei 2008, MUI menentang larangan tersebut. MUI mengeluarkan Fatwa untuk menolak larangan khitan perempuan. MUI mengeluarkan fatwa tentang khitan perempuan yang berbunyi, khitan bagi laki-laki maupun perempuan termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam.
Akhirnya, pada 2013, Kemenkes mencabut Peraturan Menteri Kesehatan yang mengatur tentang praktik sunat perempuan. Alasanya, banyaknya pihak yang masih beranggapan khitan perempuan yang dilakukan di Indonesia sama dengan di Afrika.
Khitan perempuan di Afrika dilakukan dengan cara mutilasi, sementara di Indonesia, menggores kulit yang menutupi bagian depan klitors dengan menggunakan jarum steril tanpa melukai.
"Memang ada perbedaan sunat perempuan di Indonesia dengan yang dilakukan di timur tengah, atau Afrika. Tapi sekali lagi, sunat perempuan tidak ada manfaatnya," tandas Rena.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DEN)