Jakarta: Ketua Bidang Pemenuhan Hak Anak Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Reza Indragiri menyebut geng motor bukan hanya sebagai identitas dan jati diri.
Lebih dari itu, bergabung dengan geng motor membuat kebutuhan lain seperti akses ke obat terlarang dan pergaulan bebas lebih mudah dijangkau.
"Bahkan kekhawatiran diasingkan teman sebaya dan lingkungan sosial dianggap lebih mengerikan dan krusial ketimbang hukuman dari orang tua," ungkap Reza, dalam Newsline, Selasa 26 Desember 2017.
Reza mengatakan solidaritas, kepedulian, bahkan 'kasih sayang' yang tidak didapatkan di rumah membuat geng motor terus eksis dan selalu mudah meregenerasi anggotanya. Tetapi, faktor keluarga ternyata bukan satu-satunya alasan para remaja ikut dalam geng motor.
Fakta mengejutkan didapatkan Reza ketika menemui anggota geng motor yang eksis di wilayah DKI Jakarta dan Cirebon, Jawa Barat.
Pengakuan para anggota geng motor ini justru bertolak belakang dengan anggapan bahwa fenomena geng motor muncul karena rusaknya keluarga dan terpuruknya prestasi akademik di sekolah.
"Saya tanya mereka kebanyakan menolak anggapan tersebut. Orang tua mereka di rumah tidak ada persoalan di sekolah pun (prestasinya) tidak jelek-jelek amat. Artinya sebutlah ini kebutuhan yang sangat tipikal anak muda untuk mendapatkan sesuatu secara instan," katanya.
Penanganan remaja yang bergabung dengan geng motor pun harus dipetakan sudah sampai tahap mana. Sebab ketika sudah memasuki tahap genting maka solusinya bukan lagi dari rumah melainkan terletak di tangan aparat penegak hukum.
"Kuncinya (tindakan) cepat dan ajek," tegas Reza.
Khusus di wilayah Depok, Jawa Barat, misalnya, geng motor sempat reda karena adanya aparat yang membentuk tim buser khusus untuk mengantisipasi aksi kriminalitas remaja. Sayangnya, gaung tim bentukan Polres Depok itu kini sudah tak terdengar lagi.
Reza mengatakan solusi lain yang bisa dilakukan menurut penuturan anggota geng motor di Cirebon selain penegakan hukum adalah melibatkan komunitas motor sebenarnya untuk menularkan hal positif.
"Cara menghentikan regenerasi kami (geng motor), cara mengubah tabiat kami adalah dengan melibatkan komunitas motor. Perilaku anggota geng motor berubah menjadi komunitas yang lebih beradab," kata Reza.
Dari pertemuan dan dialog bersama anggota geng motor di dua wilayah tersebut, Reza berkesimpulan bahwa komunitas motor yang sebenarnya memang kurang memikat karena hanya mengeksploitasi kendaraan atau hobi mereka saja. Sedangkan, geng motor tidak tertarik untuk itu.
Alasannya sederhana, mengeksploitasi hal semacam itu membutuhkan modal yang tak sedikit. Para remaja geng motor hanya kebetulan menggunakan kendaraan roda dua tetapi tidak mengeksploitasinya, yang mereka butuhkan adalah identitas dan jati diri yang instan.
"Tetapi yang jadi pertanyaan juga seberapa besar anggota komunitas motor mau mendekati mereka (geng motor). Salah-salah motornya dirampas apes juga kan," katanya.
Jakarta: Ketua Bidang Pemenuhan Hak Anak Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Reza Indragiri menyebut geng motor bukan hanya sebagai identitas dan jati diri.
Lebih dari itu, bergabung dengan geng motor membuat kebutuhan lain seperti akses ke obat terlarang dan pergaulan bebas lebih mudah dijangkau.
"Bahkan kekhawatiran diasingkan teman sebaya dan lingkungan sosial dianggap lebih mengerikan dan krusial ketimbang hukuman dari orang tua," ungkap Reza, dalam
Newsline, Selasa 26 Desember 2017.
Reza mengatakan solidaritas, kepedulian, bahkan 'kasih sayang' yang tidak didapatkan di rumah membuat geng motor terus eksis dan selalu mudah meregenerasi anggotanya. Tetapi, faktor keluarga ternyata bukan satu-satunya alasan para remaja ikut dalam geng motor.
Fakta mengejutkan didapatkan Reza ketika menemui anggota geng motor yang eksis di wilayah DKI Jakarta dan Cirebon, Jawa Barat.
Pengakuan para anggota geng motor ini justru bertolak belakang dengan anggapan bahwa fenomena geng motor muncul karena rusaknya keluarga dan terpuruknya prestasi akademik di sekolah.
"Saya tanya mereka kebanyakan menolak anggapan tersebut. Orang tua mereka di rumah tidak ada persoalan di sekolah pun (prestasinya) tidak jelek-jelek amat. Artinya sebutlah ini kebutuhan yang sangat tipikal anak muda untuk mendapatkan sesuatu secara instan," katanya.
Penanganan remaja yang bergabung dengan geng motor pun harus dipetakan sudah sampai tahap mana. Sebab ketika sudah memasuki tahap genting maka solusinya bukan lagi dari rumah melainkan terletak di tangan aparat penegak hukum.
"Kuncinya (tindakan) cepat dan ajek," tegas Reza.
Khusus di wilayah Depok, Jawa Barat, misalnya, geng motor sempat reda karena adanya aparat yang membentuk tim buser khusus untuk mengantisipasi aksi kriminalitas remaja. Sayangnya, gaung tim bentukan Polres Depok itu kini sudah tak terdengar lagi.
Reza mengatakan solusi lain yang bisa dilakukan menurut penuturan anggota geng motor di Cirebon selain penegakan hukum adalah melibatkan komunitas motor sebenarnya untuk menularkan hal positif.
"Cara menghentikan regenerasi kami (geng motor), cara mengubah tabiat kami adalah dengan melibatkan komunitas motor. Perilaku anggota geng motor berubah menjadi komunitas yang lebih beradab," kata Reza.
Dari pertemuan dan dialog bersama anggota geng motor di dua wilayah tersebut, Reza berkesimpulan bahwa komunitas motor yang sebenarnya memang kurang memikat karena hanya mengeksploitasi kendaraan atau hobi mereka saja. Sedangkan, geng motor tidak tertarik untuk itu.
Alasannya sederhana, mengeksploitasi hal semacam itu membutuhkan modal yang tak sedikit. Para remaja geng motor hanya kebetulan menggunakan kendaraan roda dua tetapi tidak mengeksploitasinya, yang mereka butuhkan adalah identitas dan jati diri yang instan.
"Tetapi yang jadi pertanyaan juga seberapa besar anggota komunitas motor mau mendekati mereka (geng motor). Salah-salah motornya dirampas apes juga kan," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MEL)