Ilustrasi--Seorang pengguna transportasi online memperlihatkan fitur aplikasi pemesanan taksi online di Jakarta. (Foto: ANTARA/Wahyu Putro)
Ilustrasi--Seorang pengguna transportasi online memperlihatkan fitur aplikasi pemesanan taksi online di Jakarta. (Foto: ANTARA/Wahyu Putro)

Perlindungan Konsumen Taksi Daring Dinilai Belum Maksimal

24 Maret 2018 11:48
Jakarta: Selama ini taksi daring dicitrakan sebagai moda transportasi yang aman, nyaman, murah, dan minim risiko. Faktanya, hal tersebut tak selalu benar.
 
Maraknya kasus kekerasan bahkan berujung pembunuhan yang melibatkan oknum pengemudi taksi daring menguak fakta bahwa meskipun ditunjang teknologi, keamanan taksi daring tak ubahnya dengan transportasi umum lainnya.
 
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai kasus kekerasan yang dilakukan oknum pengemudi taksi daring tak lepas dari terputusnya interaksi antara konsumen dan operator terkait jaminan keamanan.

"Ketika terjadi sesuatu konsumen tidak bisa meminta pertolongan karena kita lihat tidak ada call center atau kontak yang bisa diakses konsumen dalam keadaan darurat. Saat aplikasi jalan tentu akan sulit sementara kita butuh respons cepat," ungkap Tulus, dalam Metro Pagi Primetime, Sabtu, 24 Maret 2018.
 
Tulus mengatakan dibandingkan taksi daring, taksi konvensional dinilai lebih mampu memberikan jaminan keamanan kepada konsumen. Misalnya saja taksi argo yang memasang informasi nomor call center di dashboard mobil, konsumen bisa menggunakan nomor itu saat terjadi sesuatu.
 
"Bahkan driver pun harus ada perlindungan, kalau ada konsumen yang berbuat kriminal. Harus ada 'alarm darurat' yang bisa menolong driver atau konsumen. Ini yang menurut saya harus jadi evaluasi besar," katanya.
 
Secara umum, kata Tulus, Permenhub Nomor 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek memang mendorong perlindungan terhadap konsumen namun tidak spesifik.
 
Aturan yang saat ini ada tidak bisa menjawab secara keseluruhan tentang perlindungan konsumen saat menggunakan taksi daring. Artinya, negara tidak terlalu hadir melindungi konsumen.
 
Sedangkan menggantungkan nasib pada penyedia aplikasi pun tak menyelesaikan masalah. Sebab dalih bahwa mereka bukanlah perusahaan transportasi melainkan perusahaan teknologi kerap mengabaikan keamanan konsumen atau pengemudi yang menjadi mitranya.
 
"Mestinya ada upaya, intervensi pemerintah untuk melindungi ini. Dengan teknologi selama ini, Permenhub 108/2017 hanya memberi proteksi dari sisi fisik saja tapi intervensi dari sisi teknologi belum muncul," ungkap Tulus. 
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MEL)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan