medcom.id, Jakarta: Ketua Dewan Pers Bidang Pengaduan dan Etika Imam Wahyudi mengatakan, tayangan Metro Tv dalam peliputan aksi bela Islam jilid III, Jumat 2 Desember, tidak melakukan kebohongan publik. Tudingan kebohongan tersebut perlu dilihat dari seluruh laporan data yang ditayangkan.
"Secara substansi tidak ada kebohongan publik, kecuali kalau kita mendengarnya sepotong-sepotong, dan itu tidak bisa berlaku dalam siaran jurnalistik seperti ini," kata Imam dikutip dari tayangan Metro Tv, Minggu (4/12/2016)
Penilaian hanya berasal dari potongan tayangan Metro Tv tidak bisa disimpulkan telah terjadi kebohongan publik. Laporan yang dilakukan reporter Metro Tv Rifai Pamone misalnya, bila dilihat secara utuh, laporan tersebut telah melalui konfirmasi nara sumber dan verifikasi melalui tayangan udara.
BACA: Reporter Metro Tv Telah Bekerja Profesional
"Kita baru bisa menyimpulkan ada kebohongan atau tidak setelah kita memperhatikan secara keseluruhan live report ini dan saya kira tidak ada kebohongan publik di situ," kata Imam.
Meski demikian, menjadi riskan apabila dalam laporan seorang jurnalis di dalamnya menyebutkan jumlah massa. Relevansi penyebutan jumlah juga tidak berlaku ketika telah disajikan dalam tayangan gambar.
"Sesunggunya dalam pengalaman memang tidak relavan dalam menyebut jumlah karena gambar sudah menunjukan itu, dan selalu ada pihak pengunjuk rasa memperbesar dan kemudian juga mereka tidak akan terima dengan angka yang kita sebutkan," ujar Imam.
BACA: Risiko Pekerjaan Jurnalis
Pengukuran jumlah massa juga tidak bisa dilakukan dengan mudah setelah aksi berlangsung. Perlu upaya khusus meraih data otentik jumlah massa yang hadir pada aksi 2 Desember.
"Pengukuran pasca kejadian perlu upaya khusus. Apa terjadi kebohongan publik atau tidak, saya ingin mengatakan bahwa tidak ada kebohongan publik di situ," ucapnya.
medcom.id, Jakarta: Ketua Dewan Pers Bidang Pengaduan dan Etika Imam Wahyudi mengatakan, tayangan Metro Tv dalam peliputan aksi bela Islam jilid III, Jumat 2 Desember, tidak melakukan kebohongan publik. Tudingan kebohongan tersebut perlu dilihat dari seluruh laporan data yang ditayangkan.
"Secara substansi tidak ada kebohongan publik, kecuali kalau kita mendengarnya sepotong-sepotong, dan itu tidak bisa berlaku dalam siaran jurnalistik seperti ini," kata Imam dikutip dari tayangan
Metro Tv, Minggu (4/12/2016)
Penilaian hanya berasal dari potongan tayangan Metro Tv tidak bisa disimpulkan telah terjadi kebohongan publik. Laporan yang dilakukan reporter Metro Tv Rifai Pamone misalnya, bila dilihat secara utuh, laporan tersebut telah melalui konfirmasi nara sumber dan verifikasi melalui tayangan udara.
BACA: Reporter Metro Tv Telah Bekerja Profesional
"Kita baru bisa menyimpulkan ada kebohongan atau tidak setelah kita memperhatikan secara keseluruhan live report ini dan saya kira tidak ada kebohongan publik di situ," kata Imam.
Meski demikian, menjadi riskan apabila dalam laporan seorang jurnalis di dalamnya menyebutkan jumlah massa. Relevansi penyebutan jumlah juga tidak berlaku ketika telah disajikan dalam tayangan gambar.
"Sesunggunya dalam pengalaman memang tidak relavan dalam menyebut jumlah karena gambar sudah menunjukan itu, dan selalu ada pihak pengunjuk rasa memperbesar dan kemudian juga mereka tidak akan terima dengan angka yang kita sebutkan," ujar Imam.
BACA: Risiko Pekerjaan Jurnalis
Pengukuran jumlah massa juga tidak bisa dilakukan dengan mudah setelah aksi berlangsung. Perlu upaya khusus meraih data otentik jumlah massa yang hadir pada aksi 2 Desember.
"Pengukuran pasca kejadian perlu upaya khusus. Apa terjadi kebohongan publik atau tidak, saya ingin mengatakan bahwa tidak ada kebohongan publik di situ," ucapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(LDS)